KALBAR SATU ID, NEWS – Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH. Ma’ruf KhozinKH. Ma’ruf Khozin, melontarkan kritik keras terhadap praktik jurnalistik media televisi saat ini.
Dalam postingan akun Facebook Ma’ruf Khozin, menurutnya etika pemberitaan yang dulu dijunjung tinggi kini telah terkikis, membuat wartawan tak ubahnya seperti netizen yang mudah menyebarkan informasi tanpa konfirmasi.
Kritik ini dipicu oleh sebuah tayangan televisi yang dinilai telah menarasikan fitnah dan melecehkan tradisi luhur di lingkungan pesantren, khususnya yang menyangkut adab santri kepada kiai.
“Dulu wartawan sangat menjaga etika pemberitaan, sehingga berita yang dimuat di televisi benar-benar terpercaya. Sekarang wartawan tak ubahnya sebagai netizen, mudah sekali berkomentar dan nge-share berita yang tidak jelas dan tanpa konfirmasi,” ujar Kiai Ma’ruf yang juga menjabat Ketua PW Aswaja NU Center PWNU Jatim.
Baca juga: RMI PWNU Kalbar Kecam Trans7, Tuntut Permintaan Maaf atas Pelecehan Pesantren
Ia menegaskan bahwa di Indonesia yang kaya akan suku dan agama, media seharusnya lebih berhati-hati.
Membandingkan satu tradisi dengan yang lain tanpa pemahaman mendalam berpotensi menghina dan memecah belah.
“Jika satu tradisi suku dibandingkan dengan tradisi yang lain boleh jadi tidak sama, tapi tidak boleh menghina, melecehkan apalagi menarasikan dengan fitnah,” tegasnya.
Baca juga: Tayangan Trans7 Soal Pesantren, Ketua KPI Akan Ambil Sikap Tegas Hari ini
Permintaan Maaf Tidak Cukup, Serukan Aksi Boikot
Menurut Kiai Ma’ruf, dampak dari pemberitaan negatif yang sudah terlanjur viral tidak bisa diobati hanya dengan permintaan maaf.
Klarifikasi atau hak jawab sering kali tidak mendapat perhatian sebesar berita negatif awalnya.
Oleh karena itu, ia menyerukan tindakan yang lebih tegas sebagai bentuk sanksi sosial dan profesional.
“Kalaupun pihak televisi sudah minta maaf, ini tidak cukup. Tapi boikot. Sebab zaman sekarang, jika berita buruk sudah menyebar, maka konfirmasi dan pelurusan berita tidak akan seviral berita yang dicitrakan buruk. Minimal pecat saja wartawan seperti itu,” serunya melalui tagar #BOIKOTTRANS7 yang menyertai tulisannya.
Meluruskan Tiga Tradisi Pesantren yang Disorot
Dalam pernyataannya, KH. Ma’ruf Khozin juga memberikan penjelasan mendalam mengenai tiga tradisi pesantren yang sering disalahpahami dan menjadi bahan dalam tayangan tersebut.
1. Duduk di Atas Kedua Lutut
Banyak yang mempertanyakan tradisi santri duduk dengan posisi merendah di hadapan guru. Kiai Ma’ruf menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari pendidikan akhlak yang diutamakan di pesantren.
Baca juga: Da’i Kalbar Zain Muchsin Kecam Tayangan Trans7, Dinilai Lecehkan Kiai dan Pesantren
“Pesantren mendhttp://Da’i Kalbar Zain Muchsin Kecam Tayangan Trans7, Dinilai Lecehkan Kiai dan Pesantrenahulukan pelajaran akhlak dari pada ilmu. Sebab jika akhlak sudah terbentuk, maka ilmu yang dimiliki tidak menjadikan mereka sombong,” jelasnya.
Ia pun mengutip sebuah hadis riwayat Ibnu Majah, di mana Nabi Muhammad SAW pernah duduk di atas kedua lututnya. Ketika ditanya oleh seorang Arab Badui, Nabi menjawab:
“Allah menjadikan aku sebagai hamba yang mulia, tidak menjadikan aku sebagai hamba yang sombong.” (HR. Ibnu Majah).
Baca juga: Seminar Hari Santri Nasional, Anggota DPRD Kalbar Suib: Kawal Ulama dan Pondok Pesantren
2. Mencium Tangan Ulama
Tradisi mencium tangan ulama (takzim) juga memiliki dasar yang kuat dalam Mazhab Syafi’i yang banyak dianut di Indonesia. Kiai Ma’ruf mengutip dari kitab Al-Majmu’ (4/636):
“Dianjurkan untuk mencium tangan orang yang Saleh, Zuhud, berilmu dan lainnya dari ahli akhirat.”
Ia menambahkan bahwa banyak riwayat hadis yang menunjukkan para sahabat mencium tangan Nabi Muhammad SAW, dan bahkan sesama sahabat sebagai bentuk penghormatan.
Baca juga: Legislator PPP Kubu Raya Kecam Tayangan Trans7 yang Singgung Tradisi Santri
3. Sowan dengan Membawa Hadiah (Amplop)
Narasi yang paling dianggap menyakitkan adalah fitnah terkait tradisi sowan (berkunjung) ke kiai dengan membawa “amplop”, yang dikesankan untuk membeli kemewahan. Kiai Ma’ruf membantah keras tuduhan ini.
Menurutnya, membawa hadiah saat sowan adalah bentuk ketulusan dan anjuran dalam Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Baca juga: Jelang Hari Santri 2025, Berikut Arti Filosofi Logo Tahun ini
“Jika saja aku diberi hadiah sepotong daging niscaya aku terima.” (HR. al-Bukhari).
Ia menjelaskan bahwa praktik ini adalah wujud cinta santri kepada kiai dan tidak bersifat wajib.
Baca juga: Komisi VIII DPR RI Kecam Trans7 Lecehkan Kiai dan Pesantren
Hadiah yang diberikan pun bervariasi, mulai dari hasil bumi hingga sekadar uang ala kadarnya, bukan jutaan rupiah seperti yang dituduhkan.
“Apa betul itu untuk beli mobil mewah? Santri yang sowan itu bukan isi uang jutaan. Kalau Kiai mampu beli mobil mewah, itu karena beliau memiliki usaha di luar pondok, seperti peternakan atau toko,” pungkasnya, meluruskan fitnah yang ditujukan kepada Kiai Anwar Mansur.
Baca juga: RMI PWNU Kalbar Kecam Trans7, Tuntut Permintaan Maaf atas Pelecehan Pesantren