Nasional

GMNI Beri Rekomendasi Kebijakan Soal UMKM Dalam UU Cipta Kerja

×

GMNI Beri Rekomendasi Kebijakan Soal UMKM Dalam UU Cipta Kerja

Sebarkan artikel ini
GMNI
Ilustrasi/bendera GMNI

KALBARSATU.ID – Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) kembali melakukan kajian atas dokumen UU Cipta Kerja yang dikeluarkan oleh Baleg DPR RI.

Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menilai positif regulasi soal UMKM dalam UU Cipta Kerja. Menurut Arjuna, prioritas pemerintah pada isu legalitas dan pemberdayaan UMKM dinilai sudah tepat karena salah satu kendala yang membuat UMKM tidak berkembang karena faktor legalitas yang membuat mereka tidak memperoleh akses keuangan dan dukungan pemberdayaan dari Pemerintah yang relatif kurang.

“Saya kira kita harus objektif, bab soal UMKM dalam UU Ciptaker yang memuat soal basis data tunggal, pengelolaan terpadu, kemitraan, kemudahan izin serta insentif fiskal dan pembiyaan hingga adanya dana alokasi khusus dan pencatatan keuangan untuk UMKM sangat berdampak positif. Karena fenomena informalitas dan ilegalitas UMKM harus dijawab melalui pembentukan kebijakan publik yang bisa mengembangkan UMKM itu sendiri,” papar Arjuna.

Namun GMNI mengusulkan sejumlah rekomendasi kebijakan untuk memperkuat pemberdayaan terhadap UMKM. Sehingga UMKM dapat berkembang dan bersaing secara global di era digital dan keterbukaan informasi saat ini. Untuk itu, GMNI merekomendasikan, pertama, pemerintah harus memberikan jaminan akses pembiayaan yang aman dan adil bagi pelaku UMKM.

“Program pembiayaan yang seringkali diberikan kepada UMKM masih relatif berbunga tinggi dan beresiko berdasarkan perspektif pelaku UMKM. Maka jaminan akses atas pembiayaan yang adil dan aman perlu diatur dalam peraturan turunan,” jelas Arjuna.

Kedua, perlu ada fasilitas pendampingan dari pemerintah agar UMKM dapat mengakses basis data tunggal dari Online Single Submission (OSS). Dan yang tak kalah penting mekanisme basis data tunggal harus disusun sesederhana mungkin dan memudahkan UMKM untuk mengakses, sesuai alam pikir dan karakteristik UMKM.

“Fasilitas pendampingan perlu disediakan oleh pemerintah agar UMKM bisa mengakses basis data tunggal. Dan mekanismenya diatur sesederhana mungkin, tidak perlu terlalu birokratis, karena tujuannya menyederhanakan bukan malah merumitkan. Harus memudahkan, sesuai karakteristik UMKM,” tambah Arjuna.

Ketiga, pemerintah harus memastikan kemitraan yang dilakukan dengan UMKM harus bersifat economy sharing, menghindari pola eksploitatif. Artinya perlu ada pertauran turunan yang mengatur tentang mekanisme kontrol kemitraan agar usaha besar tidak melakukan pola-pola eksploitatif terhadap usaha kecil.

“Perlu ada peraturan teknis untuk memastikan kemitraan yang dilakukan UMKM betul-betul kemitraan, berbasis economy sharing. Bukan pola hubungan dependensi yang menjadikan UMKM kita sekedar periferi dengan sebutan ‘mitra usaha’ dari pelaku usaha besar. Relasi ini penting diatur ditengah globalisasi ekonomi dan keuangan,” tutur Arjuna.

Keempat, GMNI mengusulkan perlu adanya sistem asuransi bagi UMKM yang mengalami kegagalan usaha. Sistem asuransi dibutuhkan apabila UMKM mengalami kendala karena faktor krisis ekonomi, masalah iklim/gagal panen bagi UMKM pertanian dan anjloknya harga komoditas global yang bisa membangkrutkan usaha UMKM. Sistem asuransi untuk UMKM menurut Arjuna sangatlah penting agar UMKM tidak mengalami kebangkrutan permanen akibat faktor eksternal yang dialami UMKM.

“Peraturan turunan selanjutnya perlu memuat sistem asuransi bagi UMKM. Ini penting agar UMKM tidak mengalami kebangkrutan permanen ketika terjadi krisis ekonomi dan problem lainnya. Sistem asuransi ini bersifat antisipatif, jaring pengaman bagi UMKM,” tambah Arjuna

Terakhir, GMNI juga mengusulkan pemerintah perlu menyediakan fasilitas pendampingan dan bantuan hukum bagi pelaku UMKM yang mencakup mulai dari perizinan, perluasan bentuk usaha, menjalin hubungan kemitraan, hingga penyelesaian sengketa. Karena menurut Arjuna, fasilitas pendampingan yang selama ini disediakan hanya berujung pada pendataan dan sangat sedikit ditemukan pendampingan yang menjangkau pada pembinaan untuk peningkatan kualitas usaha.

“Ke depan paling tidak harus ada kebijakan turunan yang berkaitan dengan fasilitas pendampingan dan bantuan hukum, bisa dimulai dari penyebarluasan program literasi dan mentoring hukum yang berkaitan dengan perizinan dan kontrak yang sering dihadapi oleh pelaku UMKM hingga pada ranah perluasan bentuk usaha, menjalin hubungan kemitraan, hingga penyelesaian sengketa. Sehingga membantu kinerja dan kualitas usaha UMKM,” tutup Arjuna.(*)