KALBAR SATU ID,TERKINI – Selama lebih dari 70 tahun, Raudlatul Athfal (RA) tumbuh dan berkembang bersama masyarakat Indonesia. Sejak RA pertama berdiri di Jakarta pada 1954, lembaga pendidikan Islam untuk anak usia dini ini telah menjadi fondasi penting dalam membentuk generasi beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Namun, hingga kini, negara belum sepenuhnya hadir dalam perkembangan RA. Tidak satu pun dari lebih dari 31 ribu RA di Indonesia berstatus negeri di bawah Kementerian Agama.
Kondisi tersebut mendorong Perkumpulan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PPIAUD) Indonesia, di bawah kepemimpinan Dr. Nur Hamzah, M.Pd., untuk menggerakkan gerakan nasional penegerian RA. Melalui naskah akademik dan kajian bersama berbagai pakar, PPIAUD menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban moral sekaligus konstitusional untuk ikut menyelenggarakan pendidikan Islam pada tingkat anak usia dini.
“Negara tidak boleh absen dalam pendidikan anak usia dini Islam. RA adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Kini waktunya negara memberi afirmasi yang adil,” tegas Dr. Hamzah.
Minimnya Perhatian Negara pada Pendidikan Anak Usia Dini Islam
Meski pemerintah telah hadir secara kuat pada jenjang MI, MTs, MA, hingga perguruan tinggi keagamaan Islam, kehadiran negara di tingkat RA masih sangat minim. Ribuan RA di seluruh Indonesia tetap bertahan dengan dukungan masyarakat dan ormas Islam, tanpa sokongan struktural dari pemerintah.
Data PPIAUD 2024 mencatat terdapat 31.196 RA, lebih dari 1,3 juta peserta didik, dan 139.415 guru, seluruhnya berstatus swasta. Di sisi lain, Kemendikbudristek terus menambah jumlah TK Negeri; pada 2021, 4,98% TK di Indonesia sudah berstatus negeri.
“Untuk jenjang yang sama, negara hadir di Kemendikbud, tapi belum di Kemenag. Ini bukan hanya persoalan lembaga, tetapi keadilan layanan pendidikan,” ujar Dr. Hamzah.
RA Negeri Dinilai Strategis dan Berperan Besar
PPIAUD menilai kehadiran RA Negeri sangat strategis. Selain menjadi bukti kehadiran negara dalam pendidikan Islam sejak dini, RA Negeri diharapkan menjadi acuan mutu nasional bagi RA swasta. Salah satu gagasan yang diusulkan adalah pendirian RA Insan Cendekia, model pendidikan Islam anak usia dini yang unggul mirip konsep MAN Insan Cendekia yang telah banyak mencetak prestasi.
“Kami mengusulkan RA Insan Cendekia sebagai pusat pembinaan mutu RA di seluruh Indonesia,” kata Dr. Hamzah.
Penegerian RA juga akan membuka peluang peningkatan kesejahteraan guru RA, pemberian pelatihan berkelanjutan, tunjangan, serta jaminan profesi yang lebih layak.
Dasar Hukum Sudah Ada, Tinggal Kemauan Politik
Melalui kajiannya berjudul “Darurat Pendidikan Anak Usia Dini Berkualitas: Anak-anak Indonesia Butuh RA Negeri”, PPIAUD menegaskan bahwa landasan hukum pendirian RA Negeri sudah tersedia. Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2014 memberikan dasar kuat bagi pemerintah untuk mendirikan atau menegerikan madrasah, termasuk RA.
“Kami tidak menuntut di luar aturan. Payung hukum sudah jelas. Yang dibutuhkan hanya kemauan politik pemerintah,” ujar Dr. Hamzah.
Harapan untuk Pemerintahan Baru
PPIAUD berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar dapat menjadi pelopor lahirnya RA Negeri pertama di Indonesia.
“Akan tercatat dalam sejarah bila pada masa kepemimpinan beliau lahir RA Negeri pertama di Indonesia. Itu bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi warisan peradaban pendidikan Islam,” ucapnya.
Ratusan Prodi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) dari berbagai perguruan tinggi Islam pun siap menjadi mitra dalam pengembangan RA Negeri tersebut. PPIAUD yakin, sinergi pemerintah, akademisi, dan masyarakat dapat membawa perubahan bagi masa depan pendidikan Islam anak usia dini.
“Melalui RA Negeri, kita menanam masa depan bangsa dengan nilai-nilai Islam, karakter, dan cinta tanah air,” tutup Dr. Hamzah.






