KALBAR SATU ID – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan pemerintah sebagai salah satu program unggulan yang merupakan janji politik presiden Prabowo untuk mengatasi masalah gizi anak-anak Indonesia, menurunkan angka stunting, dan meningkatkan kualitas pendidikan melalui penyediaan makanan bergizi di sekolah. Untuk tahun 2026, alokasi anggaran MBG bahkan meningkat drastis, mencapai Rp 300 triliun (Tempo, 2025).
Namun, di balik besarnya kucuran dana ini, realitas di lapangan justru memperlihatkan implementasi yang amburadul, belum ada payung hukum yang jelas, dapur MBG belum siap, SDM minim pelatihan, hingga kasus keracunan massal yang mencoreng reputasi program ini di mata publik (Kompas, 2025).
Masalahnya bukan hanya teknis pelaksanaan, tetapi juga potensi penyalahgunaan anggaran akibat regulasi yang belum lengkap dan rantai pasok yang dikuasai kelompok tertentu.
Menurut laporan Kemenkeu (2025), alokasi dana MBG meningkat lebih dari Rp 100 triliun dibanding tahun sebelumnya. Ironisnya, hingga awal September 2025, Peraturan Presiden (Perpres) MBG sebagai payung hukum utama belum juga terbit (CNN Indonesia, 2025).
Akibatnya, tidak ada standar baku pengelolaan dana. Mekanisme pengawasan lemah. Koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah tidak seragam.
Tanpa regulasi jelas, program sebesar ini berisiko tinggi menjadi ladang korupsi seperti yang pernah terjadi pada program bansos COVID-19 (ICW, 2021).
Dikuasai Pemodal, Petani Lokal Terpinggirkan
Salah satu janji awal MBG adalah menggerakkan ekonomi desa melalui pembelian bahan pangan dari petani lokal. Namun laporan Tempo (2025) menunjukkan bahwa suplai bahan pangan MBG lebih banyak dikuasai oleh pengusaha besar melalui sistem kontrak.
Dampaknya, petani kecil hanya jadi penonton, tidak terhubung langsung dengan dapur MBG. Uang triliunan rupiah hanya berputar di lingkaran pemodal, bukan di desa-desa penghasil pangan.
Padahal, Bappenas (2025) sudah merekomendasikan pola central kitchen berbasis komunitas desa untuk memotong rantai pasok panjang dan meningkatkan kesejahteraan petani lokal.
Dapur MBG: Asal Ada, Risiko Keracunan Mengintai
Kasus keracunan massal siswa di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan NTB yang dirilis oleh Kompas, dan Tempo, 2025. memperlihatkan bahwa banyak dapur MBG hanya didirikan sekadar memenuhi syarat administrasi, tanpa standar kesehatan memadai.
Beberapa temuan lapangan, satu dapur harus melayani hingga 3.000 siswa/hari tanpa SDM terlatih. Tukang masak direkrut asal-asalan, tanpa pelatihan higienitas pangan. Tidak ada sistem audit kesehatan pangan sebelum distribusi.
Menurut Ahli Gizi UI, Prof. Saptawati Bardosono (2025), makanan untuk anak sekolah memerlukan standar ketat terkait protein, kalori, dan keamanan pangan. Tanpa pelatihan SDM dan sarana memadai, risiko KLB keracunan akan terus berulang.
Program MBG: Potensi Ladang Korupsi Baru
Minimnya regulasi membuat program MBG ini rawan disalahgunakan. ICW (2025) menilai, dengan anggaran jumbo dan pelaksanaan tergesa-gesa, MBG berpotensi mengulang kasus Bansos COVID-19 di mana markup harga dan vendor fiktif marak terjadi.
Modus yang diidentifikasi ICW meliputi, pengadaan bahan dengan harga di atas pasar. Monopoli penyedia oleh kelompok tertentu dengan bendera yayasan berbeda. Pemotongan anggaran di tingkat daerah.
Tanpa regulasi ketat, MBG bisa menjadi bencana keuangan negara berikutnya.
SDM Minim Pelatihan: Mengulang Kesalahan Lama
Pelaksanaan MBG di banyak daerah memperlihatkan SDM dapur yang tidak terlatih menangani skala besar.
Data dari Kementerian Kesehatan (2025) menunjukkan, hanya 23% dapur MBG yang sudah mengikuti pelatihan keamanan pangan. Sebanyak 61% dapur tidak memiliki fasilitas penyimpanan sesuai standar. Keberadaanya hanya asal ada tanpa memenuhi standarisasi gizi nasional.
Bandingkan dengan India melalui program Mid-Day Meal, setiap dapur komunitas wajib melalui audit kesehatan bulanan dan juru masak dilatih berkala.
Hentikan Program MBG.
Banyak pihak yang menyayangkan pelaksanaan program MBG yang tanpa perencanaan yang matang, terkesan kejar target untuk memenuhi janji politik kampanye presiden.
Melihat carut marut implementasi program MBG yang terkesan dipaksakan ini, dengan berbagai kasus keracunan siswa diberbagai daerah dan ketidaksiapan regulasi dan kegamangan pemerintah daerah, para akademisi dari UI dan UGM (2025) merekomendasikan strategi Pause–Fix–Scale untuk program MBG ini sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program MBG.
Pause, hentikan sementara di daerah berisiko tinggi hingga SOP dan regulasi siap. Fix, susun perpres MBG, audit penyedia, latih SDM, libatkan universitas dalam monitoring. Scale, perluas bertahap hanya jika ≥90% dapur memenuhi standar kesehatan dan gizi.
Jangan Ulangi Bencana Kebijakan
Program MBG memiliki visi mulia, tetapi niat baik tanpa tata kelola baik hanya akan melahirkan bencana.
Pemerintah harus belajar dari kegagalan masa lalu, memperkuat regulasi, melibatkan petani lokal, dan membangun sistem pengawasan transparan. Jika tidak, MBG akan dikenang bukan sebagai program penyelamat gizi, tetapi sebagai simbol amburadulnya kebijakan publik di era anggaran jumbo.
Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH.,Dekan FISIP Unira Malang dan Pemerhati Kebijakan dan Hukum.