KALBAR SATU ID – Ratusan jurnalis di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) turun ke jalan menggelar aksi penolakan revisi atau Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran.
Bundaran Digulis Kota Pontianak menjadi lokasi organisasi dan aliansi jurnalis menyampaikan penolakan RUU yang sangat kontroversial tersebut.
Mereka diantaranya yang kompak menolak diantaranya ada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pontianak, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Kalbar.
Kemudian ada pula Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Ikatan Wartawan Online, Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Forum Jurnalis Perempuan (FJP) Indonesia, Jaringan Perempuan Khatulistiwa (JPK), Aliansi Mahasiswa Jurnalistik IAIN Pontianak hingga sejumlah organisasi pers lainnya.
Satu diantara koordiantor aksi, Uun Yunias mengatakan ada sejumlah pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dalam draf revisi UU Penyiaran. Untuk itu pihaknya menuntut agar pasal-pasal bermasalah dalam draff RUU Penyiaran dihapus.
Baca juga: Dewa Budjana Gitaris Gigi Bakal Meriahkan Inaugurasi Pelantikan GP Ansor di Istora
“Aksi ini digelar untuk mengkritisi dan menolak beberapa pasal yang bermasalah dalam revisi UU Penyiaran,” ungkapnya.
Uun yang juga merupakan Ketua IJTI Kalbar ini menyebut, aksi tersebut akan berbentuk orasi dan teatrikal yang mengambarkan bentuk perlawanan dan perjuangan atas kemerdekaan pers, serta kebebasan berekspresi.
“Kami menuntut agar pasal-pasal bermasalah dalam draff RRU Penyiaran dihapus. Kami tak ingin kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dirampas,” tegasnya.
Dia berharap jalannya aksi demonstrasi, mimbar bebas, atau penyampaian pendapat di muka umum tersebut dapat berjalan lancar dan kondusif.
Untuk diketahui, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berencana merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Recana ini telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran. Draf revisi UU Penyiaran yang merupakan inisiasi dari DPR tersebut telah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) pada 27 Maret 2024 lalu.
Rencana revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini kemudian mendapat kritikan keras dari sejumlah organisasi pers.
Gerakan penolakan dari para jurnalis juga semakin gencar selama sepekan terakhir. Bukan cuma di Jakarta atau kota-kota besar, aksi demo juga meletus di berbagai wilayah lainnya di Indonesia.
Unjuk rasa dilakukan sebagai bentuk sikap menolak revisi UU yang dinilai sangat menyesatkan dan dianggap sebagai upaya pembungkaman pers.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dalam pers rilisnya juga memberikan kritikan keras. IJTI menaruh perhatian terhadap draf revisi UU Penyiaran baik dari sisi proses penyusunan maupun subtansi.
Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers telebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers.
Dalam darf revisi UU Penyiaran tersebut terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI. Pertama, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.
IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan, pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi?
“Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik, maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigas disiarkan di televise,” tulis IJTI dalam rilis yang diterima Suara Pemred.
Secara subtansi pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air.
Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas.
Kedua, Pasal 50 B ayat 2 huruf k, penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini sangat multi tafsir terlebih yeng menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.
IJTI memandang pasal yang multi tafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis atau pers.
“Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai control sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntable dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik,” tulis IJTI.
Ketiga, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyeleseaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.
IJTI juga memandang bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR.
Sesuai dengan UU Pers telah jelas bahwa komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui selft regulation. Oleh karena itu setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers.
Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun.
Menyikapi hal tersebut, IJTI menyatakan sikap menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut.
Kemudian meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik dan meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform.
Sementara itu Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak menyebut pasal larangan penayangan konten jurnalisme investigasi bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 2 UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
“Ini pasal yang absurd dengan tendensi anti kebebasan pers karena secara spesifik menyasar kerja-kerja jurnalisme investigasi,” kata Hamdan Darsani.
“Dampak lainnya, larangan tersebut akan membungkam kemerdekaan pers,” ungkapnya.
Pimpinan Redaksi Suara Pemred, Harry A Daya pun turut mengambil bagian dalam aksi turun ke jalan tersebut. Harry menyatakan turut prihatin terhadap RUU Penyiaran yang ingin melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.
“Kami sepakat dengan tokoh pers nasional Karni Ilyas yang mengungkapkan keprihatinan terhadap RUU Penyiaran yang ingin melarang melakukan investigasi, padahal sebagai jurnalis, investigasi adalah karya jurnalistik yang terbaik dan sangat berguna untuk mengungkap kebenaran,” katanya.