KALBARSATU.ID – Mbah Gusdur, dalam buku “Tuhan tidak Perlu Dibela”, memotret beberapa puisi di majalah Zaman, yang dibuat bocah-bocah dibawah usia 15 tahun.
Beliau menulisnya dengan kekaguman akan sifat polos anak-anak, yang tertuang begitu saja bersama huruf-huruf, terangkai menjadi kata, menjalin sebagai kalimat dan bermetamorsis sebagai sajak: untuk siapapun bercermin dan menemukan diri masing- masing dalam puisi itu.
Keakraban anak-anak itu kian terasa, tulis Mbah Gusdur, terutama saat menjadikan Tuhan sebagai sasaran bertubi-tubi tiap persoalan mereka, tak terkecuali ujian matematika mereka, sebagaimana tulisan Zul Irawan:
“..Tuhan, berikan aku mimpi malam ini
Tentang matematika, yang diujikan besok pagi..”
Tuhan juga menjadi bidikan kebingungan Adi Utomo Hatmoko, yang mengalami keterputusan komunikasi ketika ia menguncupkan tangan dalam doa:
“..Doaku sudah kuakhiri. Sehingga Engkau tidak bakal mengerti.
Amiin..”
Sebaliknya, Aghata Artistayudha menggugat suasana tidak peduli pada Tuhan, yang dilakukan orang-orang kebanyakan, dalam sajaknya “Kitab Suci”:
“..Engkau di dalamnya, Tuhan Terpepet
dan menjadi makanan rayap
Ketika semua orang tak menghiraukanMu lagi..”
Di samping itu, menurut Mbah Gusdur, mereka sanggup merasakan kehadiran Tuhan pada tiap kesempatan, termasuk dalam bentuk yang sangat sublim, bahkan pada permainan mereka:
“..Sungguh aku tahu bahwa Tuhan itu
adalah Kau: Yang setiap saat kujumpai
lewat permainan kami tadi…”
Tak hanya smpai di sana, Mohammad Sofyan juga mengalami teofani denganNya dalam perbincangan dan tukar tangkap gagasan sehari-hari, dalam pikiran dia sendiri, walau dengan makna yang berbeda.
Tapi tentang nikmatNya, ia pun hendak berbagi dengan semesta kebaikan, agar tak merasa menang saat ada yang kalah, supaya tak ada arang ketika yang lain menjadi debu beterbangan:
“…Bila Kau hendak memanggil, panggil aku sendiri. Bila Kau hendak memberi,
jangan aku sendiri…”
Betapa polosnya hubungan mereka dengan Tuhan. Inilah mungkin yang akan mengekalkan penghayatan keimanan bangsa ini, lanjut Mbah Gusdur, bukan khotbah para agamawan atau diskusi pemikiran keagamaan yang sering terjadi hanya dalam ruang sempit masjid atau tempat kuliah yang dibanggakan para mahasiswa dengan sederet prestasi yang sebenarnya tak mengubah apa-apa.
Seolah-olah para penyair cilik itu mengerti benar bahwa masalah dasar bangsa ini hanya teratasi, bilamana warga bangsa memiliki wawasan transendental yang kaya, yang memungkinkan mereka menjumpai harkat-martabat kemanusiaan di antara mereka.
Dengan kemampuan dan sentuhan para begawan mungil seperti tergambar di atas, nyatalah bagi kita bahwa Tuhan pun serasa dekat dengan mereka.
Mampukah kita mencari keakraban seperti itu?
Penulis : Ach Khoiron Nafis