KALBARSATU.ID – Konflik tentang lingkungan dan sosial menjadi pembahasan alot pada diskusi terbatas yang mengangkat tema “Memahami Kondisi SDA di Kalimantan Barat” yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak bersama Auriga Nusantara dan komunitas NGO-Jurnalis Lingkungan Payung Hijau pada Jumat, (28/8/2020).
Didalam diskusi ini juga hadir jurnalis dari berbagai media di Kalimantan Barat untuk ikut bertukar pendapat dalam isu yang dibahas pada diskusi ini.
Direktur LinkAr Borneo Eko Zanuardi menuturkan yang paling penting adalah bagaimana upaya seluruh untuk ikut memberitakan isu tentang pemfanfaatan sumber daya alam di Kalbar baik dari dampak sosial maupun kondisi lingkungan.
Satu diantara pembahasan yang difokuskan yakni tentang konflik lahan di perkebunan sawit. Sebab berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Kalimantan Barat dari 14,6 juta hektar lahan di Kalbar 4.484.237 hektar merupakan lahan perkebunan sawit yang dinaungi oleh 453 perusahaan.
“Pertanyaannya, ada berapa wilayah kelola masyarakat? Tanpa ada gangguan dari manapun. Sehingga lebih banyak dampak negatif dari pada positif. Setelah kita lakukan advokasi, kita tidak pernah menemukan ada masyarakat yang terdampak positif dengan perkebunan sawit di Kalbar. Pasti ada konflik lahan. Perampasan tanah terus sering terdengar,” jelas Eko Zanuardi.
Selain itu, menurut dia konflik lain juga kerap terjadi seperti pembagian plasma yang tidak sesuai dengan perjanjian awal. Kemudian juga berdampak pada kesejahteraan para pekerja yang dianggap tidak terlaksana dengan baik.
“Buruh bekerja tanpa APD tidak diberikan fasilitas antar jemput dan harus berjalan kaki. Hak cuti melahirkan, haid dll tidak dipastikan saat bekerja sebagai buruh,” ungkapnya.
Tidak hanya dampak sosial, dampak negatif terhadap lingkungan juga terjadi pada perusahaan sawit di Kalbar. Ia mencotohkan seperti kebakaran hutan dan lahan (Karhutlah) yang dirasakan setiap tahun oleh masyarakat Kalbar. Kemudian kasus pembuangan limbah, serta pencemaran sumber air bersih.
“Dengan adanya aktivitas mereka jadi ada banjir. Dan banyak juga yang beroperasi di kawasan hutan tanpa ada izin pelepasan kawasan hutan berlindung dari perubahan SK,” tutur Eko.
Ia menambahkan masih ada perusahaan yang melakukan deforestasi lahan gambut yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Serta melakukan pemantauan melalui satelit yang melihat kawasan hutan yang awalnya masih tertutup kemudian menjadi terbuka.
“Studi advokasi di beberapa daerah banyak sekali dampaknya. Kita sepakat bahwa bagaimana kita berkolaborasi antara CSO dan media untuk menanggapi hal tersebut,” tukas Eko.
Sementara itu, Widya Kartika dari Auriga Nusantara menyatakan pemerintah memiliki rencana membangun 89 proyek strategis nasional (PSN). Dimana proyek infrastruktur dan energi menjadi proyek yang mendominasi.
“Tentu tidak mungkin membiayai dari APBN pasti berusaha untuk investasi kemudian utang baik dari dalam maupun luar negeri,” ungkap Widya Kartika.
Widya mengatakan pemerintah baru saja mengesahkan presisi undang-undang minerba yakni undang-undang nomor 3 tahun 2020 yang dinilai banyak merugikan tenaga kerja dan karyawan. Ia menilai ada beberapa kelemahan yang dapat merugikan beberapa aspek seperti masyarakat dari perspektif lingkungan.
“Padahal tujuan ombinbuslaw secara filosofis memang memberikan ruang yang sangat besar kepada investor dan pemilik modal tanpa melihat dampak lingkungan dan pekerja,” ucapnya.
Kemudian lanjut Widya, satu diantara dampak negatif yang diberikan adalah hak atas akses informasi juga dihilangkan. Selanjutnya publikasi atas izin hanya dipublikasikan secara online dan yang izin yang telah di terbitkan.
“Artinya kita tidak bisa memantau siapa saja yang mau mengajukan permohonan. Intinya kita tidak dapat mengintervensi proses pengajuan izin tersebut,” ucap Widya.
Ia juga menyayangkan banyak perubahan pada undang-undang minerba saat ini yang dianggap lebih berpihak kepada para pemilik modal dan investor. Baik dalam kategori persoalan perizinan perusahaan maupun tentang perluasan wilayah pertambangan.
“Itulah titik kelemahan pada RUU cipta kerja terutama pada undang-undang minerba yang baru seharusnya peraturan itu dibuat untuk mempermudahkan bisnis yang baik dan benar,” tandasnya.
Akademisi dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Doktor Hermansyah juga menilai penghapusan beberapa pasal pada perubahan undang-undang nomor 4 tahun 2009 menjadi undang-undang nomor 3 tahun 2020 mencabut kebebasan untuk masyarakat.
“Ada pasal 165 itu yang dicabut yang artinya ada upaya kriminalisasi terhadap masyarakat. Kekebasan tidak ada pada masyarakat. Saya melihat undang undang ini memberikan ruang kepada penguasa yang luar biasa sementara pada masyarakat sendiri kebebasan yang dijamin oleh konstitusi itu semakin kecil,” bebernya.
Ia juga menyatakan bahwa hingga saat ini sudah ada empat histori undang-undang yang pernah mengatur tentang pertambangan. Sehingga bagi dia, hampir seluruh perundangan-undangan yang mengatur memahami sektor pertambangan dan perkebunan sebagai sumber pembangunan.
“Persoalan SDA ini secara sadar pasti sudah digambarkan sebagai sumber pembagunan. Persepektif kapitalisme sudah tergambar. Sehingga tidak pernah ada dampak eksploitatif yang tidak pernah berubah,” pungkas Hermansyah.(Ed)