KALBARSATU.ID – Sekilas, sakitnya Ima sudah ada di penghujung jeritan. Sekalipun teriak pilu itu tak bersuara, dengan keperihan yang sangat itu, layaknya kulit yang ditusuk pisau tumpul, lukanya bertahap, ngerinya meronta-ronta, darahnya berkucur, takutnya sampai tak kuat untuk berkata-kata. Si mungil tenyata tak melakukan apa-apa. Seperti menanti hujan, kapan kiranya tiba menyapa, untuk sekedar menemani air mata. Setidaknya wanita yang disebut bunga desa ini, ingin menyembunyikan mata kesedihannya di halaman hujan. Sambil merundung pilu, memikul lisannya yang pilu, sembari menasehati hati yang meminta mati, tetap saja Nihayatun Ni’mah Muhammadiyah menatap sendiri bersama sepi, bahkan paling hilang daripada sunyi. Sedihnya adalah yang paling mengiris tangis.
“Seharusnya aku tak secinta ini padamu” sembari mengibaskan jari jempol menawannya pada layar handphone, “ya, ini bukan sebab cinta yang begitu haru hingga tak ada yang tersisa selain pilu”. Ima berteriak sepi dalam sanubari. Ia seakan badan tak bernyawa, nafasnya retak, panas menyengat sayat. Ingatan masa lalunya menari hulu-hilir merobek dadanya yang kemilau anggun. Bola mata ranumnya meratap dibanjiri letupan-letupan hening air mata kesakitan membelah pipinya yang elok. Hidung mancungnya diselimuti oleh tisu-tisu cekam duka lara.
Rangkaian huruf berselimut kata terpampang di wajah alami kuning langsat itu. Matanya yang jelita menyusup dengan tatapan bak gerhana bulan. Apabila seorang lelaki menatapnya akan sedu-sedan direngkuh oleh tangisan kesedihan terbawa keluh-resah hatinya yang sedang merintih. Masih saja pesan yang hendak dititipkan pada malam tak ia sentuh untuk dikirim pada kekasihnya yang tenggelam hilang. Tak kuasa menahan haru tikam. Air matanya berderai. Menangis sesenggukan dengan malam hingga matanya bengkak seakan memar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mata yang biasanya cerah, lebih terang daripada mentari yang sedang tersenyum. Siapapun menatapnya akan terselinap terkunci bahkan terpenjara menyerahkan diri. Tatkala senyum merenyut bersama kemarau, maka bunga menjadi mekar-rekah laiknya diturunkan semilir angin beralaskan hujan. Namun, gadis juwita yang selalu menjadi sayembara kaum pria telah memilih kesatria yang salah, memaku sesal, bermandikan kelam dan dendam.
Sambil merundung, menjatuhkan dahi lebarnya di tempat tidur sambil menyentuh dadanya yang kian sesak gumam “robekan luka hatiku tak kuat untuk dikatakan dengan tulisan, bahkan lisan.”
Tiba-tiba, datang segerombolan angin hujan badai ingatan-ingatan masa lalu. Seketika barisan gambar Muhammad Al-Nadzam menikamnya perlahan-lahan. Sambil mengangkat kedua tangan, menyentuh bagian kanan-kiri kepala, gadis mungil dengan upaya sederas jantung sekilat jeritan menghentikan wajah rekamannya berteduh dalam pikiran. Sampai bantal merah mawar kado kekasihnya pada saat ulang tahun itu dijadikan penyangga bibirnya yang memerah segar agar teriakan keras hanya memutus nadi tanpa terdengar orang di luar kamarnya.
***
“Maafkan aku ya.”
“Kasih sayangku sudah berwadah cinta. Maaf? Maafmu sudah nggak muat. Hh.”
“Loh, ini serius.”
“Sudah sangat sering kamu bilang begitu”
“Ya, tapi ini berbeda.”
Azam mencari cara bagaimana mengatakan kepergian tanpa sedikitpun menitipkan sayatan, bererpisah tanpa menyisakan dendam. Meninggalkan dengan memberi rasa nyaman. Sesekali tersenyum sambil berselancar renung menerawang celah-celah yang paling sedikit menimbulkan ratapan.
“Aku ke kamar mandi ya.” Ima hanya melempar senyum ranum pada lelaki gagah itu.
