Daerah

Dinilai Bukan Langkah Tepat, GMNI Kalbar Tolak Wacana Pembangunan PLTN di Bengkayang

×

Dinilai Bukan Langkah Tepat, GMNI Kalbar Tolak Wacana Pembangunan PLTN di Bengkayang

Sebarkan artikel ini
DPD GMNI Kalbar Minta PPKM Darurat Tak Diteruskan
Ketua DPD GMNI Kalimantan Barat, Anselmus Ersandy Santoso

PONTIANAK, KALBAR SATU – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kalimantan Barat menolak wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Kata Ketua DPD GMNI Kalbar, Anselmus Ersandy Santoso, Penolakan tersebut didasari oleh beberapa alasan yang berkaitan dengan kemanusiaan, lingkungan dan keberlangsungan Bangsa Indonesia kedepannya.

Alasan Penolakan

Lebih lanjut ia membeberkan alasan tersebut. Pertama Energi Nuklir bukanlah sumber energi terbarukan. Data dari Batan mengatakan bahwa terdapat 81.090 Ton sumber daya Uranium di Indonesia yang tentunya suatu saat akan habis. Maka energi nuklir tidak bisa menjadikan Indonesia berdaulat secara energi, memiliki kemandirian energi, dan ketahanan energi nasional.

Kedua, Biaya pembangunan PLTN sangat mahal. Anggota Dewan Energi Nuklir Nasional Herman Darnel Ibrahim menilai investasi PLTN sangat besar daripada Energi Terbarukan. PLTN membutuhkan dana 500 Triliun.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengatakan pembangunan pembangkit nuklir belum memiliki kelayakan teknis, ekonomi, dan pasar di Indonesia.

Pembangkit nuklir hanya akan menjadi solusi jangka pendek untuk Indonesia. PLTN pertama Indonesia dirancang 1980-1990-an di Tanjung Muria, Jawa Tengah. Targetnya memenuhi kebutuhan listrik Jawa.

Baca Juga: DPD GMNI Kalbar Minta PPKM Darurat Tak Diteruskan

Baca Juga: Nilai Matikan Ekonomi Masyarakat Kecil, GMNI Pontianak Minta Pemkot Evaluasi PPKM Darurat

Rancangan menghabiskan dana negara sampai 20 juta dollar AS. Uni Emirat Arab mengeluarkan 20,4 miliar dollar AS untuk membangun empat PLTN, masing-masing 1.400 MW, belum termasuk biaya persiapan lokasi, pengawasan pembangunan, dan bunga selama pembangunan.

Semua data tersebut menunjukkan bahwa pembangunan PLTN membutuhkan dana yang besar dan belum dapat dipastikan berapa biaya yang akan dikeluarkan.

Ketiga, Dampak sosial dan lingkungan PLTN apabila dibangun di Bengkayang akan sangat besar. Wilayah yang menjadi tempat pembangunan PLTN dan wilayah yang akan menjadi galian uranium apabila itu adalah lahan produksi masyarakat, maka masyarakat akan kehilangan lahan produksinya untuk mencari nafkah kehidupan.

Kemudian PLTN tidak akan memberikan banyak peluang kerja, karena PLTN merupakan teknologi canggih yang membutuhkan pekerja yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang energi nuklir. Maka sumber daya manusia (SDM) lokal tidak akan banyak mendapatkan manfaat di bidang lapangan pekerjaan.

Keempat, Dampak PLTN terhadap lingkungan juga besar. Pertama proses untuk menggali uranium dan pada saat pembangunan pembakit listrik itu sendiri mengeluarkan karbon dioksida.

Pada akhirnya, pembuangan limbah radioaktf juga mengakibatkan emisi karbon dioksida. PLTN juga mengeluarkan radiasi ke lingkungan sekitar yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat sekitar.

Dampak masyarakat yang terpapar radiasi bisa saja hancurnya sel-sel tubuh, kanker, gangguan tumbuh kembang anak, kerusakan jaringan kulit bahkan kerusakan DNA. Kemudian limbah radioaktif masih akan aktif sampai ratusan hingga ribuan tahun mendatang dan hingga hari ini belum ada solusi untuk mengatasi limbah radioaktif.

Pada penggunaan tenaga nuklir, sistem kondensor mereka membuang energi panas. Beberapa PLTN, mengunakan cooling towers atau menggunakan air seperti danau dan sungai alami, penggunaan metode ini dapat menggangu ekosistem air.

Kelima, Indonesia sebagai negara yang terletak di ring of fire dan Pacific Rim, sangat rentan terhadap potensi bencana alam mulai dari gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, dan lain-lain. Kalimantan Barat telah diguncang gempa beberapa kali.

Pertama gempa berkekuatan 4,4 Skala Richter (SR) mengguncang wilayah Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang pada 23 Agustus 2011.

Kemudian terjadi gempa susulan lagi di Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang pada tanggal 24 Agustus 2011, berkekuatan 4.6 Skala Richter (SR) yang dirasakan juga di Mempawah, Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas dan Kabupaten Landak.

