Opini

Buruknya Citra Perempuan dalam KBBI

1
Buruknya Citra Perempuan dalam KBBI
Penulis: Putriana, M.Pd.(Ketua Rumah Perempuan dan Anak Kalimantan Barat)

Buruknya Citra Perempuan dalam KBBI

Penulis: Putriana, M.Pd. (Ketua Rumah Perempuan dan Anak Kalimantan Barat)

Advertiser
Banner Ads

OPINI, KALBARSATU.ID — Sejak menjadi aktivis perempuan, saya lebih banyak mengoleksi dan menikmati buku-buku bertemakan feminisme dan gender, yang deretannya kini menyerupai perpustakaan mini di kamar saya pribadi.

Nah, dalam buku-buku tersebut tak sedikit penulis yang ketika membincang perempuan, memulainya dengan memaknakan kata ‘perempuan’. Bahwa perempuan dari kata dasar ‘empu’ yang memiliki makna mahir/ ahli/ berkuasa/ mulia/ induk/ hulu/ kepala/ puan, yang sejajar dengan panggilan tuan bagi kaum adam. Saya telah tercerahkan mengenai definisi perempuan dari mereka, sehingga tak lagi mengeceknya di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Saya pun dalam keseharian, baik ketika ngobrol di warung-warung kopi atau saat mengisi forum-forum diskusi, lebih sering memakai kata ‘perempuan’ ketimbang wanita, yang konon kata ‘wanita’ ini berasal dari frase bahasa Jawa, ‘wani ditoto’ bermakna ‘berani diatur’, maksudnya diatur dalam kekuasaan laki-laki.

Sejalan dengan hasil penelitian Susi Yuliawati, dalam Jurnalnya ‘Perempuan atau Wanita? Perbandingan Berbasis Korpus tentang Leksikon Berbias Gender’, di bagian kesimpulannya ia menyebutkan bahwa kata ‘perempuan’ kerap dikaitkan dengan isu kesetaraan, hak, dan keorganisasian, sedangkan kata ‘wanita’ dihubungkan dengan hubungan seksual.

Maka kemudian saya sangat kaget ketika melihat definisi perempuan dalam KBBI melalui postingan Asteriska vokalis Barasuara di akun instaramnya, sebuah potret dengan baju kaos putih yang dipakai Asteriska bertuliskan “Ganti penjelasan kata ‘perempuan’ dalam KBBI”, lengkap dengan definisi, gabungan kata dan kata turunan di balik kaos tersebut.

Saya pun refleks dengan mengecek definisi ‘perempuan’ di KBBI daring, dan ya, demikian hinanya arti perempuan dalam kamus yang menjadi landasan itu. Lebih jauh lagi saya telusuri, ternyata protes ini telah sangat lantang dilayangkan oleh Ika Vantiani sejak tahun 2018 silam.

Dalam KBBI, definisi perempuan tertulis perempuan/pe·rem·pu·an/ 1. n orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; 2. n istri; bini: — nya sedang hamil; 3. n betina (khusus untuk hewan); bunyi — di air, pb ramai (gaduh sekali);– geladak pelacur;– jahat 1 perempuan yang buruk kelakuannya (suka menipu dan sebagainya); 2 perempuan nakal;– jalanan pelacur;– jalang 1 perempuan yang nakal dan liar yang suka melacurkan diri; 2 pelacur; wanita tuna susila;– jangak perempuan cabul (buruk kelakuannya);– lacur pelacur; wanita tuna susila;– lecah pelacur;– nakal perempuan (wanita) tuna susila; pelacur; sundal;– simpanan istri gelap.

Jadi, ternyata KBBI sebagai kitab suci dalam mencari arti, hanya mendefinisikan perempuan sebatas dalam bentuk seks dan fungsi sekaligus menggabungkan kata perempuan dengan kata-kata yang sangat buruk. Tentunya hal itu akan terekam dalam setiap pembaca, termasuk peserta didik dan guru-guru di berbagai sekolah.

