Opini

Soekarno: Islam, Pancasila dan Palestina

Soekarno: Islam, Pancasila dan Palestina
Hermawansyah Pegiat Sosial/Alumni GMNI/ Wakil Ketua PWNU Kalbar

Penulis: Hermawansyah
Pegiat Sosial/Alumni GMNI/
Wakil Ketua PWNU Kalbar

De-Soekarnoisasi: Sebuah Langkah Penyangkalan Sejarah

OPINI, KALBAR SATU – De-Soekarnoisasi adalah istilah untuk menyebut upaya politik mengecilkan peran dan kehadiran Ir. Soekarno dalam rekam sejarah kebangsaan Indonesia. Sebagai sebuah kebijakan, proses ini dilakukan di masa rezim Orde Baru berkuasa. Misalnya, tak pernah kita ketahui ada jalan bernama Soekarno – tanpa Hatta, padahal banyak pahlawan yang namanya diabadikan menjadi nama jalan secara tunggal. Atau berubahnya nama Soekarnopura menjadi Jayapura.

Ketika Bung Karno wafat, de-Soekarnoisasi berlanjut dengan memakamkan Bung Karno di Blitar. Padahal ia mewasiatkan agar dimakamkan di tanah Priangan, tempatnya berkontemplasi hingga menemukan Marhaenisme, pandangan Sosialisme Indonesia yang berpihak pada wong cilik. Kelas masyarakat yang tertindas oleh hisapan sistem kapitalisme ulah kaum imperialis. Menurut Dr. Ahmad Basarah, Bung Karno dimakamkan di Blitar sebagai upaya mem-PKI-kan Sang Proklamator. Karena saat itu, Blitar adalah basis PKI (Ihsanuddin, 2017).

Penggelapan sejarah Soekarno di masa Orde Baru juga dilakukan terhadap Pancasila. Menurut sejarawan Pimpinan Redaksi historia.id, Bonnie Triyana, ORBA menyebut Muhammad Yamin sebagai orang pertama yang mengemukakan konsep yang menjadi ideologi Indonesia ini, menggantikan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila (Santosa, 2015). Padahal Soekarno pernah berujar, jangan sekali-kali melupakan sejarah. ORBA justru menggilas sejarah Bung Karno.

Sekilas Rekonstruksi Pancasila: Historis dan Epistemologis

Sebagai produk sejarah, Pancasila tidak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang melahirkannya. Pidato tanpa teks 1 Juni 1945 yang dibacakan Bung Karno di hadapan majelis sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) 1945 merupakan momentum perdana dikenalnya nama Pancasila.

Setelah itu, Pancasila mengalami perkembangan pada 22 Juni 1945 menjadi naskah Piagam Jakarta oleh Tim Sembilan, hingga akhirnya disepakati menjadi teks final pada tanggal 18 Agustus 1945 (Basarah, 2017). Rentetan kejadian itu merupakan satu kesatuan proses, satu tarikan nafas, satu aliran darah: Pancasila, yang diprakarsai Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.

Selama periode kekuasaannya, ORBA memang berupaya mempartisi setiap peristiwa itu. Ya, itulah de-Soekarnoisasi, agar peran Soekarno menghilang dari sejarah Pancasila. Padahal, Pancasila merupakan buah pikir dari Marhaenisme yang dicetuskan pada akhir dekade 1920-an dan berkembang hingga menjelang kemerdekaan Indonesia. Pancasila merupakan hasil chemistry (persenyawaan) Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi – dalam Marhaenisme – dengan Ketuhanan – hasil ekstraksi dari pergulatan pemikiran Islam Soekarno selama hidupnya.

