KALBAR SATU ID – Pendidikan Agama Islam (PAI) bertujuan untuk mendidik, membimbing dan mengarahkan siswa menjadi pribadi Islami sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, warga negara dan warga dunia. Namun dalam perjalanannya, pendidikan PAI dinilai tak mampu menjadi pembentuk karakter siswa yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan. Berbagai aspek mendasari kondisi ini, kurangnya wawasan tenaga pengajar dalam menghadirkan pembelajaran yang dinamis menjadikan PAI tak lagi mampu memikat hati. Siswa dan orang tua bahkan hanya berorientasi pada pencapaian nilai dan angka pada laporan resmi akhir semester. Tak jarang, siswa tak berhasil dalam mengapliksikan nilai-nilai ajaran Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan Pendidikan Agama Islam tak hanya dari angka-angka di raport, tapi juga dari karakter, perilaku dan akhlak. Siswa yang karakter, perilaku dan akhlak baik, adalah barometer representasi dari nilai-nilai spiritual yang tertanam dalam diri peserta didik.
Pembelajaran agama Islam bukan hanya berorientasi pada tingginya nilai akademik, namun lebih jauh, peserta didik diharapkan menjadi siswa yang jujur, bertanggung jawab, dan berakhlak mulia. Terlebih di tengah bangsa yang sedang terpuruk dan beratnya tantangan. Tak dapat dipungkiri, keterpurukan bangsa ini disebabkan oleh krisis multidimensi, terutama krisis moral.
Banyak orang melakukan tindakan manipulatif untuk kepentingan pribadi.
Perilaku menyimpang tersebar di mana-mana. Korupsi, kolusi dan nepotisme merasuk dalam jantung masyarakat Indonesia. Betapa kejujuran berharga mahal, mencari orang jujur di Negeri ini seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Orang pintar banyak, namun orang pintar dan jujur sangat sulit ditemukan.
Terbukti korupsi masih saja terjadi bahkan tersistem dan masif. Tak hanya dilakukan oleh pejabat dan alat Negara, kejahatan korupsi sudah merambah hingga tingkat Desa. Korupsi bukan hanya dilakukan oleh orang-orang terpelajar dengan berbagai gelar, tapi juga dilakukan oleh orang awam. Bahkan lebih miris lagi, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang bertitel haji, tokoh agama ataupun orang-orang yang dipandang menguasai nilai-nilai ketuhanan.
Terpuruknya lagi, perilaku yang bertentangan dengan norma agama dan aturan Negara ini bahkan menyasar pada institusi pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini hingga Perguruan Tinggi.
Sejahtinya, pendidikan agama Islam dijadikan media pembetukan moral bangsa.
Namun, selama ini pembelajarannya masih bersifat monoton bahkan membosankan. Pembelajaran berkutat pada membaca ayat, menerjemahkan, hafalan dan ceramah. Guru acapkali menjelaskan pelajaran dengan metode monolog, memberikan penjelasan secara interaktif dan terkesan memonopoli pembelajaran.
Selain membosankan, terkadang model monolog tak berhasil dalam menanamkan nilai-nilai spiritual kepada peserta didik. Meski terkesan efektif, akan tetapi model monolog hanya akan mempertontonkan kepintaran gurunya. Guru semakin pintar dan murid tak ubahnya seperti robot, lantaran siswa tidak dilibatkan secara aktif. Siswa diposisikan sebagai objek yang bersifat pasif tidak memiliki peran dalam proses belajar mengajar.
Dalam kondisi itu, guru dianggap dewa yang serba tahu dan serba benar, sementara siswa hanya pasrah menerima penjelasan. Padahal pendidikan agama Islam sangatlah dinamis bagi pembentukan karakter dan akhlak peserta didik.
Jika pembelajaran pendidikan agama Islam tidak segera dibenahi, dikhawatirkan kerusakan bangsa Indonesia semakin mendalam. Kejahatan moral menjalar, tindakan asosial dan amoral makin marak. Bangsa ini akan semakin sulit bangkit dari keterpurukan.
