News

Indonesia Perlu Tetapkan EKB sebagai Critical Natural Capital

×

Indonesia Perlu Tetapkan EKB sebagai Critical Natural Capital

Sebarkan artikel ini
Caption Fop: Mas Achmad Santosa memaparkan materi terkait 'Kebijakan dan Kerangka Hukum Blue Carbon di Indonesia' dalam Konferensi Nasional EFT III, Senin (14/11/2022).
Mas Achmad Santosa memaparkan materi terkait 'Kebijakan dan Kerangka Hukum Blue Carbon di Indonesia' dalam Konferensi Nasional EFT III, Senin (14/11/2022).

KALBAR SATU ID, YOGYAKARTA – Indonesia perlu menetapkan Blue Carbon atau karbon biru sebagai Critical Natural Capital atau modal alami yang penting, guna memastikan pembangunan berkelanjutan ekosistem karbon biru (EKB) di tanah air benar-benar terealisasi dengan baik.

EKB merupakan solusi berbasis alam untuk ekosistem pesisir dan laut guna mengatasi ancaman dari perusakan oleh manusia dengan menggunakan standar dan metodologi yang solid dan dapat diterima. EKB saat ini dikaitkan dengan ekosistem mangrove, padang lamun dan rawa payau.

Hal itu disampaikan CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa dalam seminar Konferensi Nasional Ecological Fiscal Transfer (EFT) III, hari pertama, Senin (14/11/2022). Pada kesempatan itu, Achmad Santosa memaparkan materi terkait ‘Kebijakan dan Kerangka Hukum Blue Karbon di Indonesia’.

“Kalau ekosistem karbon biru tidak dikategorikan sebagai Natural Capital yang Critical itu akan sulit, akan dikalahkan proyek strategis nasional, kawasan strategis nasional. Tidak ada ruginya pemerintah untuk menetapkan itu, karena itu bukan romantika konservasionis, juga pemerintah tidak mengeluarkan biaya/cost yang terlalu besar,” kata Achmad Santosa.

Indonesia saat ini tercatat memiliki ekosistem karbon biru, termasuk mangrove dan padang lamun, terluas serta terbesar di dunia. Padang lamun sendiri di Indonesia belum populer seperti mangrove karena datanya yang terbatas, namun saat sudah mulai berkembang dan belum di publish.

“Pada saat kita punya kekayaan natural capital yaitu ekosistem karbon biru, apakah pemerintah siap untuk melindungi EKB baik untuk kepentingan mitigasi perubahan iklim, atau kepentingan untuk mencegah climate disaster, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena di Indonesia hampir tidak ada ekosistem mangrove yang tidak ada masyarakatnya,” tuturnya.

Terlepas dari berbagai tantangan yang cukup kompleks dalam pengelolaan EKB, Mas Achmad Santosa mengajak semua kalangan mulai dari pemerintah, masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau koalisi masyarakat sipil (KMS) untuk bersama-sama memanfaatkan dan mengambil peluang EKB di Indonesia.

“Karbon itu hak dari negara, artinya benefit sharing dibolehkan dari masyarakat. Artinya masyarakat berhak mendapatkan manfaat, apalagi masyarakat yang menjaga karbon itu, yang melakukan konservasi karbon itu, tetapi harus dengan izin pemerintah. Saya kira proyek-proyek yang community based ini penting untuk dilakukan praktek-praktek,” jelas Achmad Santosa.

Lebih lanjut ia menjelaskan beberapa rekomendasi terkait pendanaan karbon biru. Diantaranya, mengakselerasi penggunaan sumber-sumber pendanaan baik publik atau privat, memberdayakan masyarakat, menggunakan pendekatan saintifik memberikan asistensi bantuan teknis.