PONTIANAK, KALBAR SATU – Sekretaris DPD GPM Kalbar Muhammad Darwin, merasa prihatin terhadap peningkatan tindak kejahatan seksual terhadap anak-anak yang melibatkan pengajar agama belakangan ini.
“Terakhir kita dikejutkan dengan kasus yang terjadi di sebuah pesantren, Cibiru, Bandung, Jawa Barat, “ katanya.
“Guru pesantren atau ustadz seharusnya menjadi model dan figur moralitas bagi para anak didiknya, tetapi ini justru bertindak sebagai predator buas yang tidak memiliki belas kasihan terhadap mereka”, Darwin melanjutkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kejahatan yang melibatkan seorang pimpinan pesantren berinisial HW terjadi di Pesantren Manarul Huda Antapani, Bandung.
Tidak tanggung-tanggung kejahatan berupa tindak pemerkosaan itu dilsusilaakukan terhadap 12 santriwati yang belajar di lembaga pendidikan tersebut, dimana 7 diantaranya sampai hamil dan melahirkan.
Baca Juga: Jelang Natal, TPID Kota Pontianak Telusuri Penyebab Kenaikan Harga di Pasar
Bahkan satu orang korban sampai melahirkan sebanyak dua kali, sehingga total telah dilahirkan 8 bayi dari tragedi tersebut. Kejahatan susila ini sendiri sudah dilakukan HW sejak 2016 dan baru terbongkar sekarang. Kasus ini terkuak saat salah seorang santri yang hamil pulang ke kampung halamannya di Garut Mei 2021.
Menurut Darwin, mereka adalah musuh negara dan Pancasila, merujuk kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur. Karena anak-anak adalah cikal bakal penerus kejayaan bangsa Indonesia, merusak mereka artinya memutus rantai keberlanjutan pembangunan negara.
“Jika ingin menghancurkan suatu negara biasanya dirusaklah generasi mudanya,” lanjut Darwin.
Kata dia, sudah saatnya pemerintah meningkatkan status perbuatan asusila terhadap anak-anak sebagai kejahatan luar biasa, setara dengan terorisme dan korupsi.
Baca Juga: Sebarkan Foto Teman Wanita Tanpa Baju, Polisi Amankan Pelaku di Pontianak
Ancaman 20 tahun penjara terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak-anak, menurutnya, dirasa tidak memenuhi rasa keadilan dilihat dari kacamata hati nurani masyarakat.
“Bahkan dikebiri sekalipun rasanya belum cukup, pemberlakuan hukuman mati atau minimal seumur hidup rasanya pantas,” lanjut Darwin.
Untuk itu, dirinya minta kepada pemerintah melalui aparat hukum terkait mulai merancang hukum yang lebih berat kepada para pelaku tindak pidana asusila terhadap anak-anak, anggota legislatif harus mendukung wacana ini.
“Rakyat akan melihat dan menilai mana partai-partai politik yang anggotanya menghalang-halangi proses untuk mewujudkan hukum yang lebih memenuhi rasa keadilan universal ini,” tuturnya.
Disamping memastikan proses hukum yang adil dan proporsional bagi pelaku kejahatan luar biasa tersebut, Darwin menekankan perlunya penanganan yang serius terhadap para korban.
“Para korban anak-anak ini masih punya masa depan yang panjang, karenanya pemerintah harus memberikan dukungan maksimal,” imbuhnya.
Baca Juga: Kejuaraan Renang Antar Klub se-Kota Pontianak
Bila perlu, kata Darwin, memfasilitasi apapun yang mereka perlukan untuk bangkit dan melanjutkan hidup secara normal. Termasuk rehabilitasi psikis, biaya hidup dan pendidikan, bagi korban dan anak yang dilahirkannya yang juga korban.
Terkait pelaku kejahatan HW yang isunya adalah anggota organisasi intoleran ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah Indonesia), Darwin menilai, ini adalah salah satu contoh lain dari sekian fenomena bagaimana intoleransi itu biasanya muncul dari para hipokrit.
“Dan yang beragama secara irrasional dan cenderung mengutamakan atribut. Mereka bicara seperti orang suci tapi kelakuannya membuat iblis saja jadi minder, pungkasnya berkelakar,” tutupnya.