Opini

Pro Kontra UU Ciptaker dan Bullying Political

1
Ilustrasi
Ilustrasi/Sumber: Kabar Sriwijaya

KALBARSATU.ID – Sikap pro dan kontra terhadap Undang-undang (UU) Cipta kerja terus mengalir hangat di ruang publik. Sejauh ini terdapat berbagai elemen masyarakat sipil yang berusaha menolak bahkan terdapat juga yang mengajukan judicial Review (JR). Baik dari kelompok mahasiswa, pegiat lingkungan, kelompok buruh bahkan NU dan Muhammadiyah bersikap senada.

Seiring dengan penolakan yang terus mengalir, para pendukung, bazer dan influencer dari pihak pemerintah juga tak kalah nyaring memberikan pembelaan. Bukan hanya pembelaan namun para Demonstran dituding Termakan hoaks, aksi bayaran bahkan yang paling menyedihkan dituding tak membaca draft UU tersebut.

Advertiser
Banner Ads

Ditengah arus deras penolakan terhadap UU itu Presiden Jokowi juga sempat mengklarifikasi bahwa gelombang aksi itu terjadi disebabkan disinformasi dan hoaks, sehingga memantik terjadinya unjuk rasa “Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari Undang-Undang ini dan hoaks di media sosial,” kata Jokowi sebagaimana dikutip dari laman setkab.go.id.

Tidak hanya mengklarifikasi, sehari setelah Demonstrasi pada Jumat (10/10/2020) Presiden Joko Widodo juga menggelar rapat yang diikuti oleh jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju, serta seluruh gubernur di seluruh Indonesia. Dalam rapat itu Jokowi meminta semua gubernur untuk satu suara mendukung Undang-Undang Cipta Kerja. “Ya semuanya artinya diminta untuk satu suara satu narasi tentang UU ini,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian (dikutip dari Kompas.com).

Sudut Pandang Penolakan UU Ciptaker

Banyak alasan kenapa arus penolakan begitu kuat. Pertama sebagaimana kita ketahui kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang kurang baik, sehingga produk-produk yang dihasilkan oleh DPR akan selalu dicurigai, meskipun belum dibaca. Hal ini tentu karena DPR memiliki catatan buruk sejauh ini. Kedua produk hukum yang disahkan secara kilat, tidak transparan, bahkan cendrung dipaksakan ditengah kondisi wabah virus corona, tentu rakyat semakin curiga.

Ketiga ternyata draft UU itu juga bermasalah, draftnya ada dua, drafnya belum final tapi disahkan. Keempat alasan Presiden Jokowi rasanya kurang dapat dipercaya yang mengatakan UU Ciptaker ini mencegah Korupsi, apa alat ukurnya?. Kelima dari draft yang beredar terdapat pasal bermasalah, misalnya soal perizinan, Hak Guna Usaha dari 25-35 menjadi 90 tahun, tentu ini sangat merugikan rakyat.

Politik Bully Lemahkan Suara Rakyat

Setelah arus penolakan terhadap UU Ciptaker itu timbul dari berbagai daerah dan elemen masyarakat dengan jumlah yang begitu banyak, hal itu juga memantik pro kontra–Antara setuju dan tidak setuju terhadap sikap Demonstran. Akhirnya Perang Opini pun tak terbendung, bukan hanya sekedar Opini tapi juga dibully. Sikap politik Demonstran yang begitu kuat itu kemudian secara rame-reme dibully melalui media sosial, dengan massif mahasiswa dikatakan termakan hoaks, aksi bayaran dan Mahasiswa dianggap kurang baca.

Politik Bully fenomena baru di dunia perpolitikan kita hari ini. Tujuannya adalah untuk membunuh karakter, menghilangkan kepercayaan dan sebagai filter isu. Ini adalah jurus jitu pembentukan opini publik.

Penulis: Zubairi

Exit mobile version