Opini

Apa Kabar Demokrasi, Masih Sehat kah?

Ilustrasi/Sumber: ideku unik
Ilustrasi/Sumber: ideku unik

KALBARSATU.ID — Baru-baru ini kita melihat lautan semangat mahasiswa yang bersatu padu dengan kelompok buruh serta pelajar menolak UU Ciptaker. Jika bazer-bazer mem-bully habis aksi yang dilakukan kawan-kawan demostran dengan dalil tidak membaca UU Cipta Kerja dll, penulis malah terkagum-kagum melihatnya. Sebab dengan hadirnya aksi yang dilakukan itu, artinya mahasiswa tidak apatis, sadar akan nasibnya, dan nasib masa depan anak cucu serta bangsa ini.

Bangsa ini memang tidak pernah kosong dengan pemuda yang peduli terhadap tanah air. Walaupun dengan kasus yang berbeda, namun semangat itu menjadi bukti bahwa pemuda adalah agen perubahan sekaligus benteng pertahanan bangsa ini. Bayangkan, setiap momentum penting pemuda selalu menjadi garda terdepan, meskipun tidak sedikit yang mengalami tekanan dari sana sini, khususnya yang masih kuliah dan pelajar. Mahasiswa ditekan dari kampus hingga ditakut-takuti, sedangkan pelajar juga begitu ditakut-takuti.

Itulah mengapa penulis merasakan keresahan atas demokrasi yang tampak itu. Keresahan pertama anarkisme yang dilakukan oknum perusuh yang berusaha menunggangi aksi suci yang dilakukan oleh Demostran. Kedua adalah nasib buruk yang harus diterima mahasiswa, nasib buruk itu berupa bullyan dari bazer-bazer, penangkapan, hingga pemukulan terhadap mahasiswa oleh oknum polisi seperti yang diberitakan beberapa media online salah satunya pontianakpost.

Melihat kondisi ini tampaknya ada aroma – aromanya semacam upaya melemahkan suara rakyat.Tentu ini mengkhawatirkan, ketika suara-suara rakyat tak lagi menjadi pertimbangan kuat, jadi apa arti dari demokrasi itu? Pada situasi ini, penulis khawatir ketika ruang demokrasi itu tak lagi menjadi pertimbangan kebijakan, maka bisa saja rakyat menganggap pemerintah sebagai musuh, terlebih ketika rakyat bersuara pihak penguasa menganggap itu sebuah perlawanan, padahal bukan, lebih tepatnya kritikan dan masukan.

Namun Penulis yakin, walaupun pemuda menemui tekanan takkan pernah mundur apalagi menyerah, sebab pemuda Indonesia diwarisi semangat yang tak kan pernah mati, yaitu semangat pemuda yang dikenal Sumpah Pemuda 28 Oktober. Maka begitulah kata Bung Karno “Berikan aku 10 pemuda maka akan saya akan goncang dunia.” Maka dari itu, sekali lagi pemerintah perlu diingatkan bahwa negara tak bisa dipisahkan dari ruang pikir dan gerak pemuda.

Bagaimana Respon Pemerintah Terhadap Aksi Tolak Ciptaker

Sebagai warga yang baik saya sangat hormat terhadap Presiden RI, Joko Widodo, para pembantunya, dan DPR. Namun sebagai warga yang baik pula, saya memuliakan demokrasi sebagai jalan yang benar di negara ini. Maka rasanya mengkritisi sikap pemerintah dan DPR bukanlah pemberontakan.

Sejauh ini Presiden Jokowi tidak memberikan tanda-tanda yang bijak menyikapi suara-suara yang bernada nyaring menolak UU Ciptaker. Bahkan sikapnya kokoh, seolah tak mendengar suara yang berteriak, buktinya setelah aksi pertama yang dilakukan oleh Mahasiswa, buruh, pegiat lingkungan dll, Jokowi menggelar rapat dengan Gubernur se Indonesia, bahkan beliau meminta kepada seluruh gubernur untuk mendukung UU Ciptaker.

Tidak hanya itu, pemerintah dan DPR sibuk membela diri dan mencari kesalahan Demostran, seperti narasi-narasi yang berhembus kencang di media dengan berbagai alibinya. Harusnya, Pemerintah dan DPR RI mengevaluasi kerja-kerjanya yang dinilai tidak sesuai prosedur dan itu lebih baik dan bijaksana.

Padahal kejanggalan itu dipertontonkan, anehnya tanpa merasa dosa apalagi merasa bersalah mereka bersikukuh ingin tetap mengesahkan. Ada beberapa kejanggalan yang berhasil dikumpulkan penulis dari beberapa media. Pertama buruknya komunikasi jajaran pembantu presiden, baru-baru ini juga diakui sendiri oleh Jokowi seperti diberitakan di liputan.com. Kedua penulis kutip dari halaman tempo.co (23/10/20) menyebutkan bahwa sejumlah politikus senayan yang hadir dalam rapat paripurna, mengaku belum menerima salinan aturan itu saat UU Cipta Kerja diketok. Harus, draf final diberikan ketika anggota menandatangani daftar hadir sebelum masuk ke ruang sidang.

Ketiga penulis kutip dari media Tirto.id bahwa setelah disahkan pada 8 Oktober, Fraksi Partai Golkar dan PKS gamblang menyebut draf UU itu masih direvisi. Kejanggalan lain misalnya, pengesahan UU Cipta kerja itu terkesan dipaksakan seolah pemerintah ini sedang dikejar target setoran padahal negara sedang menghadapi massa pandemi, terdapat juga revisi-revisi UU itu yang sudah disahkan, sehingga jumlah halamannya berubah-berubah.

Harusnya Jadi Titik Introspeksi

Penulis pikir Demostran wajar secara spontan melakukan penolakan terhadap UU Cipta kerja yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sebab di dalam UU itu menyangkut masa depan hidup rakyat dan bangsa ini. Dan itu bukan tanpa alasan, selain karena kepercayaan rakyat terhadap DPR RI sangat lemah, juga diikuti kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang semakin menurun.

Pada titik inilah, pemerintah dan DPR seharusnya bisa introspeksi bagaimana memperbaiki kinerja yang baik, bukan hanya soal ketika membuat UU itu untuk siapa dan berpihak kepada siapa, Namun juga soal komunikasi dan keterbukaan informasi, sebab negara tidak kekurangan perguruan tinggi, profesor, ahli UU, pegiat lingkungan dll. Lah ini, jangankan dilibatkan untuk mendapatkan sebuah naskah UU Cipta Kerja yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan saja rakyat masih bingung karena belum ada yang valid.

Pemerintah dan DPR jangan malah merasa kuat, lalu rakyat sendiri dilawan seperti musu, bahkan anehnya meskipun ditemukan kejanggalan baik proses pembuatan maupun secara subtansial mereka masih merasa benar dan getol untuk tetap mengesahkan UU Cipta Kerja, padahal daya tolak itu datang dari ribuan massa.

Melihat itu, tentu pemerintah dan DPR tak boleh bersikap semaunya sendiri, sehingga ketika rakyat yang melakukan protes, lalu dianggap membangkang. Padahal kita sendiri hidup di dalam negara demokrasi.

Penulis: Zubairi

Berlangganan Udpate Terbaru di Telegram dan Google Berita
Exit mobile version