KALBARSATU.ID – DPP GMNI menggelar aksi tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Dalam aksi itu terdapat sembilan poin tuntutan kepada Pemerintah dan DPR RI. Dari sembilan tutuntan itu, GMNI menyoroti tentang skema Bank tanah yang tertuang pada pasal 127 UU Cipta Kerja.
Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi DPP GMNI, Aru Pratama MS mengatakan, pasal tersebut justru memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
“Bank Tanah diberikan hak pengelolaan untuk memberikan Hak Pakai, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan kepada pihak lain selama 90 tahun. Padahal saat ini, 1% Penduduk Indonesia menguasai 68% tanah di Indonesia,” tutur Aru, Kamis (8/10/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu pasal tersebut, Lanjut Aru, tutuntan DPP GMNI juga tentang UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mana dapat menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan (Karhutla) justru dihapus oleh Pemerintah dan DPR RI melalui UU Cipta Kerja.
“Penghapusan redaksi “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” pada Pasal 88 UU PPLH, sehingga Pasal 88 tersisa “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.” jelas Aru.
Oleh karena itu pengesahan UU Cipta Kerja ini, tegas Aru, terkesan dipaksakan. Sebab, di saat semua elemen bangsa sedang berjuang melawan Covid19, Pemerintah dan DPR tetap melakukan sidang pengesahan UU tersebut. Maka atas dasar ini, tegas Aru, GMNI menganggap Pemerintah dan DPR bersama Oligarki merupakan lawan bersama hari ini.(rls)