KALBARSATU.ID —‘Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia’ (Ir. Soekarno)
Anak muda adalah pewaris sejarah masa lalu, pelaku sejarah masa kini, dan penentu sejarah masa depan. Begitulah ‘wacana ideologis’ yang sering digaungkan untuk menegaskan betapa pentingnya posisi dan tanggung jawab anak muda terhadap proses perubahan. Namun tantangan yang dihadapi anak muda dalam ruang, waktu, persoalan dan kebutuhan kekinian tentu tidaklah mudah.
Anak muda hari ini, jamak disebut millenial, adalah generasi yang lahir, tumbuh dan berkembang bersama teknologi. Mereka sangat mudah beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Dengan teknologi informasi, mereka cepat membaca peluang dan mampu menjawab tantangan dengan inovatif. Akan tetapi, seiring wacana potensi generasi millenial, muncul pandangan minor bahwa mereka cepat bosan, tidak konsisten, kurang solider dan lain-lain.
Di era revolusi industri 4.0, informasi digital menjadi mainstream yang ‘memaksa’ semua orang, khususnya anak muda untuk melek teknologi informasi. Publik pun latah menterjemahkan bahwa peluang bagi anak-anak muda untuk berkiprah harus berbasis teknologi informasi. Padahal teknologi informasi esensinya adalah intrumen pendukung, bukan faktor utama.
Dampaknya, sudah sedikit anak muda yang mau ‘bertungkus-lumus’ di lapangan mendampingi masyarakat. Sebagian besar generasi millenial asyik dengan kreatifitas berbasis teknologi digital, seperti youtuber, desain grafis dan lain-lain. Padahal semestinya teknologi informasi dapat dioptimalkan sebagai sarana untuk menjawab masalah dan kebutuhan lapangan.
Pada komunitas masyarakat sipil atau LSM, sekarang ini harus diakui tidak mudah untuk mendapatkan kader seorang community organizer yang handal. Padahal masih banyak kebutuhan kerja-kerja pemberdayaan untuk memperkecil ‘gap’ antara perubahan kebijakan dengan kapasitas masyarakat. Disisi lain, ruang keterlibatan publik dan masyarakat sipil dalam proses kebijakan secara normatif dan prosedural semakin membaik. Namun tantangannya sebagian elemen masyarakat sipil mulai larut dalam kerja-kerja teknokratis. Akhirnya tanpa disadari semakin memperkecil porsi kerja lapangan untuk memperkuat basis masyarakat. Tantangan tersebut coba dijawab oleh Kedeputian Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG RI dengan program Desa Peduli Gambut (DPG).
Desa Peduli Gambut & Anak Muda
Desa Peduli Gambut (DPG) adalah program yang diluncurkan Kedeputian III BRG RI sejak 2017 di tujuh provinsi target restorasi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan Papua. DPG adalah pendekatan restorasi gambut dengan strategi 3R (rewetting, revegetasi dan revitalisasi) berbasis masyarakat. Hingga 2020, program DPG telah dan sedang dilaksanakan di 85 desa di Kalbar dan 525 desa di tujuh provinsi target restorasi.
Program DPG dilaksanakan tidak hanya menggunakan sumber pendanaan dari APBN, namun BRG juga menggandeng mitra lainnya seperti Kemitraan/Partnership, ProForest dan YIARI. DPG adalah kerangka penyelaras program dan kegiatan yang masuk ke Desa untuk percepatan pembangunan desa. Karena itulah, program DPG menggunakan ‘pintu’ UU Desa sebagai pijakan untuk memfasilitasi keterlibatan masyarakat dan Pemerintah Desa dalam agenda restorasi gambut ditingkat tapak.
Adapun kegiatan utama program DPG, antara lain: (1), Pendampingan Desa dan Komunitas (penempatan fasilitator desa), (2), Pemetaan sosial, ekonomi dan spasial (peta tematik dan profil desa), (3), Integrasi restorasi gambut dalam dokumen perencanaan desa (RPJMDes, RKPDes, APBDes), (4), Penguatan institusi dan regulasi lokal (Perdes, Perkades, SK Kades, Pokmas, MPA, Poktan), (5), Pemberdayaan ekonomi (pelatihan, bantuan ekonomi produktif, penguatan BUMDes, produk unggulan), (6), Penguatan inovasi lokal dan teknologi tepat guna (sekolah lapang petani gambut, seniman pangan dan kerajinan), dan (7), Pemantauan restorasi gambut.
Berbagai kegiatan DPG di atas, praksisnya memposisikan fasilitator desa (fasdes) sebagai ujung tombak BRG yang bekerja ditingkat tapak. Merekalah yang merepresentasikan ‘negara hadir’ di desa melalui BRG dalam agenda pemulihan ekosistem gambut. Sebab mereka diwajibkan untuk live in di desa berinteraksi dengan masyarakat, pemerintah desa dan pemangku kepentingan lainnya. Kata kunci dalam pelaksanaan program DPG adalah kepercayaan masyarakat.
