Opini

Pemetaan Partisipatif: Mengaktualkan Peluang Perlindungan Hak Rakyat atas Hutan dan Lahan

Penulis: Muhammad Yamin Adysaputra/ Refleksi Hari HAM Internasional

KALBARSATU.ID — Hari Hak Asasi Manusia Internasional kembali diperingati pada 10 Desember, sejak pertama kali dideklarasikan dalam Majelis Umum PBB pada 1948. Sejak itu, setiap pemerintah anggota PBB menjadikan penegakan HAM sebagai pondasi dalam pemerintahan mereka. Demikian pula perspektif HAM tidak hanya terbatas pada persoalan perang, meskipun notabene kehancuran peradaban paska Perang Dunia II menjadi faktor dideklarasikannya Hari HAM Internasional.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Hak asasi menjadi jaminan keberadaan harkat dan martabat kemuliaan manusia serta keharmonisan hubungannya dengan lingkungannya.

Perspektif HAM yang dibatasi hanya pada permasalahan perang dan konflik fisik akhirnya membuat luput atas realitas pelanggaran HAM yang terjadi di sektor agraria. Melansir dari Tempo.co, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi 9 peristiwa penggusuran dan kriminalisasi petani dalam kurun Maret hingga April 2020. Artinya, penggusuran dan kriminalisasi tersebut terjadi bahkan di tengah situasi pandemi Covid-19.

Hak Atas Lingkungan adalah HAM

Yang harus menjadi pemahaman bersama, bahwa memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi bagi segenap rakyat Indonesia. Menurut Sekretaris Jenderal Komnas HAM, Dr. Tasdiyanto, SP., M.Si, kondisi lingkungan hidup yang rusak dan cemar sudah mengindikasikan ada masalah HAM.

Lingkungan hidup yang baik dan sehat akan memberikan kontribusi yang berkelanjutan bagi sumber penghidupan manusia. Hal ini senada dengan UUD 1945 pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan; “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Dalam buku Menemukan Hak Atas Tanah Pada Standar Hak-Hak Asasi Manusia Di Indonesia yang diterbitkan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), disebutkan bahwa hak dan akses terhadap tanah memiliki relasi yang amat kuat dengan pemenuhan hak-hak asasi yang lain. Hak untuk mendapatkan pemenuhan pangan yang cukup, hak atas air, hak atas pekerjaan, hak untuk sehat yang semuanya terhubung langsung dengan keberadaan hak atas tanah. (Kontras, 2016)

Peluang untuk menjaga keberlanjutan lingkungan di Indonesia pada dasarnya masih tetap terbuka dengan terbitnya PerMenLHK No: P.83/MENLHK/SETJEND/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Melalui skema perhutanan sosial, masyarakat bisa mendapatkan legalitas hak dan akses dalam memanfaatkan hutan dan memastikan keberlanjutan sumber penghidupan mereka. Meskipun harus berhadapan dengan tantangan yang berat: “adu jotos” saling rebut ruang dengan primadona pemenuhan sumber devisa negara, industri sawit dan pertambangan. Tumpang tindih izin dalam pengelolaan dan konflik tapal batas lantas menjadi riak di permukaan, sebagaimana laporan yang dirilis KPA di atas.

Pemetaan Partisipatif dan Inklusifitas Pengetahuan

Dengan demikian, perencanaan pembangunan berbasis tata ruang menjadi langkah objektif yang dapat ditempuh. Penentuan batas wilayah untuk memastikan penguasaan lahan secara definitif menjadi prioritas untuk mengurangi konflik tapal batas yang terjadi. Berdasarkan catatan KLHK, terdapat 13.000 desa di Indonesia yang berstatus konflik (KLHK, 2019), dan dari 72.000 desa di Indonesia hanya 34,7% yang sudah memiliki tata batas. Jika masalah ini tidak tuntas, maka skema perhutanan sosial – di antaranya melalui hutan desa – justru akan menemui jalan buntu.

Pemetaan secara partisipatif dapat menjadi jawaban untuk perlahan-lahan mengurai benang kusut tata kelola ruang di Indonesia. Model ini akan menggerakkan masyarakat di tiap-tiap wilayah untuk secara bersama-sama memastikan batas definitif hak kelola mereka atas hutan dan lahan. Masyarakat di wilayah tersebut merupakan kelompok yang paling berkepentingan dengan lingkungan dikarenakan keterhubungan mereka dengan lingkungan, koneksi yang melahirkan kearifan lokal dalam pengelolaan dan memperoleh sumber penghidupan dari hutan, yang merupakan hak asasi mereka.

Sehingga perlu akselerasi dengan menciptakan kader-kader pemetaan partisipatif di tingkat akar rumput. Kader-kader ini kelak akan melahirkan kelompok-kelompok pemetaan partisipatif yang akan menjaga hak kelola mereka atas hutan dan lahan. Peta indikasi yang muncul dari proses pemetaan partisipatif itu akan menjadi rujukan dalam pengajuan legalitas penguasaan hutan dan lahan oleh masyarakat melalui skema perhutanan sosial. Penguatan melalui proses yang partisipatif dan inklusif model ini masih dilakukan oleh Gemawan hingga kini.

Dengan demikian, upaya pemetaan partisipatif atas wilayah kelola yang dilakukan merupakan ikhtiar kolektif untuk memperjuangkan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan sehat, sebagaimana amanat UUD 1945. Memutuskan hubungan antara masyarakat dengan lingkungan merupakan pelanggaran HAM, bagai memisahkan anak dari ibunya.
Selamat Memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional

Penulis: Muhammad Yamin Adysaputra
Pegiat Gemawan

Berlangganan Udpate Terbaru di Telegram dan Google Berita
Exit mobile version