Pembelajaran PAI harus segera diselaraskan dengan perkembangan zaman.
Perkembangan zaman harus disikapi secara positif. Bila tidak, pendidikan agama Islam akan semakin ditinggalkan pelajar. Nilai-nilai Islam digadang tak lagi mampu menjadi benteng diri untuk generasi mendatang, sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk maju.
Saat pelajar kurang tertarik dengan pembelajaran PAI, hal itu bukan karena agama Islam yang tidak menarik, akan tetapi lebih pada penyajian pembelajaran PAI yang kurang memiliki daya tarik.
Islam adalah agama yang menganjurkan umatnya untuk berkembang.
Untuk memaksimalkan potensinya guna menopang dalam mengemban tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi. Prinsip-prinsip dalam Islam cocok untuk segala zaman dan segala bangsa. Maka jelaslah bahwa yang harus kita pikirkan adalah bagaimana agar pembelajaran agama itu menarik. Ketika pembelajaran agama Islam itu dikemas dengan metode dan strategi yang menarik, maka siswa pun akan mengikuti pembelajaran dengan antusias.
Selain itu, pembelajaran agama Islam dirasa kurang menarik dikarenakan siswa menganggap pendidikan agama Islam tidak penting. Anggapan seperti ini lazim terjadi di hampir semua sekolah. Pasalnya, pendidikan agama Islam (PAI) tidak masuk dalam mata pelajaran Ujian Nasional (UN). Mereka mengganggap PAI tidak penting karena tidak menentukan kelulusan.
Anggapan seperti ini menyebabkan siswa memandang pelajaran PAI sebelah mata. Fenomena seperti ini terjadi dihampir semua sekolah. Baik sekolah Negeri maupun swasta dan sekolah umum. Padahal antusias para orang tua agar putra putrinya memiliki landasan agama terus meningkat.
Hal ini terlihat dalam kurun waktu sewindu terakhir, para orang tua memilih menyekolahkan anaknya di jalur sekolah berbasis agama terpadu, meski harus merogoh kocek lebih dalam. Representatif dari nilai-nilai agama yang tertuang dalam kehidupan sehari-hari menjadi satu-satunya alasan dan harga mati bagi para orang tua wali. Padahal, sejak Merdeka 78 Tahun silam, Negara telah memiliki kerangka belajar mengajar dunia pendidikan yang tak kalah mumpuni.
Pembelajaran PAI harus menarik bagi pelajar, guru harus berpikir kreatif.Berpikir kreatif berarti menemukan cara-cara baru yang lebih baik untuk mengerjakan apa saja. Guru harus mengembangkan metode yang aktual. Disesuaikan dengan perkembangan terkini. Dengan tampilan yang aktual dan kontekstual, tentu siswa lebih bernafsu belajar.
Guru kreatif adalah guru yang mempunyai kemampuan mengemas pembelajaran yang menarik. Agar siswa antusias mengikuti pembelajaran, guru harus menggunakan metode yang tepat. Metode yang bervariasi dan didukung media pembelajaran yang sesuai. Dengan demikian, pembelajaran akan berlangsung atraktif dan “hidup”.
Pembelajaran yang dikemas dengan menarik akan membangkitkan semangat belajar siswa. Siswa diposisikan sebagai subjek. Di mana siswa diperlakukan sebagai manusia utuh yang mempunyai kemauan dan kemampuan.
Selaras dengan Pembelajaran menyenangkan (joyfull learning) menurut (Fadilah, 2014) adalah rancangan pembelajaran dengan tujuan menciptakan suasana yang membebaskan siswa untuk berani mencoba, bertindak, bertanya dan mengemukakan pendapat sehingga perhatian siswa dapat dipusatkan secara penuh pada pembelajaran. Pembelajaran menyenangkan merupakan suasana belajar mengajar yang dapat memusatkan perhatiannya secara penuh saat belajar sehingga curah waktu perhatiannya (time on task) tinggi.
