Opini

Malu Adalah Bagian Dari Iman

Sholihin HZ, Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kalimantan Barat danKetua PC Pergunu Kota Pontianak.
Sholihin HZ, Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kalimantan Barat.

KALBAR SATU ID – Hadits Rasulullah SAW dengan kualitas shahih diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim (muttafaq ‘alaih) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw ketika berjalan melewati seorang lelaki anshar yang sedang menasihati saudaranya yang terlalu pemalu.

Rasulullah SAW bersabda, “biarkanlah dia, karena sesungguhnya rasa malu itu bagian dari iman”.

Dalam hadits lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari hadits Anas, Nabi saw bersabda: ‘Setiap agama mempunyai ciri khas akhlak dan ciri khas akhlak Islam itu rasa malu.‛ (HR. Ibnu Majah).

Dalam hadits yang lain, disebutkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “iman itu terdiri dari 60 atau 70 bagian. Yang paling mulia adalah kalimat lailahaillallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan dan malu adalah bagian dari iman.

Secara tegas beberapa haditsdi atas, menyebutkan rasa malu adalah sebagai tanda adanya iman dan menunjukkan bahwa malu harus dimiliki oleh siapapun yang mengaku dirinya orang beriman.

Apa korelasinya antara iman dan malu?

Iman adalah meyakini dengan segala ajarannya dan diantara ajaran yang terkandung sebagai konsekuensi orang beriman adalah rasa malu.

Cintami Farmawati dalam Jurnal Studia Insania, November 2020, hal 99- 118 Vol. 8, No. 2 menyebutkan setiap yang hidup pasti memiliki rasa malu (mengutip Abdul Muis, 2002), persamaan ini juga menunjukkan bahwa antara hidup dan malu mempunyai keterkaitan yaitu seseorang akan disebut hidup apabila ia mempunyai rasa malu, sebaliknya seseorang itu dikatakan mati apabila rasa malu dalam dirinya pun telah mati atau hilang (mengutip Salim Bazemool, 1996).

Rasa malu dalam bahasa arab adalah hayaa, yang secara etomologis berarti taubat. dan menahan diri (mengutip Ibnu Fadl Hamaluddin, 1990).

Dengan adanya rasa malu maka akan mendorong seseorang untuk bertaubat dan menahan seseorang untuk melakukan hal yang buruk, baik dalam pandangan manusia maupun Allah. Sedangkan pendapat Al Jurjani mengatakan bahwa haya’ berarti menahan diri dari segala sesuatu atau meninggalkannya karena takut akan timbulnya celaan.

Seseorang yang tidak ada lagi rasa malu, maka hakikatnya nilai kemanusiaannya sudah tidak lagi seutuhnya karena malu adalah sikap menandai ia sebagai seorang manusia dengan nilai kemanusiaannya.

Hilangnya rasa malu menyebabkan seseorang bisa melakukan apapun sementara sebagai seorang yang beriman ia dibatasi oleh aturan agama. Adanya aturan agama adalah dalam rangka menjaga kualitas kemanusiaannya agar tetap berhak menyandang predikat manusia. Kalau manusia sudah tidak ada lagi rasa malu, lantas apa bedanya binatang?

Malaikat Jibril As pernah berujar kepada Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dan al-Hakim. Dari Sahl bin Sa’d berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Jibril mendatangiku lalu berkata, ‘Wahai Muhammad. hiduplah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan mati, cintailah siapa yang kamu suka, karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya dan berbuatlah sesukamu, karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan karenanya.‘ Nasihat Jibril as ini mengingatkan kepada kita dengan gaya bahasa yang menarik, “hiduplah semaumu”. Artinya apa saja silakan engkau perbuat, halal-haram silakan dilakukan, kemungkaran diperbuat, korupsi dan kejahatan dengan berbagai bentuknya silakan dilakukan, manipulasi dan penipuan silakan diperbuat tapi jangan lupa bahwa hidupmu akan mati dan ketika engkau mati, selesai sudah riwayat hidupmu dan engkau akan memasuki etape baru yakni berhitung dan menerima segala apa yang engkau lakukan. Ketika didunia siapapun bisa memanipulasi data dan omongan dengan kelihaiannya berbicara dan kemampuan IT-nya tapi akan ada satu masa dimana “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”, (Qs. Yasin: 65).

Bahkan Jibril memperkuat pesannya dengan berbuatlah sesuka hati karena sesungguhnya setiap kita akan diberi balasan karenanya. Berbuat baik akan ada balasan, berbuat buruk juga akan ada balasan.

Malu menjadi ukuran keberimanan seseorang, dengan adanya rasa malu akan membatasi gerak langkah dan pembicaraan seseorang. Dampaknya, seseorang akan mengarahkan anggota tubuhnya untuk melakukan kebaikan.

Hal ini dipertegas oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, “dari Iman bin Husain ra, dia berkata: Malu itu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan”. (Al haya u la ya’ti illa bikhair).

Penulis: Sholihin HZ, Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kalimantan Barat danKetua PC Pergunu Kota Pontianak.

Berlangganan Udpate Terbaru di Telegram dan Google Berita
Exit mobile version