KALBARSATU.ID – Padahal, kita sama-sama mengakui bahwa yang layak disembah dan disakralkan hanya Tuhan. Namun, teramat sering berita harian, realitas yang terjadi dan kenyataannya sampai ditelinga kita adalah pertentangan, saling menghardik, mencela, menghina, yang satu mempertuhankan pendapatnya sendiri dan yang lain memuja klaim mereka masing-masing.
Mula-mula, patut kita pertanyakan, untuk apa berita langit Tuhan diturunkan ke bumi? Bukankah problematika jagad raya justru lebih mendahului agama? Benarkah agama justru yang memantik kacaunya kehidupan? Tentu ini dikarenakan agama mendahului kehidupan. Namun, jika agama justru datang kemudian, seolah-olah agama tidak lain hanya menambah persoalan. Simplikasinya, yang paling dominan dari problematika ini adalah krisis ekonomi, pancaroba, pandemi, pertikaian, dehumumanisasi dan penindasan hak-hak keberagaman.
Perbedaan, baik itu terlahir dari penafsiran dan cara pandang bukanlah bagian dari kesalahan yang sangat fatal. Penganut agama misalnya, yang tak berpendidikan tapi beragama, orang-orang awam, ilmuwan dan agamawan mereka memliki kadar dan nilai tersendiri untuk menyesuaikan sejauh mana memahami agama. Oleh karenanya, orang yang tidak berpendidikan tidak bisa kemudian dipaksa mengikuti orang yang berada pada posisi agamawan, apalagi ilmuan. Dengan demikian, perbedaan pemahaman dan cara pandang adalah suatu kelaziman dalam bentuk yang sangat lumrah. Tidak perlu ada yang ditolak mengenai perbedaan yang secara fitrah lahir bersama hukum alam. Menolak kelaziman berarti sebentuk kebodohan yang bisa kita pastikan kebenaran tanpa berpikir panjang untuk membenarkan ketidaktahuan tersebut.
Agama memang dipertaruhkan ketika para maniak kebodohan berbicara seenak perutnya lalu mengatasnamakan agama. Menghardik keyakinan orang lain, menyalah-nyalahkan apa yang tidak bisa dilakukan, cemburu dengan prestasi dan pencapaian yang tidak dapat dituai oleh dirinya sendiri. Akhirnya celoteh kampungan dan alibi-alibi yang diporoleh dari anggapan kosong bertebaran seperti sampah-sampah kering di jalanan.
Pembawa kebenaran selalu menampakkan diri secara jelas dan terang-terangan misalnya Muhammad Saw., Konfusius, Yesus, Sidharta Gautama dll. Ironisnya dari kejauhan, tahun-tahun yang terus menyebrang menjarak justru menjadi kebenaran yang kaku, mengarah konservatif dan sukanya marah-marah. Juga, sering memaki-maki terhadap selain kelompoknya sendiri.
Lima belas hingga enam belas abad yang lalu Al-quran sudah memprediksi bahwa “setiap kelompok akan membanggakan sekte atau alirannya sendiri (Q.S. Al-Ruum:32)”. Realitasnya sudah sangat nampak layaknya mereka yang mengaku paling salafi, yang paling kontekstual dan yang cendrung abai dengan meramaikan tepuk tangan. Bahkan perselisihan, hardikan serta buliannya sudah saling menikam dan baku hantam.
Sangat perlu kemudian orang-orang yang mendaku penerus dan penyeru Agama ini disangsikan dan dicurigai. Sebab, agama yang dianggap benar perlu diuji sejauh mana ia bisa diterima dan dikonsumsi. Artinya apa? Selama pertentangan agama diperkenalkan dengan cacian, imbasnya tidak lain nama Tuhan yang menjadi korban. Hanya orang-orang yang sangat berani dan angkuh mengatasnamakan Tuhan untuk melegitimasi keinginan buruk orang-orang yang mengaku paling agamis dan paling akrab dengan sang Pencipta.
Apa sih ruginya Tuhan tidak sembah? Bukankah disembah atau tidak, ketuhanannya tetap maha suci? Lalu, mengapa masih berseteru untuk mencaci-maki dan merendahkan yang lain jika sejatinya Tuhan sama sekali tidak perlu kepada kita? Bukankah sudah selayaknya pemahaman Tuhan tidak butuh terhadap selainNya sebagai pandangan yang paling sesuai?
Namun, yang paling substansial dalam beragama adalah sejauh mana bisa mensejahterakan, mendamaikan dan tidak lantas menakut-nakuti atau bahkan merendahkan pemahaman lain. Secara sederhana, uji validitas perlu disediakan ruang-ruang tertentu agar dapat memberikan solusi perihal yang tidak disepakati. Sehingga tidak perlu kita dapati penganjur agama teriak-teriak kebenaran –sedikit-sedikit Allahu Akbar– di kandangnya masing-masing. Sebab, kebenaran tidak pernah menutup pintu terhadap kritik dan perbaikan.
Dengan demikian, rasa ragu dan bimbang dalam memilih, tidak menjadi rasa takut untuk beragama pada kelompok atau beragama pada agama itu sendiri. Dengan cara apa? Mempertanyakan setiap penyeru agama sampai-sampai kesangsian tidak mampu menemukan ujung kebuntuannya lagi serta keyakinan penuh bahwa pendawah tersebut betul-betul layak dijadikan panutan sebagai pewaris para Nabi. Yang sangat menarik adalah jika agama menjadi diskursus yang sangat terbuka. Menerima segala macam tafsir seraya melepaskan fanatisme-fanatisme dari aliran tertentu. Sebab sikap pengkultusan sudah tidak pada ranah keyakinan, tetapi berada dalam kedengkian dan cercaan yang menambah sulut api perpecahan disertai dendam kemarahan.
Apakah sudah menemukan titik terang dengan perbedaan agamawan dan pseudo agamawan?
Penulis : Ach Yani