Opini

Peran Gus Dur Terhadap Pengakuan Perayaan Imlek

1
Penulis: Anselmus Ersandy Santoso Sekretaris DPC GMNI Pontianak
Penulis: Anselmus Ersandy Santoso Sekretaris DPC GMNI Pontianak

OPINI, KALBARSATU.ID — Seperti yang kita ketahui Indonesia adalah negara majemuk terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan kebudayaan. Keadaan yang begitu beragam tentunya harus disertai dengan toleransi. Toleransi di Indonesia juga memiliki sejarah yang panjang dan pasang surut.

Perayaan Tahun Baru China atau biasa disebut Imlek oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah perayaan pergantian tahun. Perayaan Imlek berlangsung selama 15 hari dimulai pada hari pertama bulan pertama dan ditutup dengan Cap Go Meh.
Berdasarkan data sensus pada tahun 2010, jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia mencapai 2,83 juta jiwa atau sekitar 1,2 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 236,73 juta jiwa. Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia masuk dalam 20 besar terbanyak di Dunia.

Advertiser
Banner Ads

Berdasarkan catatan sejarah, pemerintah pernah melarang perayaan Imlek pada era orde baru. Setelah menjabat sebagai presiden, Soeharto setidaknye menetapkan 21 peraturan yang mengatur mengenai warga keturunan Tionghoa. Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China. Dalam inpres tersebut mengatur warga keturunan Tionghoa harus merakan Imlek secara pribadi dan kekeluargaan saja. Selama adanya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 berbagai perayaan agama, adat istiadat dan budaya masyarakat Tionghoa seperti Imlek dan Cap Go Meh dilarang dilaksanakan secara terbuka didepan publik. Berbagai hiburan seperti Barongsai yang identik dengan perayaan Imlek juga dilarang mempertunjukan dihadapan umum.

Bahkan lagu mandarin dilarang diputar di radio. Berbagai pelarangan yang dilakukan pemerintah orde baru pada masa itu membatasi ruang gerak masyarakat Tionghoa. Pelarangan ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Diskriminasi ini berlangsung selama era orde baru dan terlihat sangat jelas intoleransi yang diberlakukan kepada masyarakat Tionghoa. Intolerasni pada masa berlakunya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 sangat dirasakan oleh masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia, namun tidak dapat melakukan perlawanan yang berarti dikarenakan pemerintahan pada masa orde baru yang juga membatasi ruang demokrasi bagi masyarakatnya.

Berbagai pembatasan tersebut mulai surut pasca reformasi 1998. Pada Era Reformasi demokrasi yang dulunya tidak sejati mulai diperbaiki dan diwujudkan secara maksimal. Era Reformasi memberikan angin segar kepada masyarakat Tionghoa. Dalam masa singkat pemerintahan Presiden Habibi menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan berbagai peraturan diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa. Dalam Inpres tersebut juga menghentikan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi.

Kebijakan yang membawa perubahan juga dilakukan oleh Presiden Gus Dur dengan mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut pemberlakuan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang berlaku sejak pemerintahan Soeharto. Sejak masa pemerintahan Gus Dur, berbagai perayaan keagamaan Tionghoa seperti Imlek dan Cap Go Meh dapat dilaksanakan secara terbuka dan dihadapan umum. Tentunya pada masa ini masyarakat Tionghoa tidak sembunyi-sembunyi lagi dalam merayakan perayaan adat istiadat dan budaya mereka.

Angin segar semakin bertiup kencang pada bagi etnik Tionghoa pada masa pemerintahan Presiden Megawati dengan mengeluarkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002 dengan meresmikan Imlek sebagai perayaan nasional dan menetapkan hari Imlek sebagai libur nasional. Sejak Keppres Nomor 19 Tahun 2002 dikeluarkan masyarakat Tionghoa dapat melaksanakan berbagai aktivitas keagamaan mereka secara bebas dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia hingga saat ini. Dari sejak awal kemerdekaan hingga hari ini dimulai dari perayaan Imlek yang dilarang oleh pemerintah hingga akhirnya dibebaskan oleh pemerintah merupakan sebuah catatan sejarah besar mengenai toleransi di Indonesia.

Toleransi merupakan sebuah tindakan atau sifat yang harus menjadi budaya di Indonesia, karena toleransi menjadi salah satu pilar yang menegakkan perdamaian dan kerukunan antar masyarakat Indonesia yang beragam. Mengingat berbagai isu-isu kebangsaan hari ini terdapat banyak kasus intoleransi yang terjadi sehingga dapat menjadi sumber masalah dan memecah belah persatuan. Toleransi harus dijaga dan dirawat bersama baik oleh pemerintah, masyarakat dan semua golongan yang ada, karena bangsa kita yang sangat majemuk bisa berdiri tegak sampai hari ini salah satunya karena toleransi yang besar antar masyarakat di Indonesia.#

Penulis: Anselmus Ersandy Santoso
Sekretaris DPC GMNI Pontianak

Exit mobile version