Jika fasdes sudah mendapatkan kepercayaan, maka tidak sulit untuk menggerakkan partisipasi semua pihak di desa guna mendukung agenda restorasi gambut. Karena itu, dalam rekruitmen fasdes BRG memprioritaskan anak-anak muda yang memiliki rekam jejak organisasi kemahasiswaan dan ‘passion’ kuat untuk pemberdayaan masyarakat.
Keragaman Potensi
Harus diakui, untuk mendapatkan seorang fasdes dengan kapasitas ideal tidaklah mudah. Pembelajaran selama pelaksanaan program DPG, latar belakang pendidikan tidak jadi jaminan, melainkan pengalaman dan ‘passion’ mereka yang menentukan.
Tidak hanya alumni jurusan yang relevan seperti kehutanan, pertanian dan perikanan, melainkan juga yang latar belakangnya dari ilmu politik, hukum, keguruan dan pendidikan, hingga tarbiah. Beberapa diantara fasdes ada yang berlatar santri.
Pengalaman organisasi mereka juga beragam, baik intra maupun ekstra kampus. Selain organisasi intra kampus seperti Mapala, Sylva, BEM dan UKM lainnya, ada juga yang aktif di organisasi ekstra kampus yakni HMI, GMNI, PMII, KAMMI, IMM dan PMKRI. Keterampilan dan bakat mereka juga bermacam-macam, seperti menjadi atlet panjang dinding. Jika ada event kejuaraan daerah, mereka bersaing mewakili daerah kabupatennya masing-masing.
Ada yang pandai menari dan pernah mendampingi peserta Festival Tari hingga ke negeri jiran Malaysia. Selain itu, ada yang memiliki ‘prestasi’ di kampusnya cukup membanggakan. Misalnya pernah ikut program pertukaran mahasiswa ke universitas di Jepang. Mengikuti pertemuan ilmiah antar mahasiswa Asean di Malaysia. Mewakili kampusnya dalam ajang Debat Konstitusi antar mahasiswa hukum tingkat nasional yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi. Bahkan ada yang pernah ikut pameran karya foto tingkat internasional di Doha-Qatar.
Beberapa diantara mereka ada yang pernah terlibat dalam kerja pemberdayaan NGO dan program pendampingan Kementerian/Lembaga pemerintah. Penelitian dan survei, ikut dalam berbagai proyek dosennya di kampus dulu. Ada yang memang sebelumnya sudah berkecimpung di NGO, misalnya fasdes yang telah dikenal sebagai mapper dan GIS Specialist.
Beragam bakat, potensi serta hobi para fasdes ini sedikit banyak mempengaruhi gaya mereka saat berinteraksi dengan masyarakat. Diluar target program dan kegiatan yang telah ditetapkan, di lapangan mereka bebas berkreasi dan berinovasi. Bahkan ada yang asyik sendiri di lapangan hingga jarang pulang ke rumahnya masing-masing. Mereka seperti menemukan ‘dunianya’ saat melakukan pendampingan masyarakat di lapangan.
Ada yang lebih intens mendampingi petani di demplot, ada yang lebih banyak berinteraksi dengan kalangan pemudanya. Ada juga yang hanya fokus pada penguatan MPA atau Satgas Karhutla, serta aparatur desa. Bahkan ada yang sudah seperti layaknya staf aparatur desa mewakili pemerintah desanya dalam kegiatan di kabupaten. Di sela-sela aktifitasnya di desa, ada fasdes yang menyalurkan bakat dan hobinya menjadi Youtuber.
Ultra-Mandatory
Di dunia peradilan, khususnya dalam perkara Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, kita sering mendengar istilah Ultra-Petita. Kata ini untuk menyebut adanya putusan Majelis Hakim yang ‘melebihi atau melampaui dari apa yang dituntut’. Tapi konteksnya ini bukan soal putusan hakim, tapi cerita menarik fasdes yang tak kenal lelah bekerja di desa-desa gambut.
Mereka adalah anak-anak muda yang punya kemauan kuat untuk berkiprah dan berkarya. Selalu saja ada kabar mengejutkan dari lapangan. Padahal tugas fasdes yang dimandatkan adalah bagaimana memfasilitasi keterlibatan masyarakat dalam upaya restorasi gambut ditingkat tapak.
