News

KOMNAS Perempuan Nilai RUU Masyarakat Hukum Adat Belum Spesifik Akomodir Hak Perempuan

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) Siti Aminah Tardi saat mengikuti Webinar RUU MHA pada Rabu 25 Mei 2022.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) Siti Aminah Tardi saat mengikuti Webinar RUU MHA pada Rabu 25 Mei 2022.

JAKARTA, KALBAR SATU ID – Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) Republik Indonesia menilai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak mengakomodir secara spesifik hak-hak perempuan.

Hal itu didasarkan, salah satunya karena di dalam RUU MHA tidak ada Bab yang mengakui pengalaman spesifik perempuan adat. “Karena, sekali lagi pembentukan perundang-undangan lebih banyak berdasar pada nilai dan norma patriarki atau pengalaman laki-laki,” kata Siti Aminah Tardi.

Hal itu diungkap dalam Webinar dari rangkaian ‘Festival Ibu Bumi’, dengan tajuk ‘Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA): Jaminan Hak Atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, pada Rabu (25/05/2022).

Baca juga: Perempuan Adat Malawi Sebut RUU MHA Dapat Lindungi Lahan Adat dari Pihak Perusahaan

Acara yang diselenggarakan atas kerjasama The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP) dan Beritabaru.co sebagai media partner itu ditayangkan dalam Channel YouTube Beritabaru.co dan Aksi SETAPAK.

Menurut Siti Aminah, walaupun kemudian dinyatakan hukum itu harus dibuat netral gender maka sebenarnya itu mengakibatkan, kita tidak mengenali ketidakadilan dan keberlakuan hukum yang berada antara laki-laki dan perempuan.

“Misalnya, hak atas air. Laki-laki punya hak atas air, perempuan punya hak atas air. Tapi bagaimana keberlakuan hukum itu, sama atau tidak dampaknya? Beda, karena perempuan lebih lekat dengan air, kerja-kerjanya membutuhkan banyak air, kesehatan reproduksinya ditentukan oleh air. Maka disitulah bentuk perlakuan khususnya hak atas air,” terang Siti Aminah.

Baca juga: Rosmy: Perempuan Jadi Penentu Kebijakan Kehutanan di Malalo Sumbar

Contoh lain yang ia sampaikan mengenai pola sistem tanam. Seperti pekerjaan yang diakui adalah petani dan nelayan, yang dikenalkan sebagai kerja laki-laki. Tapi kita tidak melihat kalau di dalam pekerjaan pertanian dan nelayan itu ada pekerjaan lain,yang dikerjakan oleh tenaga perempuan.

“Itu tidak lepas tadi, karena pengalaman yang diangkat adalah pengalaman laki-laki, bukan perempuan,” tegasnya.

Oleh sebab itu Siti Aminah berharap RUU MHA yang saat ini sudah selesai tahap harmonisasi dan disepakati untuk dilanjutkan ke sidang paripurna guna ditetapkan sebagai usul inisiatif itu benar-benar dikawal oleh berbagai pihak untuk memastikan RUU tersebut dapat memuat hak-hak perempuan adat.

Baca juga: HuMA: Pentingnya Koalisi Hutan Adat dan Peran Perempuan Dalam Mendorong Kebijakan Daerah

“Untuk isu pemberdayaan dan peningkatan kapasitas itu juga dirumuskan, agar diusulkan dalam perumusan, untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan, afirmasi dan seterusnya,” pungkas Siti Aminah.

Berlangganan Udpate Terbaru di Telegram dan Google Berita
Exit mobile version