Opini

Apakah Pendidikan Kita Mengantarkan Anak Siap Menghadapi “Tanda Tanya” ?

Apakah Pendidikan Kita Mengantarkan Anak Siap Menghadapi “Tanda Tanya” ?
ISTIMEWA/ PKBM SEKOLAH ALAM TERPADU CERLANG Anak-anak Sekolah Alam Terpadu Cerlang beberapa waktu lalu berdiskusi dan merancang lintasan permainan panjat meja. Kegiatan ini mendorong anak berpikir kritis dalam perencanaan yang memperhitungkan keselamatan peserta permainan.

OPINI, KALBAR SATUApakah Pendidikan Kita Mengantarkan Anak Siap Menghadapi “Tanda Tanya” ?

“Hidup adalah  soal keberanian,

menghadapi jang tanda tanja

tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar

terimalah, dan hadapilah

Djakarta, 19-7-1966

Soe Hok-gie

Apabila kita membaca pernyataan Soe Hok-gie tersebut, yang tertuang dalam “Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya”, mari kita memaknai ulang: apakah pendidikan di Indonesia saat ini telah mampu mengantarkan anak-anak untuk “berani menghadapi tanda tanya”?

Ketidakpastian, kegagalan, keberhasilan, perubahan, bahkan kemunduran bisa jadi bagian dari “tanda tanya hidup” yang dimaksudkan Soe Hok-Gie, seorang pemuda dengan pemikiran kritis terhadap rezim Orde Lama dan Orde Baru.

Berpuluh tahun setelah Soe Hok-Gie meninggal pada pertengahan Desember 1969, pernyataannya masih sangat relevan untuk kita selami. 

Kemampuan, kesiapan, dan keterampilan anak menghadapi “tanda tanya hidup” diteliti secara mendalam oleh Angela Duckworth, profesor psikologi di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, yang juga merupakan penulis sains populer.

Dalam bukunya berjudul “GRIT, Kekuatan Passion dan Kegigihan”, Duckworth menyimpulkan bahwa ketabahan dan pengendalian diri akan tumbuh saat manusia mencari falsafah hidup.

BACA JUGA Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kubu Raya Pastikan Pelaksaan Ujian Sekolah Lancar

Menurut dia, terbentuknya ketabahan dan pengendalian diri orang dewasa terhadap berbagai “tanda tanya hidup”, dipengaruhi oleh bakat (gen) dan pengalaman.

Duckworth menegaskan bahwa bakat tidak akan berpengaruh positif terhadap ketabahan dan pengendalian diri, apabila tidak diiringi dengan pengalaman.

Dalam penelitiannya, Duckworth menemukan bahwa anak dengan ketabahan dan pengendalian diri yang baik, mampu mengalahkan kemampuan anak yang berbakat.

Dia menggarisbawahi bahwa bagaimana anak menyikapi ketidakbisaan, kesalahan dan kegagalan, menjadi kunci utama apakah dia akan tumbuh dengan ketabahan dan pengendalian diri. 

BACA JUGA GenBI Kalbar Renovasi Sekolah dan Sosialisasi Pendidikan di Kubu Raya

Berdasarkan penelitian secara sistematis dan kuantitatif, Duckworth mengungkap bahwa ada empat hal terkait aset psikologis dalam ketabahan, yakni minat, latihan, tujuan, dan harapan.

Lantas, apakah pendidikan yang kita terapkan mampu menumbuhkan keempat aset psikologis tersebut?

Mari kita tinjau satu di antara empat aspek tersebut, yakni minat. Para pendidik di kelas online atau offline, cobalah perhatikan adakah binar mata penuh rasa ingin tahu dari siswa siswi Anda?

Jika belajar tak dilandasi rasa ingin tahu, sulit berharap bahwa hal-hal yang dipelajarinya di kelas akan terus dia kembangkan.

Lantas apa yang perlu diterapkan dalam pendidikan sehingga menumbuhkan pemahaman anak tentang minat, latihan, tujuan, dan harapannya? Pendidikan yang berpusat pada anak adalah jawabannya. Sadari bahwa anak adalah maha guru untuk dirinya dan lingkungannya, maka kembangkan pendidikan sesuai dengan fitrah anak.

Demi menerapkan pendidikan yang berpusat pada anak, diperlukan guru-guru yang memiliki kemampuan menumbuhkan semangat bertanya pada anak.

Dalam menjalankan pendidikan yang berpusat pada anak, guru semestinya berperan sebagai fasilitator yang mampu menumbuhkan dan memupuk pemikiran kritis pada anak.

Sayangnya yang sering terjadi adalah guru berperan sebagai orang yang serba memberi tahu, sehingga anak tak memiliki pengalaman menemukan sendiri beragam sumber belajar dan terus mengembangkan pertanyaan.

Kemampuan mengembangkan pertanyaan akan membangun kemampuan evaluasi anak. Dia akan mampu mengetahui penyebab kesalahan, kegagalan, dan keberhasilan yang dia alami, lantas menemukan pentingnya melakukan latihan (terus mencoba), juga mengetahui tujuan dan harapannya dalam menghadapi “tanda tanya hidup”. 

Jika sebaliknya kita justru mengembangkan pendidikan yang menggiring anak untuk cenderung menghafal isi buku pelajaran dan tak mampu berpikir kritis, maka rasanya kita belum bisa berharap bahwa tujuan pendidikan yang kita kembangkan akan mengantar anak siap menghadapi “tanda tanya”.

Penulis: Dian Lestari, Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sekolah Alam Terpadu Cerlang.

Berlangganan Udpate Terbaru di Telegram dan Google Berita
Exit mobile version