Walhasil, perempuan tercitrakan sebagai mahkluk yang geladak, jahat, jalanan, jalang, jangak, lacur, lecah, nakal dan simpanan. Seperti yang dinyatakan oleh Bahrul Fuad (Komisioner Komnas Perempuan) bahwa bahasa memang berkontribusi besar dalam membangun sebuah citra.

Sebagai aktivis perempuan yang hidup di tanah air Indonesia, saya pun ingin penampakan arti perempuan dalam KBBI termaktub itu dirubah. Saya turut memprotes sebagai perempuan dan aktivis perempuan. Mengapa definisi perempuan sekedar seks dan fungsinya, sementara perempuan bagian dari jenis manusia yang mempunyai kekuatan intelektual.

Mengapa kata sambung yang dipilih untuk kata ‘perempuan’ terbilang seluruhnya hina, padahal perempuan dulu dan kini telah mempunyai kekuatan finansial dengan mengaplikasikan otak dan keahlian, bukan sekedar keseksian badan. Apakah kesejarahan kata ‘perempuan’ tidak menjadi bagian dari pertimbangan oleh ahli bahasa dalam menyusun kamus ini?

Beda halnya dengan citra Laki-laki dalam KBBI, arti laki-laki tertulis laki-laki/la·ki-la·ki/ 1. n orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis: baik ~ maupun perempuan berhak dicalonkan menjadi anggota DPR; 2. n jantan (untuk hewan); 3. n ki orang yang mempunyai keberanian; pemberani: ia bertindak sebagai ~;~ jemputan laki-laki yang dipilih dan diambil menjadi menantu.

Nah, dari situ bisa kita sadari, mengapa gabungan kata pada ‘laki-laki’ hanya satu dan bahkan dengan makna yang positif, sementara tidak demikian pada perempuan dengan sembilan gabungan kata yang semuanya negatif. Bukankah yang berpotensi menjadi biadab dalam kehidupan adalah laki-laki, misalnya merokok, yang tidak sama-sama sehat bagi kedua gender, namun ketika dipraktikkan oleh perempuan, pandangan terhadap perempuan itu menjadi manusia yang bobrok dan tidak benar, sementara ketika dilakukan oleh laki-laki, seakan-akan si laki-laki menjadi manusia yang macho dan jantan.

Dalam seksualitas pun demikian, perempuan diatur untuk selalu menjaga kesucian, artinya perempuan dianggap menawan saat masih perawan, sementara laki-laki berkebalikan, yakni lebih dekat dengan konsep kejantanan, yang maknanya bukan menjaga keperjakaan, tapi sebanyak apa ia telah menaklukan perempuan.

Atau bahkan pada kasus-kasus kekerasan seksual, yang pelakunya mayoritas adalah kaum Adam, tapi si pelaku sekan-akan diwajarkan. Padahal Tuhan menciptakan tubuh perempuan, seperti payudara, bukan untuk dijadikan objek seksual, tapi untuk menjadi alat reproduksi dalam mengalirkan air kehidupan pertama bagi manusia. Jadi, laki-laki lebih ditolerir dalam banyak kesalahan dan kejahatanan.

Sedangkan dalam kasus lain, para feminis atau aktivis perempuan di Indonesia sangat kesulitan dalam memberikan petuah bahwa seks dan gender adalah hal yang berbeda. ‘Seks’ (jenis kelamin) antara laki-laki dan perempuan memang berbeda, hal ini masuk dalam kategori fisik atau biologis dan merupakan kodrat Tuhan.

Sementara ‘gender’ adalah peran, sifat atau kedudukan dan lain-lain, yang diterapkan terhadap laki-laki dan perempuan, hal ini masuk dalam kategori sosial atau kultural dan merupakan rekayasa sosial.

