KALBARSATU.ID – Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan edaran terkait tuntunan shalat Idul Fitri di masa pandemi Covid-19.
Adapun isi dari surat edaran yang ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pada Kamis, 14 Mei 2020 tersebut mengimbau agar shalat Idul Fitri dilakukan di rumah masing-masing.
Hal itu apabila pada 1 Syawal nanti Indonesia belum terbebas dari Covid-19 dan belum dinyatakan aman oleh pihak berwenang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Imbauan tersebut dikeluarkan guna memutus rantai penyebaran virus corona dan sebagai tindakan pencegahan agar tidak terjadi situasi yang lebih buruk.
Berikut isi urat edaran tersebut selengkapnya:
Hukum shalat Idul Fitri
Dalam surat edaran tersebut tertulis bahwa hukum shalat Idul Fitri ialah sunah muakad, artinya tidak ada sanksi khusus bagi orang yang meninggalkannya.
Hal itu dikarenakan, shalat wajib hanyalah shalat lima waktu sebagaimana ditegaskan dalam sejumlah hadis.
Shalat Idul Fitri sendiri dapat dikerjakan di lapangan dengan dua rakaat.
Pelaksanaan shalat Idul Fitri dilakukan dengan khotbah, tanpa adanya azan dan iqamat. Juga tidak ada shalat sunah sebelum maupun sesudahnya.
Hal itu sebagaimana diatur dalam hadis-hadis sebagai berikut.
Hadis Abu Sa’id:
Dari Abu Saʻid al-Khudri r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Rasulullah SAW keluar ke lapangan tempat shalat (muṣhala) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, lalu hal pertama yang dilakukannya adalah shalat, kemudian ia berangkat dan berdiri menghadap jemaah, sementara jemaah tetap duduk pada saf masing-masing, lalu Rasulullah menyampaikan wejangan, pesan, dan beberapa perintah.” (HR. al-Bukhari).
Hadis Ahmad dan An-Nasa’i:
Dari Jabir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Saya mengikuti shalat bersama Rasulullah di suatu hari Id. Beliau memulai shalat sebelum khotbah, tanpa azan dan tanpa iqamat.” (Hadis sahih, riwayat Ahmad dan an-Nasa’i).
Hadis Ibn ‘Abbas:
Dari Ibn ‘Abbas (diriwayatkan bahwa): “Nabi SAW shalat Id pada hari Id dua rakaat tanpa melakukan shalat lain sebelum dan sesudahnya.” (HR tujuh ahli hadis, dan lafal di atas adalah lafal al-Bukhari).
Jika pandemi masih ada, bagaimana?
Apabila pada 1 Syawal 1441 H nanti Indonesia belum dinyatakan bebas dari pandemi Covid-19 dan aman untuk berkumpul orang banyak, maka shalat Idul Fitri di lapangan sebaiknya ditiadakan atau tidak dilaksanakan.
Hal itu untuk memutus rantai persebaran virus corona dan dalam rangka sadduz-zari’ah (tindakan preventif).
Oleh sebab itu, shalat Idul Fitri bagi yang menghendaki dapat dilakukan di rumah masing-masing bersama anggota keluarga dengan cara yang sama seperti shalat Idul Fitri di lapangan.
Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena shalat Idul Fitri adalah ibadah sunah.
Muhammadiyah menyebutkan, tak ada ancaman bagi seseorang yang tidak melaksanakannya karena shalat Idul Fitri merupakan ibadah sunah.
Dalam hal ini, ibadah sunah adalah suatu amal ibadah yang jika dilakukan akan mendapat pahala, tapi tak ada dosa bagi siapa pun yang meninggalkannya.
Hal itu didasari atas surat Al Baqarah ayat 286 yang menyebut bahwa seorang Muslim tidak dibebani, kecuali sejauh kadar kemampuanya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari juga menyebutkan, Idul Fitri merupakan hari raya umat Islam yang dirayakan dengan shalat, sehingga orang yang tidak dapat mengerjakannya sebagaimana mestinya, yaitu di lapangan, dapat mengerjakannya di rumah.
Al Bukhari menyebutkan bahwa sahabat Anas Ibn Malik mempraktikkan seperti ini di mana ia memerintahkan keluarganya untuk ikut bersamanya shalat Idul Fitri di rumah mereka di az-Zawiyah (kampung jauh di luar kota).
Tak selalu hal yang masyruk
Bahwa suatu aktivitas yang tidak diperbuat oleh Nabi SAW tidak selalu merupakan hal yang tidak masyruk (tidak disyariatkan).
Tidak berbuat Nabi SAW itu bisa merupakan sunah, yang oleh karenanya tidak boleh disimpangi, dan bisa pula tidak merupakan sunah sehingga dapat dilakukan.
Misalnya Nabi SAW tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan (tarawih) dan salat malam di luar Ramadan (tahajud) lebih dari 11 rakaat seperti diriwayatkan oleh ‘Aisyah sebagaimana dicatat dalam dua kitab sahih.
Di sana ada keperluan untuk melakukan lebih dari 11 rakaat, yaitu meningkatkan dan memperbanyak ibadah, karena Nabi SAW memerintahkan perbanyaklah sujud, yang berarti perbanyak rakaat shalat sunah termasuk shalat tarawih.
Juga tidak ada halangan Nabi untuk mengerjakannya. Namun demikian beliau tidak melakukannya. Maka tidak berbuat Nabi SAW seperti ini merupakan sebuah sunah, yakni sunah tarkiah.
Oleh karenanya, menurut Majelis Tarjih, apabila dikerjakan juga, maka tidak masyruk.
Tak membuat suatu jenis ibadah baru
Pelaksanaan shalat Idul Fitri di rumah tidak membuat suatu jenis ibadah baru. Shalat Idul Fitri ditetapkan oleh Nabi SAW melalui sunahnya.
Salat Idul Fitri yang dikerjakan di rumah adalah seperti shalat yang ditetapkan dalam sunah Nabi SAW. Hanya tempatnya dialihkan ke rumah karena pelaksanaan di tempat yang semestinya, yaitu di lapangan yang melibatkan konsentrasi orang banyak, tidak dapat dilakukan.
Juga tidak dialihkan ke masjid karena halangannya adalah ketidakmungkinan berkumpulnya orang banyak di suatu tempat.
Karena terhalang di tempat yang semestinya, yakni di lapangan, maka dialihkan ke tempat di mana mungkin dilakukan, yakni di rumah.
Dengan meniadakan shalat Idul Fitri di lapangan maupun di masjid karena adanya ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama.
Ketika dibolehkan shalat Idul Fitri di rumah bagi yang menghendakinya, pertimbangannya adalah melaksanakannya dengan cara lain yang tidak biasa, yaitu dilaksanakan di rumah.
Selain mempertimbangkan keadaan, shalat Idul Fitri juga memperhatikan perwujudan kemaslahatan manusia (ri’ayat al-masalih), berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda.
Dalam pandangan Islam, perlidungan diri (jiwa dan raga) sangat penting sebagaimana Allah menegaskan dalam Al-Quran:
“Barangsiapa mempertahankan hidup satu manusia, seolah ia memberi hidup kepada semua manusia,” (QS al-Maidah ayat 32). Berita ini dilansir dari Kompas.com.(**)