Kemudian pada tanggal 14 Mei 2015 telah terjadi guncangan gempa yang terjadi dua kali di wilayah pesisir Bengkayang di sekitar kawasan Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Raya Kepulauan, berkekuatan 4,6 SR. Di Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang pada 24 Juni 2016 terjadi gempa dengan kekuatan 5,1 Magnitudo.

Kemudian pada tanggal 17 Maret 2019, gempa berkekuatan 3,1 Magnitudo menggoncang Kabupaten Sintang. Ketiga pada 22 Februari 2020, gempa berkekuatan 3,5 Magnitudo menggoncang wilayah Ketungau Hilir, Kabupaten Sintang.

Data ini menunjukkan bahwa Kalimantan Barat bukanlah wilayah yang aman untuk didirikan PLTN, apalagi Kabupaten Bengkayang sendiri pernah diguncang gempa lebih dari sekali.

Keenam, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah pembangkit listrik yang tidak aman dan tidak inherent safety atau inherently safer (proses adalah suatu konsep pendekatan terhadap sistem keselamatan yang berfokus pada usaha untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang berhubungan dengan satu rangkaian kondisi proses).

Kita harus melihat contoh kasus yang ada di luar negeri seperti yang terjadi di Fukushima (2011), Kashiwazaki Kariwa (2007), Forsmark-Swedia (2006), Chernobyl (1986) dan Three Mile Island (1979).

Semua kasus itu bukti bahwa PLTN adalah teknologi yang sangat rentan terhadap kombinasi yang mematikan mulai dari kesalahan manusia (Chernobyl), kegagalan rancang bangun (Three Mile Island), sampai bencana alam yang tak pernah bisa kita prediksi (Fukushima).

Kita perlu belajar dan melihat dari semua kasus PLTN dari negara luar, bahwa tingkat kerentanan masalah dan resikonya sangat tinggi.

Ketua DPD GMNI Kalimantan Barat menambahkan, bahwa energi nuklir bukanlah jawaban atau solusi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara energi, memiliki kemandirian energi, dan ketahanan energi nasional karena nuklir bukan energi terbarukan.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir merupakan proyek yang memerlukan dana yang cukup besar, sedangkan utang Indonesia sampai pada Mei 2021 mencapai Rp 6.418,15 triliun rupiah dan sedang dalam masa krisis menghadapi Covid-19, keadaan ini tidak memungkinkan untuk melakukan pembangunan yang bersifat tidak urgent, tidak memiliki manfaat jangka panjang, tidak efektif dan efisien bagi negara.

PLTN juga memberi banyak dampak negative terhadap sosial masyarakat dan lingkungan. Di tambah lagi Indonesia adalah negara yang terletak di ring of fire dan Pacific Rim, sangat rentan terhadap potensi bencana alam, bahkan Kalimantan Barat telah mengalami gempa beberapa kali termasuk di wilayah Bengkayang.

Apabila kita melihat negara-negara yang pernah bermasalahan dengan tenaga nuklir nya maka PLTN bukan pembangkit listrik yang aman atau inherent safety.

“PLTN sangat rentan terhadap kesalahan manusia, kegagalan rancangan bangun dan bencana alam yang tidak bisa diprediksi. Maka dapat kita katakan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir bukanlah sebuah solusi yang dapat menyelesaikan berbagai masalah dengan minim dampak negatif.”

“Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir bukanlah langkah yang tepat.” Ujar Anselmus Ersandy Santoso, Ketua DPD GMNI Kalimantan Barat.

DPD GMNI Kalimantan Barat juga memberi rekomendasi pemerintah untuk mengembangkan sumber energy listrik lain selain nuklir. GMNI merekomendasikan pemerintah untuk utamakan penggunaan energi baru terbarukan yang tentunya aman, ramah lingkungan dan jangka panjang.

Indonesia memiliki banyak potensi sumber energi baru terbarukan, contohnya adalah energi surya, energi air, energi angin, energi panas bumi, mikrohidro dan biomassa.

Berdasarkan data dari Geo Dipa Energi 2017, Indonesia menduduki peringkat kedua memiliki energi panas bumi tertinggi didunia setelah Amerika, ini dapat dijadikan peluang pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi.

Indonesia berlimpah energi air seperti air terjun dan deras arus laut yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan Hydro Power, Pembangkit Listrik Tenaga Air atau Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut.

Kemudian Indonesia bisa mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, yang perawatannya relatif mudah dan umur komponen yang panjang dapat digunakan hingga 25 tahun. Kemudian Indonesia juga bisa mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau menggunakan angin sebagai sumber energi terbarukan.

“Melihat dari berbagai macam potensi sumber energy baru terbarukan di Indonesia, apabila pemerintah fokus dan konsisten melakukan pembangunan dan pengembangan pembangkit listrik menggunakan energi baru terbarukan, maka suatu saat Indonesia bisa menjadi negara yang modern, berdaulat di bidang energi dan berwawasan lingkungan,” tutupnya.