Untuk membedakan keduanya begini, pengalaman menstruasi misalnya, adalah bagian dari fungsi seks pada diri perempuan, pemberian dari Tuhan, namun ketika perempuan harus pandai berdandan atau masak, tuntutan ini adalah gender yang dibuat-buat oleh masyarakat.

Nah, kesulitannya ialah dalam pembahasaan atas keduanya (seks dan gender) yang dalam bahasa Indonesia belum terpilah dengan jelas. Seperti menurut Riant Nugroho bahwa di Indonesia hanya ada penyebutan pria-wanita dan laki-laki-perempuan, yang tidak tersegregasi untuk apakah keduanya dipakai.

Karena dalam praktiknya kadang acapkali acak digunakan untuk seks maupun gender, untuk penyebutan dari sisi biologis saja, lebih kepada kata “jantan-betina”, yang kegunaannya untuk binatang dan tumbuhan. Maka kemudian sulit untuk dimasyarakatkan, bahwa seks dan gender adalah sebuah rupa dengan segala perbedaan.

Berbeda dengan di Barat yang segregasinya mudah karena semantiknya telah terpilah. Misalnya, untuk penyebutan kedua jenis kelamin dari sisi seks atau bilogis adalah male dan female, dari sisi gender adalah masculine dan feminine dan dari sisi umumnya adalah man dan woman.

Dan definisi perempuan dalam KBBI yang begitu buruk, merosotkan makna ‘perempuan’ menjadi sekedar hal yang seksual, bukan justru membantu dalam menyiarkan majunya kapasitas perempuan melalui memuliakan kata ‘perempuan’.

Sehingga menambah daftar kesulitan dalam berjuang agar laki-laki dan perempuan berdiri sejajar. Jika melihat tanggapan dari Tim Penyusun KBBI, setelah ramainya protes entri perempuan di KBBI terlayangkan di media sosial, dalam http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/ menurut mereka “KBBI merupakan kamus umum yang bersifat historis. Artinya, KBBI merekam semua fakta kebahasaan yang pernah dan tengah hidup dalam masyarakat tutur bahasa Indonesia”.

Bagi saya semakin aneh saja, mengapa fakta kebahasaan yang direkam oleh Tim Penyusun KBBI semuanya bernada dan bermakna buruk, bukankah dalam setiap masyarakat akan lebih banyak bicara dan menemukan fakta tentang perempuan rajin, perempuan ramah, perempuan penyayang, perempuan cantik dan lain-lain yang bersifat positif.

Mereka lebih lanjut menyatakan “Konotasi dan stigma perempuan yang negatif dapat diubah bukan dengan cara mengubah penjelasan entri tersebut di KBBI, melainkan dengan mengubah konotasi dan stigma masyarakat terhadap perempuan di tataran yang lebih tinggi. Jika perubahan konotasi dan stigma negatif masyarakat terhadap perempuan dapat dilakukan, entri-entri baru dengan makna yang positif akan muncul dalam korpus dan tercatat dalam KBBI secara alam”.

Nah, bukankah di masyarakat kita kini (bahkan sejak lama), kondisi perempuan tak lagi melulu geladak, jahat, jalanan, jalang, jangak, lacur, lecah, nakal dan simpanan. Perempuan sudah banyak terseret ke posisi yang sangat baik nan positif. Maka sejatinya, KBBI memang patriarki, bias gender dan tentunya misogini. 

Jadi, yang pertama-tama mesti dirubah adalah mindset tim penyusunnya. Mindset yang berkesetaraan, yang sama-sama memuliakan laki-laki dan perempuan. Agar tak sia-sia Negara menghadirkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komnas Perempuan. Agar tak sia-sia pula Negara menghasilkan hari-hari raya bagi perempuan, seperti Hari Kartini dan Hari Ibu agar perempuan terus berdaya dan berkembang.

Baca Juga Peran Gus Dur Terhadap Pengakuan Perayaan Imlek

#

Exit mobile version