Pembelajaran menyenangkan dapat diartikan sebagai pembelajaran yang dapat menarik perhatian siswa dengan berbagai metode yang diterapkan, sehingga saat pembelajaran berlangsung siswa tidak merasa bosan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembelajaran menyenangkan adalah suatu proses pembelajaran yang berlangsung dalam suasana yang menyenangkan dan mengesankan. Suasana pembelajaran yang menyenangkan dan berkesan akan menarik minat peserta didik untuk terlibat secara aktif, sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai maksimal. Karena sapaan hangat dan raut wajah cerah memantulkan energi positif yang dapat mempengaruhi semangat peserta didik dalam suasana rileks, yaitu dengan menciptakan lingkungan yang nyaman. Dengan mengatur posisi tempat duduk secara berkala sesuai keinginan peserta didik. Selain itu, ciptakanlah suasana kelas dimana peserta didik tidak takut melakukan kesalahan.
Memotivasi siswa, adalah sebuah konsep utama dalam banyak teori pembelajaran. Motivasi ini sangatlah dikaitkan dengan dorongan, perhatian, kecemasan, dan umpan balik/penguatan. Bukan seperti gelas kosong yang siap di isi oleh guru. Pembelajaran berlangsung dua arah sehingga terjadi interaksi antara guru dengan siswa. Untuk menjadi guru kreatif, guru harus mempunyai wawasan yang luas. Wawasan ini menjadi sumber inspirasi bagi guru.
Dengan wawasan, guru mempunyai banyak referensi untuk mendukung munculnya ide-ide kreatif. Tanpa wawasan yang memadai sulit bagi guru untuk mengembangkan kreatifitas dalam pembelajaran. Wawasan guru dapat diperoleh melalui buku-buku, majalah, surat kabar, internet, pelatihan-pelatihan maupun studi banding. Akhir-ahir ini banyak buku-buku, majalah maupun internet yang memuat tentang metode-metode pembelajaran kontekstual.
Jika guru banyak membaca buku-buku maupun browsing internet tentang metode metode pembelajaran sepeti dijelaskan tersebut, guru dapat menerapkan metode itu dalam pembelajaran. Semakin banyak baca, wawasan guru semakin luas.
Berbagai kalangan telah dimudahkan dalam mengakses suatu informasi. Semua juga bisa mendapatkan berbagai fasilitas dari perkembangan teknologi yang terkoneksi dengan internet. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk satuan pendidikan, khususnya para pengajar agar lebih melek digital. Sehingga, para pengajar dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mengembangkan kreatifitas mengajarnya. Perbendaharaan metode pun makin banyak. Guru memang harus kaya ide. Sehingga pembelajaran dapat disajikan dengan cara-cara baru yang segar.
Untuk itu, sejak tahun 2003, pendidikan direvitalisasi dengan perubahan paradigma yang dianut, dari pendidikan sentralistik berbasis UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi pendidikan yang demokratis di tahun 2003.
Salah satu bentuk keputusan strategisnya adalah memberi kepercayaan yang sangat besar pada guru untuk meningkatkan perbaikan mutu sekolah untuk perbaikan mutu pendidikan secara nasional. Untuk itu, pada tahun 2005, Indonesia mengundangkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Sebagai contoh, Pembelajaran PAI dilakukan dengan training, game ataupun tadabbur alam. Pembelajaran tidak melulu di ruang kelas, bahkan bisa saja peserta didik diajak menyambangi suatu peristiwa bencana untuk melatih kepekaan sosial pribadi siswa selaras dengan nilai-nilai agama. Pembelajaran PAI dapat dikemas dalam bentuk training spiritual.
Dengan harapan, PAI tidak saja menarik bagi siswa, namun nilai-nilai agama juga terpatri dalam diri siswa. Lebih lanjut, PAI bukan sekedar hafalan ayat-ayat atau ceramah agama, namun PAI menjadi sumber moral bagi siswa. Karena aplikasi nilai-nilai budi pekerti ajaran Nabi dalam kehidupan sehari-hari merupakan representasi keberhasilan PAI.
Penulis: Subairi, Mahasiswa Pascasarjana UNIQ Malang.