KALBAR SATU ID, JAKARTA – Untuk mencapai target Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030 dan pembangunan rendah karbon dibutuhkan adanya kerja sama multipihak, khususnya terkait pendanaan.
Hal ini disampaikan oleh Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Perlindungan Lingkungan Bejo Untung dalam Konferensi Nasiona Ecological Fiscal Transfer III yang diselenggarakan secara bauran di Yogyakarta dan Kanal Youtube Beritabaruco pada Senin (14/11/2022).
Bejo mengatakan, sinergi dari berbagai level pemerintah diperlukan untuk menemukan skema pendanaan yang sesuai, mengingat biaya untuk mengatasi perubahan iklim besar. Model yang Bejo nilai pas dan telah dipraktikkan oleh beberapa kepala daerah di Indonesia adalah EFT. Menurut Bejo, EFT adalah proses pemberian transfer dari pemerintah pusat ke tingkat di bawahnya.
“Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa skema EFT ini berbasis insentif atau kinerja,” ungkap Bejo.
Baca juga: DOWNLOAD Video Kebaya Merah 16 Menit Full No Sensor Viral, Link Nonton Dicari di Yandex dan LK21: Ini IG Pemeran
Program Director Environmental Governance Unit The Asia Foundation (TAF) Alam Surya Putra menambahkan, EFT sebagai alternatif pendanaan bagi pemerintah dalam perlindungan lingkungan menjadi materi diskusi pada Konferensi EFT pertama di tahun 2021.
Pada konferensi EFT perdana, tegas Alam, tema yang diangkat seputar pengembangan EFT dan model adopsi serta pengenalan EFT ke khalayak lebih luas, sedangkan pada konferensi II tentang arah baru kebijakan fiskal di Indonesia.
“Yang kedua itu untuk mendorong prinsip EFT yang menggunakan performance based budgeting yang kemudian teradopsi oleh pemerintah dalam revisi UU HKPD,” kata Alam dalam diskusi yang dipandu oleh Roy Salam.
“Dan untuk yang ketiga ini fokus pada bagaimana EFT berkontribusi dalam pendanaan untuk mendukung kebijakan pemerintah terkait FOLU Net Sink 2030 dan pembangunan rendah karbon,” tambahnya.
Dalam konteks tersebut, menurut Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nur Hygiawati Rahayu sangat terkait dengan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau.
Tujuan pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau adalah istilah yang saling bertautan, yang berpijak pada prinsip pengurangan emisi karbon dan polusi, peningkatan efisiensi energi dan sumber daya, dan pencegahan kehilangan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan.
“Prinsipnya adalah pembangunan tetap berjalan dan dengan tetap mempertahankan kemampuan alam untuk menyediakan sumber daya dan jasa lingkungan yang dibutuhkan untuk ekonomi dan sosial,” jelasnya.
Baca juga: Tanggapi Masalah Ekonomi, Fomeka dan Dinas Koperasi Kalbar Beri Bantuan Bagi Pelaku Usaha Pemula di Pontianak
Dalam sesi pertama Konferensi bertema Konsolidasi Masyarakat Sipil untuk Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup dalam Agenda Pencapaian FOLU Net Sink 2030 dan Pembangunan Rendah Karbon yang dimoderatori oleh Margaretha Tri Wahyuningsih, hadir juga Mas Ahmad Santosa dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).
Jika Hygiawati bicara ekonomi hijau, maka Mas Achmad Santosa menyampaikan tentang ekonomi biru. Ekonomi biru, tandasnya, melekat dengan karbon biru yang tidak lain adalah ekosistem berbasis alam yang bisa digunakan untuk menanggulangi kerusakan lingkungan di lingkungan mangrove dan pesisir.
“Karbon biru sendiri adalah ekosistem yang dikaitkan dengan mangrove, hutan bakau, dan padang lamun. Tapi persoalannya yang terakhir, padang lamun, tidak populer,” ungkapnya.
Konferensi EFT III digelar selama dua hari, yakni 14 dan 15 November 2022.
Pada hari pertama terdapat dua (2) sesi seminar dengan dua tema: pendanaan lingkungan hidup untuk pencapaian FOLU Net Sink 2030 dan pembangunan rendah karbon dan pembelajaran dan praktik pendanaan lingkungan hidup di Indonesia.
Sesi kedua dipandu oleh Ramlan Nugraha dan hadir di forum anggota akademisi dari Universitas Mulawarman, Dr. Rustam, Sub Direktorat Dana Bagi Hasil Kemenkeu Mariana Dyah Savitri, perwakilan dari Direktur Penghimpunan dan Pengembangan Dana BPDLH Kemenkeu, Lia Kartikasari, dan Stakeholder Engagement Manager Wildlife Works Indonesia, Hadi Prayitno.
Acara ini diselenggarakan oleh TAF bekerja sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pendanaan Lingkungan yang terdiri dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budget Center (IBC), Seknas FITRA, FITRA Provinsi Riau, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK), JARI Indonesia Borneo Barat, Pilar Nusantara, Yayasan Sikola Mombine, dan JEMARI Sakato.