Berinteraksi menjadi bagian dari warga desa ternyata merupakan ‘kebahagian’ tersendiri bagi mereka. Dengan dedikasi tinggi, mereka tidak canggung untuk masuk dalam komunitas yang bagi sebagian orang mungkin sulit dilakukan. Misalnya Wendrika, alumni Fakultas Pertanian Untan, menjadi fasdes sejak 2018 dan bertugas di Desa Trimandayan Kecamatan Teluk Keramat-Sambas. Sebagai gadis Dayak-Katolik, dia tidak canggung berinteraksi dengan masyarakat Melayu Sambas. Bahkan dia ‘pede’ aja ketika harus melakukan sosialisasi kegiatan saat warga kumpul dalam acara majelis taklim.
Mengajak pak Polisi anggota Bhabinkabtibmas untuk mendampingi petani menerapkan teknik pertanian tanpa bakar (PLTB). Berceramah ke SMA dan Mahasiswa Polnep Sambas tentang restorasi gambut. Bahkan didepan puluhan anggota Bhabinkamtibmas se-Polres Sambas.
Setiap hari Sabtu dia biasa mendampingi anak-anak pramuka dari SMA Teluk Keramat berkunjung ke Demplot sebagai edukasi mengenal ekosistem gambut. Atas dedikasinya itu, dia dinobatkan sebagai Fasilitator Desa Terbaik 2018 dan mendapatkan rewardmengikuti UNFCC-COP di Polandia. Begitu pula saat bertugas di desa Sungai Nipah Kecamatan Teluk Pakedai Kabupaten Kubu Raya. Dia melaporkan bahwa telah berhasil meyakinkan pihak Sekolah Dasar 24 Teluk Pakedai untuk berpartisipasi dalam edukasi kepada siswa/siswi terkait restorasi gambut. Begitu juga dengan Ponpes Ainul Yaqin Al-Mubarok yg dijadikan ‘model’ Ponpes Peduli Gambut. Sekolah Dasar dan Ponpes ini melakukan Perjanjian Kerjasama dengan Tim DPG Sungai Nipah. Tim yang dibentuk warga dan disahkan Kepala Desa ini merupakan Tim Restorasi Gambut tingkat desa.
Demikian halnya Syarifah Ashria Daviyana, alumni Fakultas Kehutanan Untan. Dia bergabung menjadi fasilitator desa pada 2019 dan bertugas di Desa Pulau Kumbang Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara. Berbekal pengalaman sebagai pendamping KPH di Berau-Kaltim sebelumnya, dia langsung ‘beraksi’ dilapangan. Mulai meyakinkan Pemerintah Desa, mengajak berbagai kelompok masyarakat seperti Ibu-ibu, petani, pemuda, guru hingga anak-anak sekolah. Dia berhasil menggerakkan pemuda-pemuda desa yang tergabung dalam Karang Taruna. Bersama para pemuda dia keliling Desa mengajak masyarakat untuk menjaga lahan dari kebakaran. Atas dukungan Pemdes, mereka mengolah lahan milik desa yang dijadikan mini-demplot sebagai media praktik bersama menerapkan metode PLTB. Ditanamilah lahan itu dengan berbagai macam tanaman holtikultura dan sayur-sayuran. Hasil panen perdananya seperti timun, kacang panjang, tomat, terong dan lain sebagainya langsung dibagikan ke warga sekitar.
Ini dilakukan untuk memotivasi mereka agar semangat kembali mengelola lahannya. Bahkan mini-demplot tersebut sekarang menjadi ‘kebanggaan’ masyarakat dan Pemdes Pulau Kumbang. Fasdes yang kadang dua bulan sekali baru pulang ke rumahnya di Pontianak ini, berhasil memfasilitasi Perjanjian Kerjasama antara Pemdes Pulau Kumbang dengan SMA 2 Simpang Hilir dalam upaya edukasi restorasi gambut.
Di sekolah ini sekarang sudah terbangun mini-demplot tempat para siswa bersama gurunya praktek PLTB. Atas keberhasilan itu, dia diminta untuk demontrasi membuat pupuk organik cair kepada para murid dan guru disalah satu Sekolah Dasar di Desa Pulau Kumbang.
Ada lagi Handayani, fasilitator desa yang sebelumnya pernah menjadi volunteerWWF untuk program konservasi Penyu. Dia juga berhasil memfasilitasi Perjanjian Kerjasama Pemerintah Desa dengan SDN 05 Teluk Pakedai Dua dalam rangka pembangunan demplot PLTB di lahan sekolah.
Widya Hartika lain lagi ceritanya, dia oleh teman sesama fasdes biasa dipanggil ‘Cik’, anonim ‘kecik’ yang dalam dialek melayu berarti kecil. Karena memang tubuhnya kecil dibanding yang lain. Alumni fakultas kehutanan yang jago panjat dinding ini, walau kecil namun daya juangnya besar. Saat awal turun ke desa penempatannya, dia mampu menempuh ratusan kilometer dengan sepeda motor ‘bututnya’ dari Ketapang ke Desa Sungai Sepeti Kecamatan Seponti Kabupaten Kayong Utara. Tanpa rasa menyerah tantangan itu dijalaninya. Alhamdulillah membawa berkah, dia menemukan komunitas masyarakat yang ramah serta mendukung agenda BRG yang dibawanya.
