KALBARSATU.ID – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi serta mendukung langkah pemerintah yang menunda pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), sehingga bisa meredam berbagai pro kontra yang timbul di masyarakat. Terlebih saat ini suasana kebatinan bangsa Indonesia sedang fokus menghadapi pandemi Covid-19, seyogyanya seluruh konsentrasi pemerintah dan berbagai elemen bangsa juga ditujukan kesana.
“Agar tak menimbulkan berbagai syakwasangka maupun persepsi negatif di masyarakat, ada baiknya DPR dan pemerintah menyerap aspirasi publik dengan mendatangi berbagai organisasi masyarakat yang mewakili berbagai suara publik. Dari mulai Ormas keagamaan seperti PBNU, Muhammadiyah, PGI, Walubi, Matakin, KWI, serta PHDI. Maupun ormas kebangsaan seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lainnya, serta para tokoh dan intelektual. Sehingga berbagai kalangan masyarakat bisa memahami urgensi perlunya kelahiran RUU HIP tersebut,” ujar Bamsoet di Jakarta, Rabu (17/6/20).
Mantan Ketua DPR RI ini menekankan, berbagai kritik maupun pandangan tentang RUU HIP yang beredar di masyarakat, harus mampu diserap pemerintah bersama DPR RI dengan bijaksana melalui dialog terbuka sehingga timbul saling kesepahaman. Pandangan Muhammadiyah maupun Ormas lainnya tentang RUU HIP yang dianggap malah akan mendegradasi Pancasila, misalnya, tak boleh dinafikan begitu saja. Melainkan harus didengar dan dipelajari lebih dalam.
“Pancasila sebagai dasar negara terdapat dalam pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-4. Dalam jenjang norma hukum, pembukaan UUD NRI 1945 merupakan norma fundamental yang menjiwai seluruh materi muatan dalam batang tubuh UUD NRI 1945, karenanya menjadi sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian pandangan bahwa ideologi Pancasila tidak dapat dirumuskan menjadi Undang-Undang, karena akan mendegradasi Pancasila dan nilai-nilainya, bisa dipahami karena pandangan tersebut bukanlah pandangan yang bisa dimentahkan begitu saja. Apalagi langsung ditolak mentah-mentah. Perlu ada kajian lebih jauh melibatkan berbagai ahli hukum tata negara, sehingga kita tak salah langkah,” urai Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menyampaikan, jika RUU ini masih akan dilanjutkan dengan perubahan yang fundamental dan substansial, dirinya sebagai pimpinan MPR akan ikut mengawal.
“Saya satu pandangan dengan Menhan Prabowo Subianto, saat kami pimpinan MPR bertemu di kantor Kemenhan pekan lalu. Kalau untuk memperkuat kedudukan BPIP, tidak masalah. Asal tidak mendegradasi Pancasila sebagai ideologi,” jelas Bamsoet.
Dewan pakar KAHMI ini menjelaskan, pandangan dirinya dan Prabowo Subianto sama dalam memberikan dukungan akan hadirnya payung hukum untuk lembaga BPIP dalam sebuah undang-undang yang sifatnya teknis, hanya mengatur tentang Pedomaan Pembinaan Ideologi Pancasila oleh BPIP. Bukan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila seperti yang ada sekarang.
“Oleh karena itu saya berharap, dari pihak Pemerintah dalam DIM yang akan disusunnya setelah mendengarkan berbagai aspirasi masyarakat, juga dapat mengembalikan atau merubah substansi muatan hukum RUU HIP yang ada saat ini kembali menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila, tanpa tafsir-tafsir lain yang telah menjadi konsesus kebangsaan dan kesepakatan para pendiri bangsa,” tutur Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini juga merespon positif pandangan pemerintah tentang perlunya pencantuman TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 ke dalam konsiderans RUU tentang Pembinaan Ideologi Pancasila mendatang, jika tahapan legislasi sudah sampai pada pembahasan dengan pemerintah. Pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final karena berdasarkan TAP MPR No I Tahun 2003 tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.
“Dengan demikian tidak akan ada lagi praduga dari berbagai kalangan bahwa RUU Pembinaan Ideologi Pancasila tak mengindahkan pelarangan komunisme yang bisa membuka ruang bagi bangkitnya komunisme. Permasalahan komunisme seharusnya sudah selesai dan tak perlu menjadi momok jika semua pihak menghormati konsensus kebangsaan yang ditetapkan melalui TAP MPR tersebut,” pungkas Bamsoet. (*)