Sosio-Nasionalisme adalah pandangan kebangsaan Indonesia, ikatan dalam sebuah negara-bangsa (nation-state), sebuah kesadaran yang dimiliki setiap warga negara Indonesia sebagai identitas yang mempersatukan. Sosio-Demokrasi adalah demokrasi dengan orientasi keadilan sosial, kebebasan dan perlindungan dalam berserikat dan mengemukakan pendapat yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca Juga: Restorasi Gambut Ditangan Anak Muda, Ultra Mandatory

Ketuhanan, menurut Dr. Fahruddin Faiz, menjadi orientasi relijius bangsa Indonesia. Senada dengan itu, Prof. Mahfud MD, mengatakan bahwa sila “Ketuhanan” merupakan hasil penggalian Bung Karno setelah melakukan pergulatan wacana mengenai hubungan negara dan agama dengan sejumlah tokoh (MD, 2017).
Pancasila merupakan miitsaaqan ghaliidzaa atau kesepakatan luhur bangsa Indonesia yang digali dan ditemukan, ucap Bung Karno, dari bumi Indonesia (MD, 2017).

Pancasila telah menjadi deal of the generation (kesepakatan generasi) masa itu, sebagai pondasi menuju cita-cita kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkarakter dalam budaya. Pancasila adalah kalimatun sawa’ bangsa Indonesia, tujuan akhir bagi setiap agama yang ada: kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Karena Pancasila, Indonesia tidak menjadi salah satu dari negara agama atau negara sekuler, melainkan religious nation state, negara bangsa yang ber-Ketuhanan (MD, 2017). Maka itulah mencintai negeri ini menjadi bentuk keimanan setiap warganya – apapun latar belakang agamanya, hubb al-wathan min al-iiman.

Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna melihat keragaman sebagai ketunggalan keberadaan, sebagaimana kosmos bukanlah keragaman yang tak terikat, melainkan ketunggalan semesta. Hanya karena keterbatasan pandangan saja yang menyebabkan kita melihat setiap keberadaan sebagai bagian yang terpisah-pisah. Indonesia pun demikian, sebuah ketunggalan dalam bhinneka, pluralitas dalam unitas.

Soekarno, Pancasila dan Palestina

Jika mencintai kebenaran dan keadilan, maka kita pasti membenci kebatilan dan kezaliman. Soekarno pun demikian. Kecintaannya pada kemerdekaan dan spirit kebangsaannya mewariskan sikap anti imperialisme dan kolonialisme yang tidak hanya membara di masa hidupnya semata, melainkan terus menyala hingga akhir zaman.

Soekarno menentang imperialisme yang telah menyebabkan berbagai bentuk penjajajahan di muka bumi, yang ia kristalisasikan dengan menggagas Konferensi Asia-Afrika 1955. Forum konsolidasi negara-negara yang pernah mengalami penjajahan oleh negara-negara imperialis. KAA melahirkan Dasa Sila Bandung, piagam penghargaan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan setiap bangsa di dunia.
Berdasarkan amanat UUD 1945 dan Dasa Sila Bandung, Indonesia merasa ikut bertanggungjawab atas kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah, sebagaimana yang kini masih dialami Palestina.

Konstitusi kita mengamanatkan Indonesia untuk berperan aktif dalam perdamaian dunia dan menghapus penjajahan dari muka bumi. Indonesia masih mewarisi api anti imperialisme, sebagaimana yang disampaikan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dengan sangat jernih di Sidang Majelis Umum PBB tanggal 20 Mei 2021, “Kami hadir di sini untuk berjuang atas nama kemanusiaan. Berjuang bagi keadilan masyarakat Palestina.”

Dua pondasi di atas – UUD 1945 dan Dasa Sila Bandung – berpangkal dari Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa menolak tindakan imperialisme, karena imperialisme merupakan manifestasi penentangan terhadap Tuhan yang memberikan kemerdekaan kepada manusia. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab menolak imperialisme, karena imperialisme adalah wujud penghinaan terhadap kemanusiaan.

Persatuan Indonesia menolak imperialisme, karena imperialisme hidup dengan melakukan perpecahan (divide et impera). Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan menentang imperialisme, karena imperialisme dipimpin oleh arogansi, kepicikan dan kelicikan. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menentang imperialisme, karena imperialisme adalah bentuk kezaliman yang pernah mengungkung Indonesia selama lebih dari 350 tahun.

Sejak masa Bung Karno, posisi moral & politik Indonesia sangat tegas mendukung Palestina sebagai mandat konstitusi, bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Mandat yang pernah diucapkan dengan lantang oleh Bung Karno: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina tidak diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itu pula bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”

Berlangganan Udpate Terbaru di Telegram dan Google Berita
Exit mobile version