Cerita fasdes lain juga tak kalah menarik, mereka memfasilitasi penyusunan Perdes PPEG, pembentukan MPA, kelompok tani dan pendampingan demplot. Di masa awal bertugas di desa, mereka melakukan pemetaan partisipatif dan menyusun profil desa, serta survei Indeks DPG. Survei ini dilakukan dua kali di bulan maret dan bulan desember untuk mengukur kondisi eksisting dan progress pasca intervensi program. Lalu mengawal proses Musyawarah Desa dalam penyusunan RKPDesa dan review RPJMDesa.
Di samping itu, ada beberapa fasdes yang memiliki ‘differensiasi’ pendekatan dan concern dilapangan. Misalnya Nurul Fidhea Yeni yang lebih intens mendampingi kelompok tani demplot. Apalagi setelah dia bertemu dengan seorang kakek yang menjadi penyemangatnya walaupun desa dampinganya jauh dari ibukota Kabupaten. Evie Suryanti membantu pemasaran Kopi Ekselsa dari desanya di media sosial. Noerholis betah mendampingi kelompok ibu-ibu di rumah produksi minyak kelapa. Ahmad Zubairi mendampingi ibu-ibu anggota Kelompok Wanita Tani (KWT). Edward mendampingi BUMDes Maju Jaya yang memasarkan produk unggulan desa. Begitu juga Syafari mendampingi BUMDes Karya Pesisir yang menjadi salah satu BUMDes model di Kabupaten Sambas. Ihsan P Nasution mendampingi Pokmas yang mengolah nanas menjadi keripik, selai dan dodol. Serta Fransiskus Dino yang tak kenal lelah memotivasi petani untuk tidak menyerah mengelola lahan gambut hingga berhasil panen.
Ada yang memiliki keahlian GIS seperti Baruni Hendri, membantu desa dan fasdes lain dalam pemetaan dan usulan perhutanan sosial. Muhammad Mursin asyik menjadi youtuber bersama anak-anak muda di desanya. Mereka merekam berbagai spot menarik di desanya dengan narasi yang unik dan lucu, lalu diunggah di Youtube dan media sosial. Ada juga Robianto, dengan kepala desanya sudah layaknya teman akrab sehingga sering menemani ‘ngopi’ di warkop.
Temi Wijaya dan Rifki Marisel di desanya seperti menemukan keluarga baru. Bahkan Rifki sering mengajak anak perempuannya yang berusia 5 tahun ke desa dan menginap disana. Begitu juga Desi, baginya desa dampingan merupakan rumah keduanya. Dia tidak canggung mendampingi MPA yang semua anggotanya adalah bapak-bapak. Solehudin Assegaf dengan sabar mendampingi kelompok ibu-ibu yang memproduksi keripik singkong yang sudah menjadi industri rumah tangga. Solehudin yang biasa dipanggil ‘habib’ ini juga sering ditodong warga untuk membaca do’a dalam berbagai kegiatan keagamaan di desanya. Lain lagi Intan Wulandari, pada lomba Gapura proklamasi 17 Agustus, dia berhasil mengajak seluruh RT di desanya untuk ikut serta berpartisipasi dengan menghias 8 Gapura. Sementara yang lain hanya mengikut-sertakan satu Gapura dari masing-masing desanya.
Namun satu hal yang membahagiakan, beberapa diantara mereka seperti Robianto, Iswadi, Burhanudin, Solehudin Assegaf, Noerholis, Handayani, dan Baruni Hendri melepas masa lajangnya saat menjadi fasdes. Bahkan ada yang berjodoh menjadi pasangan pengantin sesama fasdes, walaupun setelah menikah yang perempuan tidak melanjutkan lagi.
Profil anak-anak muda dan kerja inovatifnya di atas, menjawab pandangan minor seolah generasi millenial sulit untuk diajak bekerja dilapangan pemberdayaan masyarakat. Pembelajaran program DPG menggambarkan bahwa anak-anak muda masa kini punya kepedulian sosial yang tinggi. Dan itu merupakan modal sosial yang sangat berharga untuk mengawal proses perubahan dimasa depan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya BRG RI berterima kasih atas dedikasi mereka. Sebab merekalah ujung tombak pelaksanaan restorasi gambut ditingkat tapak. Apalagi yang mereka lakukan melampaui dari apa yang telah dimandatkan, atau ‘ULTRA MANDATORY’.
Penulis: Hermawansyah
Dinamisator DPG-BRG Kalbar