RAMADHAN, KALBAR SATU – Tubuh manusia dibagi menjadi dua bagian. Bagian luar dan bagian dalam. Masing-masing mempunyai tempat dan klasifikasinya tersendiri.
Seperti orang yang sedang melakukan shalat, misalnya. Batas tubuh orang shalat yang dianggap luar adalah yang berada di luar tenggorokan, tepatnya pada makhraj ‘ha’.
Apabila ada orang shalat, di dalam mulutnya terdapat sisa makanan, belum sampai ditelan melampaui tengah tenggorokan, shalatnya orang yang seperti demikian tidak batal karena makanan masih pada batasan luar tubuh.
Berbeda dengan orang wudhu, Batas luar tubuh orang wudhu tidak sama dengan batas luarnya orang shalat.
Orang wudhu, saat membasuh wajah, batas luarnya hanya terletak pada anggota badan yang tampak saja. Sehingga, di dalam mulut, bagi orang yang wudhu sudah dianggap bagian dalam. Begitu pula orang yang puasa.
Orang puasa, batasan luar dalamnya tubuh, secara dasar, mirip dengan orang shalat. Namun ada yang sedikit mirip dengan orang wudhu sebagaimana dalam masalah hukum air liur bagi orang yang puasa berikut ini.
Sebelumnya, mari kita simak dahulu, bagaimana penjelasan Imam Nawawi tentang hukum menelan air liur itu sendiri?
ابتلاع الريق لا يفطر بالاجماع إذا كان على العادة لانه يعسر الاحتراز منه
Artinya:
“Menelan air liur itu tidak membatalkan puasa sesuai kesepakan para ulama. Hal ini berlaku jika orang yang berpuasa tersebut memang biasa mengeluarkan air liur. Sebab susahnya memproteksi air liur untuk masuk kembali.
” (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz 6, halaman 341) Air liur yang tidak membatalkan puasa ketika ditelan baik sengaja ataupun tidak ini mempunyai tiga syarat. Selama tiga syarat berikut terpenuhi, air liur yang kembali masuk ke tubuh, tidak membatalkan puasa.
Pertama, air liur harus murni. Artinya tidak boleh ada benda lain yang merubah warna air liur itu sendiri. Seperti penjahit yang memasukkan benang ke dalam mulut. Kemudian pewarna benang tersebut ada yang mengontaminasi warna air liur sehingga tidak kembali putih atau bening.
Maka hal itu membatalkan puasa. Atau pula ada orang yang air liurnya terkontaminasi oleh darah sebab luka pada gusi kemudian tertelan, juga membatalkan puasa.
Kedua, air liur yang masuk ke tubuh adalah air liur yang keluar dari tubuhnya sendiri dan tidak keluar dari batas ma’fu, yaitu bibir bagian luar.
Di sinilah terdapat sedikit kemiripan antara batas dhahir wudhu dan shalat yang terjadi pada bab puasa. Jadi, air liur yang sudah keluar dari tenggorokan–yang semula dianggap sudah bagian luar- namun karena hajat, selama tidak melewati bibir luar, tidak membatalkan puasa. Ketiga, dalam menelan liur secara wajar sebagaimana adat umumnya.
Apabila ada orang yang dengan sengaja mengumpulkan air liurnya sampai terkumpul banyak, baru kemudian ditelan dalam kondisi banyak tersebut, apakah membatalkan puasa? Ada dua pendapat yang sama-sama masyhur.
Namun paling shahih adalah tidak batal. Sedangkan jika memang tidak sengaja, kemudian terkumpul banyak, para ulama sepakat, tidak membatalkan puasa tanpa ada perbedaan pendapat. Kesimpulannya, air liur tidak membatalkan puasa selama memenuhi tiga kriteria di atas.
Wallahu a’lam…