Azam memang terlihat biasa bagi yang tidak begitu mengenalnya secara dekat. Bahkan Ima kepincut umpan cinta lantaran les privat bahasa Inggris untuk mengikuti ujian kuliah kampus. Amira, sepupunya yang merekomendasikan pria guru bahasa setara SMP. ini. Sebab ia mengajar di sebelah kampus sebab kepintarannya ketika belajar di kelas.
“Tapi dia agak jutek, keliahatannya egois sulit untuk diajak mengalah.” Jelas Amira. “makanya, teman-temanku, hampir kurang berani meskipun hanya untuk sekedar bertanya, apalagi temen cewek.” lanjutnya sambil memperindah muka bertatap kaca.
“Sekalipun wanita cantik? Apa masih jutek.” Tanya Ima.
“Bahkan lebih parah. Setahu ku sih.” Timpal Amira.
***
Azam memang tampak abai dan minimalis perhatian. Bahkan beberapa kali pertengkaran dilatarbelakangi oleh sejumput persoalan kurang dimanja, ditanya kabar, dihubungi tiap hari dan sejenis pertanyaan pemuda-pemudi alai. Parahnya, sudah lima kali kata berpisah dihantamkan oleh si wanita jelita. Suatu ketika, pada saat pria yang dulunya santri itu sedang disibukkan oleh kyainya yang datang kerumahnya, hampir beberapa kali dihubungi, sama sekali tanpa sepatah katapun ditimpali. Sehingga, darah wanita yang sempat juga nyantri di pesantren ini mengucur-memuncak. Marahnya terbilas dendam, kata-katanya sederhana tapi tajam, diamnya seperti menikam, dibumbui dengan pandangan abai dan hanya menaruh telinga tanpa mendengar. Sebagai balasan dari tiga hari tanpa sepatah katapun mengirim kabar.
Sampai-sampai Azam menyusup ke rumahnya sepertiga malam pada waktu orang tuanya tidur dan tak ada orang yang sadar. Tiba-tiba, Ima keluar menuju kamar mandi dengan alasan-alasan yang tak perlu diceritakan di sini.
“Ssssssttt, Ima, aku Azam.” Nada rendah Azam. Sekonyong-konyong kaget Ima menerjang jantungnya. Namun, nada rendah kekasih selalu saja meredakan ketakutan.
“Ya am…”. Untuk kedua kalinya bibir lembut-rapi itu Azam bekap.
“Pelan saja Ima.”
“Kamu berani sekali. Gimana kalau ayah-ibu tahu.”
“Nggak bakal tahu, selama kamu bisa dikendalikan.”
“Terus kamu kok bisa masuk.”
“Itu alasan kenapa Amira tidur di sini.”
“Ya ampun. Kalian berdua tenyata.”
“Iya, chattku nggak kamu balas.”
“Hp ku akan disilent selama seminggu untuk mengobati dendamku.”
“Masak separah itu.”
“Hatiku lebih parah dari pertanyaan mu.”
“Sayang, menunggunya jangan pakek hati.” Rayu Azam
“Hidup tak semudah kata-katamu.”
“Ya udah maaf.”
“Ini.”
“Mawar palsu.”
“Itu bukti kalau yang hakiki hanya cintaku saja.”
“Beberapa kali aku memang selalu dilemahkan oleh ucapanmu.”
“Sampai kamu tak mau melihat chatt dan menerima panggilanku.”
Situasi begitu hening, selembut-lamban lirih dua bunga mawar berselimut malam yang lebih hitam daripada kegelapan.
Sebagaimana suara-suara lamban dua insan yang saling menyapih merenggut kebahagiaan dan keistimewaan. Ima merasa sedang dibendung segunung perhatian Azam yang jauh-jauh datang menyusup lewat jendela yang dibuka Amira setelah ia tidur. Dendam tertunduk rapuh dihadapan bala tentara kemegahan kasih sayang dan pengorbanan. Sampai-sampai tak secuil geram pun mau memintal alasan-alasan untuk sekedar muncul meminta imbalan dan balasan.
Namun, angin menerobos masuk lewat sela-sela jendela yang sengaja tidak dikunci seraya meminta pelukan yang lekat untuk disudahi. Azam pun meminang pinta untuk kembali sambil menyodorkan HP agar terbaca pesan yang ia kirim. Sekalipun pintanya untuk sekedar melihat daftar pesan yang ada ponsel Ima tidak diperbolehkan. Ia pun menuju pos ronda sekitar seratus meter jaraknya tempat ia menitipkan sepeda motor seraya menuju pulang.
