Putriana, M.Pd. (Aktivis Perempuan Kalimantan Barat) |
KALBARSATU.ID – Raden Ayu Kartini, di mata perempuan kini, tak lagi dilihat dari kepiawaiannya dalam melawan patriarki. Tak lagi segigih ia dalam menggaungkan emansipasi. Tak lagi meneruskan perjuangannya dalam membangkitkan perempuan pribumi. Citra Kartini hari ini hanya sebatas pada bentuk ragawi, hanya menirukan pakaian kebaya yang dikenakan Kartini.
Kartini kelahiran di Jepara, pada 21 April 1879 adalah seorang perempuan yang gemar belajar, membaca dan menulis. Meski hal itu dilakukannya dari dalam rumah, karena pada usia 12 tahun ia sudah harus dipingit.
Berkat kegemarannya itu, ia tumbuh menjadi pribadi yang kritis. Ia berkeinginan untuk memajukan perempuan pribumi, Ia lah yang menjadi pelopor kebangkitan perempuan Indonesia di kemudian hari.
Soekarno kemudian, di tahun 1964, menjadikan tanggal lahirnya Kartini ini, sebagai hari besarnya perempuan Indonesia. Karena figur Kartini mempunyai potensi semangat revolusi, untuk kemudian dapat ditiru oleh perempuan Indonesia dari generasi ke generasi.
Di era Soekarno, perempuan memang diberikan peluang untuk mengambil kiprah dan peran. Namun hal itu musnah setelah orde lama tumbang. Sebab orde baru datang dengan gaya membasmi gerakan perempuan. Hari Kartini kemudian sekedar meniru pakaian yang dikenakan.
Kaum perempuan Indonesia hari ini memang telah difasilitasi untuk masuk ke ruang-ruang yang dulunya hanya bisa diakses laki-laki. Namun pada kenyataannya, tidak banyak yang mau berkiprah di area ini. Ruang politik dan selainnya masih dianggap sebagai hal yang kasar bagi mereka.
Masih banyak perempuan yang membiarkan dirinya terjajah oleh budaya feminitas yang diciptakan pasar. Apa budaya feminitas yang dibentuk pasar itu? Yakni budaya yang terdiri dari berbagai komoditas, seperti busana, tata rias, dan sejenisnya.
Hal itu menjadikan hubungan sosialnya perempuan kurang menjadi perhatian, dan fokus hanya pada hubungan seksual. Mengapa hanya hubungan seksual?, karena penampilan glamornya perempuan tentunya untuk dilihat sang lawan jenis, untuk memuaskan matanya laki-laki. Ber-efek lagi pada pendapatan dan waktunya perempuan hanya terbuang untuk hal-hal yang beraroma fisikal, bukan sosial atau kemaslahatan.
Estetika feminim ini, yang menjadikan tubuh perempuan sendiri sebagai yang estetis. Sebagai karya seni, habit gonta-ganti pakaian dengan gaya yang begitu dekoratif, dengan perhiasan yang begitu mewah dan tak terlepas dengan harga beserta merek tertentu yang berkelas, untuk menyamakan atau bahkan menaikkan kasta di antara sekawanannya.
Keberadaannya seperti patung hidup, yang menurut Pierre Bourdieu, perempuan membutuhkan pandangan orang lain agar wujudnya terasa ‘ada’, maka dari itu, praktiknya melalui proses penampilan badaniah saja.
Perempuan pun terkunci oleh pengaruh standar yang dirancang oleh pasar dan tak mau berkutik dari balutan yang terkemas sedemikian mengikat perempuan. Ia kemudian menjadi perempuan yang pasif oleh sebab standar fisikal ini.
Pasivitas perempuan yang terangkum dalam feminitas ini telah mewabah-merajalela. Kemajuan perempuan kemudian dilihat dari wujud tampilan fisikal, raga, badaniah, jasmaniah belaka. Sehingga ‘perempuan sukses’ dilihat dari penampakan badan yang berpoleskan fashion mahal dan glamornya dandanan, bukan perempuan yang merepresentasikan diri sebagai pribadi yang independen, mandiri, bermaslahah atau berkiprah.
Jika terdapat perempuan yang menampilkan diri dengan gaya sederhana, natural dan apa adanya, seakan-akan ia telah cacat secara rohani, karena telah melanggar norma feminitas. Itu pun dianggap ‘murtad’ dari dunia ke-perempuan-an, kemudian digiring untuk segera bertobat, bukan pada Tuhan, namun pada barang-barang pasar. Barang semacam bedak, perhiasan dan sekawanannya.
Misal saja, ketika ia tak begitu pandai dalam berdandan, tentu akan diejek sebagai perempuan yang tidak sempurna dan kurang lihai. Kemudian direkomendasikan untuk membeli ini membeli itu. Dengan model begini dan begitu.
Maka, sampai kepada poin bahwa, cermin kebaya pada sosok Kartini di mata perempuan kini, selain oleh ciptaan orde baru, juga oleh karena menghambanya perempuan pada feminitas. Budaya yang memperdaya perempuan pada sebuah tampilan.
Demikian potret Kartini yang semula dipuja melalui emansipasinya, namun kini berubah hanya sekedar pada tampilan kebayanya saja. tak lagi banyak perempuan yang meniru akan kegigihannya dalam menulis hingga berkritis. Maka dari itu, saya menyatakan inspirasi Kartini tak se-‘seksi’ dulu lagi.
Maka, narasi wujud inspirasi dari figur seorang Kartini yang sesungguh dan sebenarnya harus ditata kembali. Agar melahirkan sosok-sosok Kartini baru yang juga mampu mengilhami.
Agar banyak muncul perempuan yang bersemangat diri untuk pergi dari kemiskinan, kebergantungan dan kemandegan serta ketidakberdayaan.
Untuk menjadi bagian dari tokoh masyarakat yang diperhitungkan dan dikenang. Dari pada berhias atau berdandan dengan penuh kepuraan.
Penulis: Putriana, M.Pd,
(Aktivis Perempuan Kalimantan Barat)