Nasional

Wapres: Tak Ada Penutupan Masjid Selama PPKM Darurat

Wakil Presiden Indonesia, Ma'ruf Amin
Wakil Presiden Indonesia, Ma'ruf Amin

KALBAR SATU – Guna Masyarakat tidak mendapat informasi keliru, Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin tegaskan, bahwa tidak ada penutupan masjid selama PPKM Darurat.

Pasalnya, ketentuan terkait penutupan tempat ibadah sudah diubah melalui Instruksi Mendagri Nomor 19 Tahun 2021.

Aturan yang diubah huruf g dan huruf k adalah tentang penutupan tempat ibadah dan pelaksanaan resepsi pernikahan.

Instruksi Mendagri tersebut, tertulis aturan tersebut berlaku mulai 10 Juli sampai 20 Juli 2021. Adapun Instruksi baru ini sudah diteken Mendagri Tito Karnavian.

“Jadi yang tidak boleh itu yaitu yang sifatnya mengumpulkan orang, berjemaah, kan juga misalnya masuk pada majelis, selama PPKM. Ini sebenarnya sejalan dengan fatwa MUI,” kata Maruf Amin dalam pertemuan virtual dengan ulama dan tokoh agama pada Senin 12 Juni 2021.

Lebih sebut Wapres, aturan tersebut dikeluarkan pemerintah semata-mata untuk menjaga umat. Tingkat penularan sekarang ini dengan adanya varian baru itu sangat masif.

Baca Juga: PPKM Darurat Akan Diperpanjang Jika clCovid-19 Semakin Tinggi Selama 4-6 Minggu

Baca Juga: Lasarus: PPKM Darurat untuk Mengerem Laju Penyebaran Covid-19

“Tidak harus bersentuhan tapi berhadapan saja. Karena itu, sekarang pakai masker harus double. Cepat sekali. Penularannya luar biasa,” ujarnya.

Wapres Maruf Amin berharap umat Islam bisa memahami aturan tersebut. Pemerintah punya tanggung jawab untuk menjaga warga dari Covid-19.

“Tidak ada niat untuk kemudian seperti misalnya isu untuk menghilangkan syiar agama, melemahkan agama, saya kira tidak ada itu,” kata Maruf Amin.

Wapres menyebutkan, bahaya Covid-19 di tanah air saat ini kian mengancam. Korban semakin banyak berjatuhan termasuk dari kalangan paramedis dan ulama.

“Tenaga kesehatan yang wafat karena Corona per 6 Juli 2021, telah mencapai 1.000 (orang) lebih, tenaga dokter sebanyak 405 orang, perawat sejumlah 399 orang, 166 bidan, 43 dokter gigi, 32 ahli tenaga laboratorium (ATLM), 9 apoteker, 6 petugas rekam radiologi,” paparnya.

Selain itu, lanjut Wapres, lebih dari 541 ulama meninggal karena Covid-19, yang terdiri dari 451 laki-laki dan 90 perempuan. Ini merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia sebab mencetak dokter dan paramedis lainnya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama.

“Untuk jadi dokter itu tidak mudah, bukan satu atau dua tahun. Tapi sekarang banyak jadi korban. Ini juga kehilangan besar. Mencetak ulama itu tidak gampang, tidak mudah juga,” ujarnya menyayangi.

Wapres juga menyesalkan bahwa saat ini masih ada masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan sehingga menjadi salah satu pemicu naiknya kasus Covid-19.

“Dari laporan Satgas (Covid-19) bahwa di antara yang menyebabkan tingginya (kasus Covid-19), antara lain kurang patuhnya masyarakat melaksanakan protokol kesehatan, kurang patuhnya menggunakan masker, dan kurang patuhnya menaati jaga jarak,” paparnya.

Di samping itu, lanjut Wapres, banyak juga masyarakat yang belum mau di-testing dan divaksin, serta sudah tahu dirinya positif Covid-19 tetapi enggan melakukan isolasi mandiri.

“Pemerintah sekarang juga pontang-panting menyiapkan perawatan, sampai banyak sekarang yang pasang tenda rumah sakit, kekurangan oksigen, kekurangan tenaga kesehatan, sebenarnya ini bertumpuk-tumpuk masalah yang dihadapi,” ungkapnya.

Oleh sebab itulah, tugas para ulama saat ini adalah melindungi masyarakat dengan cara mengimbau agar terus mematuhi aturan pemerintah termasuk dalam menyongsong Hari Raya Idul Adha 1442 H yang masuk dalam periode Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

“Kita ajak masyarakat untuk mematuhi, mengikuti ajakan pemerintah,” katanya dilansir laman resmi Wakil Presiden.

“Termasuk juga saya minta nanti sesuai dengan ketentuan, jangan melakukan kerumunan termasuk salah satunya yaitu melakukan shalat Idul Adha baik di masjid maupun di luar masjid, sampai keadaan nanti sudah memungkinkan lagi,” ujarnya.

Wapres mengajak para ulama untuk menjaga umat dari berita-berita bohong (hoaks). Menurutnya, di era post truth sekarang ini banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan antara informasi yang benar dan yang tidak benar.

“Termasuk informasi bahwasanya Covid-19 adalah konspirasi, padahal ini nyata. Oleh karena itu, saya menamakan era ini (sebagai) “istibah” yang artinya terserupakan, sehingga orang bisa keliru, bisa salah menerima kalau tidak teliti, tidak tabayyun,” paparnya.

Terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis mengapresiasi langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, kata ditutup bisa diartikan masyarakat sebagai penutupan total fungsi masjid sebagai rumah ibadah.

“Kurang tepat bila hanya melihat masjid sebagai rumah ibadah, padahal masjid bisa dijadikan tempat syi’ar dan pusat edukasi, sangat disayangkan bila masjid betul-betul ditutup,” katanya dilansir dari laman resmi MUI.

Namun demikian, dirinya menyarankan agar pemerintah mempertegas batasan masyarakat bisa melaksanakan ibadah.

“Perlu diatur sampai mana batasan masyarakat bisa melaksanakan ibadah,” katanya.

Pada kesempatan itu dirinya juga memberikan saran pada pemerintah agar daerah zona merah harus lebih diperketat protokol kesehatannya.

Beberapa protokol itu jelas Kiai Cholil, seperti pemberlakuan pengecekan suhu dan batas kapasitas di masjid, apabila sudah berlebih jangan lagi menampung jamaah yang bisa menimbulkan kerumunan.

“Terkait hal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah untuk beri edukasi pada takmir-takmir masjid. Bagi masyarakat juga mohon kerjasamanya apabila ada tanda-tanda demam sebaiknya tidak perlu pergi ke masjid,” tutur Kiai Cholil.

Dikatakan Cholil, kegiatan yang bisa dilakukan di masjid yakni memfungsikan rumah ibadah tersebut sebagai posko penanganan Covid-19. Ditambahkan Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah ini, dalam hal edukasi pencegahan penularan maupun batuan sosial dan ekonomi.

Berlangganan Udpate Terbaru di Telegram dan Google Berita
Exit mobile version