Perpisahan dalam kamar tersebut menyisakan kecurigaan sepanjang perjalanan. Keanehan Ima tidak memperbolehkan Azam mengotak-atik ponselnya bahkan hanya sekedar membuka pesannya sendiri yang dikirimkan. Pikirannya berselancar menerobos pintu-pintu waktu menjerat ingatan hingga fajar Shadiq melesat dari jendela bola mata kebimbangan. Dia ingat akun Facebook yang dihafal ketika diijinkan untuk dibuka pada saat enam bulan mereka jadian. Seketika itu pun ia mengisi baterai ponsel sembari menghidupkan untuk sejurus kemudian membuka akun Ima. Tanpa pikir dan pertimbangan, digeser kebawah sampai jauh, ia tidak menemukan daftar dari sisa chatt Ima. Setelah kembali ke atas, menggeser ke arah pesan-pesan di awal, tertera diurutan ke tujuh, terdapat nama kekasih lamanya, Ahmad Khalid Rahman. Kurang lebih satu jam percakapan teks dibaca dari awal hingga ahir. Lamat-lamat nalar kecurigaan lelaki yang sedang dirundung keraguan sesak ini memuncak. Didapati beragam pembicaraan terpotong, seakan-akan kelanjutan pesan-pesan mereka diteruskan pada perangkat yang lain.
Ahmad Khalid adalah kisah usang yang sempat diceriterakan kepada Azam. Terkadang menyisipkan kecemburuan dengan ragam perbedaan sikap yang sering Ima perbandingkan pada saat-saat mereka sama-sama diterkam pertengkaran. Kelebihan-kelebihannya sering dilebih-lebihkan manakala kemarahan membadai dendam oleh persoalan sepele.
***
Azam tiba-tiba pergi meninggalkan Ima di mall matahari saat menemani Ima belanja. Ia sudah memprediksi dari rangkaian kisahnya bahwa kali ini akan ada kiamat amarah yang terbakar menyala-nyala. Bayangan cinta dan melaksanakan titah kyai untuk tidak meneruskan hubungan adalah beban terberatnya. Mempertahankan kekasih berarti pelanggaran pada perintah sang guru yang telah banyak mengajarkan ia bahkan, dulu hidupnya dipenuhi oleh kyai Mursyid saat menjalani hidup di pesantren. Sementara tiga tahun merangkai cerita asmara cukup tak berdaya menyisakan luka untuk kekasih yang dipelihara waktu setiap bait kesannya. Hal tersulit adalah tertawan pada dua pilihan, salah satunya harus menjadi korban.
Cinta yang berangkat dari nalar normal kiranya mengambil jalan yang paling ringan untuk dijadikan tumbal. Kemungkinan besar Ima akan kembali dengan masa silam, Rahman masa lalu yang sempat menjadi raja di istana peri pulau imajinasi. Sepertinya, Azam harus kembali ke jalan cita-cita kyai Mursyid yang banyak memberikan bimbingan-bimbingan menempuh terjalnya kehidupan. Namun, Ilham berupa cahaya Tuhan berbentuk imajinasi belum ia dapatkan, entah apa yang harus dilakukan.
Berpikir juga termasuk aktivitas melelahkan. Hingga akhirnya mimpi-mimpi bersama mentari membawa ia terbang menerawang hilang. Selain rasa lelah menentukan sikap dan pilihan dari salah satu yang akan menjadi korban kekecewaan. Suara hati kecemburuannya menyayat seolah rasa kasih yang ia titipkan menjadi penghianatan. Walaupun masih sebentuk keraguan, Ima tetap saja memiliki rahasia menakutkan untuk diketahui. Semacam kenyataan yang dihiasi kepalsuan. Hatinya jauh arang ketentraman, hilang arti berbasuh kecemasan. Ada sesuatu yang tak harus ia tahu.
Setitik demi titik, matahari nampak merangkak mengusap peluh letihnya hendak merenggut senja. Angin riuh mendesah gulana. Azam bergegas mengambil menaiki motornya menuju kampus. Sekitar setengah jam ia habiskan untuk menalar “kata apakah yang paling aman memulai percakapan dengan Ima”. Kejadian di mall, telah ia sadari sebagai kesalahan besar ketika membiarkan Ima sendirian di sana tanpa kabar hingga hampir dua Minggu. Setibanya di parkiran motor, Azam jumpai Ratna, teman satu kelas Amira yang belum di wisuda sebab cuti.
