Tak Ada Ruang Bagi Perempuan Di Masa Pra Islam

Tak Ada Ruang Bagi Perempuan Di Masa Pra Islam
Foto/ilustrasi.

KALBAR SATU ID – Pada zaman pra-Islam, perempuan dianggap sebagai objek dan tidak memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. Pada zaman pra-Islam di kenal juga dengan sebutan jaman jahiliyah. Mayoritas bangsa jahiliyah menyembah berhala. Ada tiga berhala terbesar yaitu latta, uzza, dan manna.

Pada masa sebelum Rasulullah Muhammad Saw diutus di Makkah, seperti dijelaskan oleh Muhammad al-Ghazali, kejahiliyahan menimpa hampir seluruh negeri di dunia; baik Arab, Yunani, Romawi, Persia, Cina, Hindia dan lainnya.

Pada saat itu, penyimpangan masyarakat jahiliyah terhadap agama Allah tidak hanya dalam masalah akidah tetapi juga dalam masalah akhlak dan moral, ibadah, juga dalam masalah muamalah; hubungan sosial antar sesama manusia.

Pada zaman itu, perempuan ditindas dan diperlakukan dengan sewenang-wenang. Perempuan hanya bertugas melayani laki laki dan harus siap kapanpun dibutuhkan. Perempuan menjadi lambang aib bagi keluarganya. Memiliki anak perempuan adalah suatu kehinaan.

Seperti kisah Khalifah Umar r.a. sebelum beliau masuk Islam. Diceritakan bahwa Khalifah Umar pernah memgubur anak perempuannya hidup-hidup. Seperti Firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 58-59:

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمۡ بِالۡاُنۡثٰى ظَلَّ وَجۡهُهٗ مُسۡوَدًّا وَّهُوَ كَظِيۡمٌۚ‏
يَتَوَارٰى مِنَ الۡقَوۡمِ مِنۡ سُوۡۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖ ؕ اَيُمۡسِكُهٗ عَلٰى هُوۡنٍ اَمۡ يَدُسُّهٗ فِى التُّـرَابِ ؕ اَلَا سَآءَ مَا يَحۡكُمُوۡنَ‏

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya.”

“Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.

Perempuan yang hidup pada zaman pra-Islam ini hanya akan menjadi pemuas nafsu laki-laki. Mereka dilarang untuk keluar rumah. Perempuan hanya diperkenankan untuk beraktifitas di dapur, mencuci pakaian, dan pemuas saat malam hari.

Tidak heran jika kita sering mendengar persepsi bahwa tugas perempuan hanyalah masak, macak, manak (memasak, berhias, dan memberi anak). Bahkan, pada zaman tersebut, anak perempuan diizinkan melayani bapaknya sendiri. Jika dia adalah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka anak laki lakinya boleh menikahinya jika dia mau. Sungguh memprihatinkan.

Tidak hanya itu, pada zaman tersebut juga banyak dipraktikkan pola-pola perkawinan, diantaranya istidla, poliandri, maqhtu, badal, dan shighar. Istidla, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan laki-laki lain yang memiliki kelebihan seperti kecerdasan dan keberanian.

Tujuan perkawinan ini adalah agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat dari laki-laki lain yang tidak dimiliki oleh suaminya. Poliandri, yaitu beberapa laki-laki yang berjimak dengan seorang perempuan. Bila perempuan itu hamil, maka dia akan memanggil semua laki laki yang pernah berhubungan dengan dia.

Memberitahukan bahwa dia hamil kemudian menunjuk salah satu laki laki itu dan tidak boleh menolak. Maqhtu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal.

Namun, jika anak laki laki tersebut masih kecil maka harus menunggu hingga dewasa. Dan ketika anak tersebut dewasa, dia berhak memilih tetap melanjutkan menjadikan istri atau melepaskanya. Badal, yaitu tukar-menukar istri tanpa ada kata cerai yang bertujuan hanya sebatas untuk menghilangkan kebosanan dan memuaskan nafsu. Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuanya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.

Selain itu, ada juga bentuk perkawinan lain seperti meminta menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu mirip dengan kawin kontrak. Ada juga yang dilakukan para pendatang dengan mengibarkan bendera untuk memanggil para wanita.

Sungguh memprihatinkan kondisi perempuan pada masa itu. Mereka diibaratkan dengan kotoran yang patut dihina dan diinjak-injak. Perempuan dianggap sebagai suatu aib bagi siapa saja yang memilikinya. Hak-hak perempuan pun diabaikan dan diganti dengan pelecehan seksual.

Perempuan seringkali dianggap sebagai objek dan tidak memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. Mereka seringkali dianggap sebagai harta benda atau alat untuk memenuhi kebutuhan laki-laki.

Tidak hanya itu, masyarakat jahiliyah memandang wanita sebagai barang dangangan yang bisa dimiliki seperti uang dan kendaraan atau bahkan binatang ternak, untuk mereka manfaatkan sesuka hati. Karena itulah, mereka tidak memberi kepada para wanita hak-hak dalam masalah harta benda, dan juga sebagai ahli waris jika salah seorang anggota keluarganya meninggal. Bahkan, mereka tidak memiliki hak untuk dirinya sendiri sehingga bisa diperjual-belikan oleh suaminya sendiri; sebab lain juga karena laki-laki bisa berpoligami tanpa batas.

Kasus seperti itu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas terkait asbabunnzul Qur’an Surat An-Nisa ayat ke-19,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًاۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka.

Kondisi diatas, bisa dikatakan bahwa pada masa jahiliyah, kedudukan dan pendidikan wanita tidak mendapat tempat dalam setiap masyarakat, sehingga mereka selalu menjadi sasaran kezhaliman dan penghinaan dengan tidak mungkin ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan mulia.

Oleh karena itu, pendidikan wanita pada masa sebelum Islam bisa dibaca dalam uraian berikut: Pertama, Kedudukan sosial perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kedudukan wanita pada masa jahiliyah lebih rendah bahkan lebih hina daripada kedudukan laki-laki.

Penulis: Farida Asy’ari, Dosen Politeknik Negeri Pontianak.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait