Opini

3 Keadaan ini, Orang tua Dilarang Ikut Campur Urusan Anaknya

1
Penulis: Fahmil Ulum, Lembaga As'adiyah dan Alumni Ma'had Aly Situbondo
Penulis: Fahmil Ulum, Lembaga As'adiyah dan Alumni Ma'had Aly Situbondo

KALBAR SATU ID – Menentukan hidup sendiri berarti memiliki kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan yang tepat untuk diri sendiri dan merumuskan tujuan hidup dengan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencapainya. Ini dapat mencakup pekerjaan, pendidikan, relasi, dan gaya hidup sesuai dengan keinginan pribadi.

Kecakapan dan kebebasan untuk memilih tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang bisa dibilang dewasa dan sudah menjadi orang tua, akan tetapi bebas bertindak dan menentukan tujuan pun berlaku bagi diri seorang anak. Apa yang dipilih sudah barang tentu mengetahui terhadap dampak yang akan ia terima, entah hal tersebut akan membawa kebaikan atau sebaliknya.

Advertiser
Banner Ads

Tidak berhenti disitu, apa yang anak pilih terkadang berbeda dengan apa yang menjadi pilihan orang tua. Sang Anak berdalih bahwa bimbingan dan arahan dari orang tua sudah dirasa cukup serta ada keinginan dari dirinya untuk hidup dalam keadaan mandiri.

Dari sinilah tentu ada batasan yang harus diperhatikan dan dijalankan oleh seorang anak yang berbeda pilihan dengan orang tuanya. Tidak semua hal ia boleh berbeda dan begitupun sebaliknya tidak semua hal ia harus sama dengan orang tuanya.

Berikut ini akan dijelaskan tiga keadaan dimana anak boleh berbeda pilihan dengan orang tuanya.

Pertama: Menentukan pasangan hidup. Menentukan pasangan hidup adalah proses yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pasangan hidup akan menjadi teman dan pendamping dalam perjalanan hidup kedepannya.

Orang tua tidak selayaknya menentukan pasangan kepada anaknya. Ini bukan lagi zaman siti nurbaya, dimana pasangan harus ditentukan orang tua. Bahkan saat anak menolak untuk tidak menerima pasangan dari orang tuanya tidak menjadi masalah, tidak durhaka. Sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad bin Muflih bin Muhammad bin Mufarij dalam kitab al-Adab al-Syariyah wa al-Man’u al-Mariyah [1/446] berikut;

قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ – رَحِمَهُ اللَّهُ – إنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَنْ يُلْزِمَ الْوَلَدَ بِنِكَاحِ مَنْ لَا يُرِيدُ، وَإِنَّهُ إذَا امْتَنَعَ لَا يَكُونُ عَاقًّا،

“Syekh Taqi al-Din mengatakan, tidak boleh kepada satu pun dari orang tua yang berhak memaksa anaknya menikah dengan seseorang yang tidak diinginkannya dan jika dia menolak, dia tidak dikatakan sebagai durhaka” (Muhammad bin Muflih bin Muhammad bin Mufarij, al-Adab al-Syariyah wa al-Man’u al-Mariyah, juz 1, hal 446)

Argumentasi yang digunakan oleh beliau cukup sederhana, yaitu bergaul dengan pasangan yang tidak disukai adalah merugikan orang yang sudah lama mengidamkannya dan orang tersebut tidak akan pernah terpisah dengan apa yang ia suka pertama kali. (Muhammad bin Muflih bin Muhammad bin Mufarij, al-Adab al-Syariyah wa al-Man’u al-Mariyah, juz 1, hal 446)

Kedua: Menyuruh untuk bercerai. Talak (cerai) merupakan hak yang diberikan kepada suami untuk mengakhiri pernikahan. Orang lain, bahkan orang tua, tidak memiliki hak menyuruh sang anak untuk mentalak istrinya. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqih al-Islamy wa adillatuhu, [9/6875] mengatakan bahwa anak tidak harus patuh dan taat orang tua yang menyuruhnya untuk bercerai atau talak. Sebagaimana dijelaskan:

وصرح الحنابلة: أنه لا يجب على الرجل طاعة أبويه ولو عدلين في طلاق أو منع من تزويج. وما قد يترتب على الطلاق من أضرار، وبخاصة الأولاد، يحتمل في سبيل دفع ضرر أشد وأكبر، عملاً بالقاعدة: )يختار أهون الشرين(

“Kalangan Hanabilah menyatakan: Tidak wajib bagi seorang laki-laki untuk menaati kedua orang tuanya, meskipun keduanya adil, dalam hal talak atau mencegah untuk menikah. Kerusakan yang diakibatkan oleh perceraian, terutama anak-anak, dimungkinkan untuk menangkal kerugian yang semakin besar, sesuai dengan aturan: (Ia memilih yang lebih kecil dari dua keburukan)”(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islamy wa adillatuhu, juz 9, hal 6875)

Ketiga: Menyuruh untuk berbuat maksiat. Orang tua yang menyuruh anaknya untuk melakukan maksiat adalah sebuah tindakan yang tidak baik karena hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum agama dan moral. Oleh karena itu, anak boleh bertentangan dengan kedua orang tua. Hal ini sebagaimana Rasulullah Saw bersabda dalam Hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar RA berikut;

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «السَّمْعُ [ص:50] وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ» صحيح البخاري (4/ 49)

“Ketaatan adalah hak selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk melakukan maksiat, maka tidak ada pendengaran dan juga tidak ada ketaatan”(HR. Al-Bukhari,4/49)

Saat dilihat lebih mendalam banyak kondisi yang menyebabkan anak boleh berbeda pilihan dengan orang tuanya. Hal ini terjadi dengan melihat beberapa pertimbangan dan situasi yang ia alami. Akan tetapi perlu diingat bagi anak, orang tua saat memilih jalan untuk anaknya pasti memilih yang terbaik. Sebab, orang tua sudah menjalani kehidupan sementara anaknya masih akan menjalani. Maka pantas seorang anak tidak langsung menolak terhadap apa yang dipilihkan orang tua untuknya. Anak harus mendiskusikan dan memusyawarahkan terlebih dahulu dengan orang tua, mana kiranya pilihan yang pantas untuk dirinya, apakah pilihannya sendiri atau malah pilihan orang tua.

Sekian penjelasan tentang tiga keadaan anak diperbolehkan berbeda pilihan dengan orang tuanya. Semoga bermanfaat.

Penulis: Fahmil Ulum, Lembaga As’adiyah dan Alumni Ma’had Aly Situbondo..

Exit mobile version