“Ratna, Ima di mana?”
“Barusan di kelas mas. Beberapa hari ini dia terlihat murung.”
Tampa balas terima kasih, Azam cepat-cepat menuju ruangan Ima belajar. Seluruh kelas diitari sebab keterburu-buruannya menjadikannya lupa tingkat berapa Ima berada. Lantai tiga di pojokan, dari sekilas tepian jendela Azam menerawang Ima berlinangan air mata. Sampai-sampai hatinya terbesit ketakutan untuk bertemu apalagi berbicara. Keputusan tetap keputusan, sembari menujunya pelan-perlahan, memperlihatkan diri sambil memegang pintu.
Ima berkemas memasukkan bahan-bahan pelajaran ke tas berwarna ping mungilnya. Sembari Azam bergegas merengkuh tangan yang halus selembut angin.
“Ima, aku. . .”
Secepat angin Ima menarik tangannya, seketika itu ia menampar Azam bersama kejam.
“Pertengkaran ini kita sudahi.” Timpal nada sesenggukan tangisannya.
“Kita sudahi hubungan ini.”
“Tapi Ima.”
“Hatiku sudah hancur, retak karena selalu memberi maaf. Ini jalan terbaik. tinggalkan aku.”
Azam berupaya mencegahnya untuk pergi. Jantungnya tersentak mendengar sedu-sedan kemarahan beraroma kebencian dari kedalam hati mencekam. Ia pun termenung diam meratapi setengah jiwa yang dititipkan dijaga selama tiga tahun. Sebenarnya ia ingin mempertahankannya. Lamanya waktu cukup menyulitkan berpisah. Ia menarik ponsel menghubungi Ima, namun tetap saja Ima tak mau menerima telfon tersebut.
“Ima, aku serius minta maaf.” Setelah puluhan kali direject, Azam hanya bermodalkan pesan. Hingga sepertiga malam, bujukannya sama sekali, sepatah katapun dari Ima tak terjawab. Lelah menghantarkannya pada pagi. Tersadar ia membuka ponsel, beberapa pesan masuk, bisikannya selalu berharap balasan dari kekasih. Pagi yang tak berangin, awan yang nampak dari teras rumah yang suci. Mata Azam terbelalak bak nyawa yang ditarik malaikat menuju bidadari nirwana.
“Kamu mempersiapkan diri. Minggu depan kamu akan beragkat ke Mesir.” Jelas kyai Mursyid melalui chatt WhatsApp Azam.
“Baik Kyai.” Balas Azam tanpa pikir panjang.
“Ima, sudah teramat banyak bujukan pintaku memintamu. Salahku memang tak terhitung, maaf mu sudah sangat melampaui.” Azam mengirim pesan.
“Beban ini sangat berat jika tiga tahun yang kita jalani berakhir sehancur ini. Kamu telah memintaku pergi, aku siap lenyap untuk selamanya membalik muka agar wajahku tak terbaca. Aku rela. Tak usah disesali, tak perlu kembali.”
Dari nun jauh di sana Ima bergetar petir desak berderai air mata.
“Satu lagi. Jangan sampai kita merencanakan luka yang sama untuk yang kedua kali. Jangan sampai di antara kita ada yang meminta kembali meminang kasih, sebab aku tak ingin kamu tertikam luka lagi, oleh sosok yang sama yang sering kamu sebut sulit dimengerti, yaitu diriku sendiri. Carilah lelaki yang lebih sesuai. Yang ia akan mengobati istana hatimu yang sedang temaram-muram oleh luka yang tak pernah aku rencanakan. Selamat tinggal. . .”
Tiba-tiba Azam melerai kerling air mata, sembari merenangi hujan kenangan masa lalu tanpa ia tahu mengapa Tuhan memberikan sesuatu yang tak ingin ia tahu. Sedangkan Ima, hanya menatap kekosongan bersama gerimis kelopak matanya yang sedang menanti hujan mawar di ujung kejauhan. Koneksinya sudah diblokir keseluruhan oleh Azam sebagai permintaan terakhirnya. Alasan Azam sederhana, supaya tak ada derai hujan ingatan yang dapat menikam kesumat dendam pada waktu-waktu yang bakal menjelang.
Penulis: Ach Yani