KALBARSATU.ID – Isu radikalisme di tengah pandemi mulai banyak dibahas di tingkat nasional dan global. Dampak ekonomi dan sosial dari pandemi diperkirakan akan menciptakan krisis di masyarakat. Banyak usaha mengalami penurunan penghasilan hingga gulung tikar, sehingga perusahaan mengambil langkah PHK terhadap karyawan.
Jumlah kemiskinan di Indonesia, diperkirakan meningkat pada tahun 2020 antara 9,7 – 12,4% atau setara 1,3 juta hingga 8,5 juta jiwa. Situasi ini tentu akan berdampak pada kesejahteraan sosial masyarakat dan dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok dengan paham radikalisme yang ingin memecah-belah persatuan bangsa.
Melihat situasi itu Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu kebhinnekaan, perdamaian dan demokrasi menggelar diskusi daring (online) bertajuk Menangkal Ancaman Radikalisme di tengah Pandemi Covid-19 Pontianak, (20/5/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diskusi tersebut dipandu oleh Dian Lestari dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan menghadirkan narasumber dari wakil Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Iskandar, Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalbar Dr. Wajidi, dan peneliti dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Deka Anwar serta Wakil Walikota Pontianak, Bahasan.
“Meski ancaman radikalisme masih minim di Kalimantan Barat, khususnya Pontianak, kita tidak boleh lengah. Apalagi di masa pandemi ini dimana berita bohong (hoaks) dan siar kebencian banyak beredar,” sebut Bahasan Wakil Walikota Pontianak melalui diskusi daring tersebut.
Bahasan juga mengatakan koordinasi dan sosialisasi pemahaman tentang upaya persatuan dan kesatuan harus terus dipupuk dari sisi agama dan sisi budaya yang berbeda-beda.
“Perlu pemerataan pembangunan untuk mengakomodir kesenjangan anak muda di dalam lapangan pekerjaan dan kesejahteraan,” katanya.
Sementara anggota FKUB salah satu narasumber diskusi daring, Iskandar mengatakan mawas pada pontensi perpecahan bangsa secara khusus harus digarisbawahi.
“Kita lihat akhir-akhir ini banyak berita-berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan yang disebarkan kepada orang-orang lain. Ini menjadi sebuah masalah yang harus kita tangani bersama. Jangan cepat mengambil kesimpulan terhadap berita-berita yang belum ada kebenarannya,” ujarnya.
Selain itu Deka Anwar mengatakan bahwa hasil penelitian IPAC mengkonfirmasi berkembangan radikalisme di tengah wabah Covid-19 di Indonesia, khususnya terkait dengan jaringan terorisme dan serangan yang diarahkan kepada kepolisian, serta meningkatnya sentimen negatif pada etnis Tionghoa.
“Potensi radikalisme berbasis agama di Kalbar lebih rendah dari daerah lain, misalnya Banten atau Poso. ketegangan yang tampak di sini lebih berbasis etnis dan intensitasnya kerap meningkat pada momen tertentu, misalnya pilkada,” imbuhnya.
Sedangkan ketua FKPT Dr. Wajidi mengatakan potensi radikalisme itu ada, namun untuk wilayah-wilayah yang terbatas khususnya Kota Pontianak, masih belum ada. Menurutnya untuk mengatasi persoalan terkait radikalisasi dan ketegangan antar kelompok masyarakat anak muda perlu mendapatkan perhatian khusus.
“Untuk menyikapi ini FKPT memiliki program khusus untuk anak muda, termasuk melalui kompetisi video dan mengembangkan konsep Rumah Kebangsaan. Peran tokoh dan lembaga agama dalam melakukan pendekatan dan dialog dengan anak muda juga menjadi langkah penting untuk mengatasi hal ini, antara lain melalui peran FKUB,” tuturnya.
Kemudian ketua panitia diskusi tersebut, Lulu Musyarofah berharap melalui dialog yang diadakan SAKA ini anak muda di Pontianak akan lebih tergerak untuk turut menangkal radikalisme atas dasar apa pun di masa pandemi dan terus merawat kebhinnekaan di Indonesia, khususnya Pontianak.
“Dialog ini menutup rangkaian kegiatan memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Sebelumnya SAKA juga menggelar dialog antar Organisasi Masyarakat Sipil (16/05) dan diskusi mengenai Persoalan dan Peran Perempuan di masa Pandemi (18/05),” katanya.