KALBAR SATU ID – Desa Dabong di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, menjadi salah satu contoh nyata perpaduan antara konservasi lingkungan dan pengembangan ekonomi masyarakat. Hutan Desa Dabong yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Dabong berdasarkan SK.3820/MenLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/7/2017 seluas ±2.869 hektare, didominasi oleh ekosistem Hutan Mangrove.
Keberadaan mangrove ini memiliki peran penting, mulai dari melindungi garis pantai dari abrasi, menjadi habitat biota laut dan pesisir, hingga berfungsi sebagai penyerap karbon yang efektif.
Tidak hanya menyimpan nilai konservasi, kawasan Hutan Desa Dabong juga memiliki potensi ekonomi, khususnya di sektor pertambakan udang. Melihat peluang ini, SAMPAN Kalimantan bersama Carbon Ethics dan didukung FisTx melaksanakan program bantuan bibit udang vaname kepada masyarakat.
Sebanyak 458.000 ekor benur ukuran PL 8 disalurkan kepada tiga petambak setempat sebagai penerima manfaat.
Kegiatan penyaluran berlangsung pada Selasa, 16 September 2025 di Desa Dabong. Program ini menerapkan pendekatan Silvofishery, sistem budidaya perikanan yang terintegrasi dengan penanaman serta konservasi hutan mangrove. Dengan model ini, tambak tidak hanya diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga menjaga kelestarian ekosistem.
Melalui langkah ini, Desa Dabong diharapkan menjadi contoh bagaimana pembangunan ekonomi masyarakat dapat berjalan seiring dengan upaya konservasi lingkungan dalam satu ekosistem yang berkelanjutan.
Dalam wawancara eksklusif, CEO Carbon Ethics, Bimo Soewadji, menegaskan pentingnya pelaksanaan program ini.
“Kami dari Carbon Ethics sangat senang karena berhasil mencapai timeline yang sudah direncanakan, yaitu melakukan penebaran benur udang vaname di tiga tambak program. Dalam 3 sampai 4 bulan ke depan, kita akan melihat hasil dari pelaksanaan program ini,” ujar Bimo pada pada Selasa, 16 September 2025.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Desa Dabong masuk dalam buffer zone Delta Kapuas Project, sehingga jika pelaksanaan program berjalan baik, model ini akan direplikasi ke petambak lain.
“Skemanya adalah bagi hasil, dan yang paling penting, program ini bisa membantu masyarakat dalam hal pendanaan, khususnya modal awal untuk perbaikan tambak serta penyediaan benur. Harapan kami, pelaksanaan program ini sukses sehingga bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitar maupun pemerintah, serta dapat diperluas ke tambak-tambak lainnya,” tambahnya.
Sementara itu, Beni Putra Ramadani, asisten proyek kerja sama Sampan Kalimantan dan Carbon Ethics, menjelaskan aspek teknis sekaligus tujuan sosial program.
“Kami berada di salah satu lokasi pengembangan optimalisasi eks-tambak, yang sebelumnya tidak aktif dan sekarang sedang diupayakan agar kembali berfungsi. Tujuan program ini adalah memperkuat resiliensi masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim. Karena itu, dilakukan tahapan pengapuran dasar, pengendalian hama, pemupukan, hingga pengecekan kualitas air secara berkala. Udang vaname ini rentan stres terhadap perubahan cuaca, suhu, salinitas, dan pH, sehingga pengelolaan kualitas air menjadi kunci keberhasilan,” jelas Beni.
Ia menambahkan bahwa di Dabong, pihaknya mendorong pengembangan model tambak tradisional plus.
“Harapannya, program pendampingan ini bisa membantu masyarakat meningkatkan nilai ekonomi, mengoptimalkan potensi lokal, serta mendorong perbaikan lingkungan dan pemberdayaan secara berkelanjutan. Dengan begitu, hasilnya tidak hanya meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga berkontribusi pada penurunan emisi dan penguatan resiliensi masyarakat,” tutupnya.
Dari sisi penerima manfaat, para petambak menyambut baik inisiatif ini.
Salah satunya adalah A. Rahim, salah seorang petambak penerima bantuan benur.
“Terima kasih atas kerja samanya, mudah-mudahan kegiatan ini bisa berkelanjutan. Selama ini kami sudah mengelola tambak lebih dari 20 tahun, tetapi belum pernah mendapatkan hasil yang memuaskan. Kami berharap melalui kerja sama ini ada ilmu baru yang bisa kami pelajari, terutama tentang cara pengapuran dan pencegahan racun, karena selama ini kami hanya mengandalkan pengalaman sendiri,” ungkapnya.
Rahim juga menjelaskan proses rehabilitasi tambak yang ia lakukan bersama tim kecil beranggotakan empat orang.
“Proses biasanya dimulai dengan rehabilitasi tambak, lalu dikapur tohor selama satu bulan. Setelah itu dilakukan peracunan ramah lingkungan untuk membersihkan hama, air ditahan sebentar lalu dibuang. Setelah bersih, barulah tambak diberikan kapur gromet. Itu semua butuh kerja sama tim,” jelasnya.
Ia menambahkan, keberlanjutan program ini sangat diharapkan karena menyangkut masa depan ekonomi keluarga dan masyarakat desa.
“Kami berharap program ini jangan sampai berhenti di sini saja, tapi bisa terus berjalan. Karena selain membantu kami dalam permodalan dan bibit, program ini juga memberi semangat baru. Kami ingin hasilnya nanti bisa membawa manfaat bukan hanya untuk kami sebagai petambak, tetapi juga untuk desa Dabong secara keseluruhan,” tutur Pak Rahim.
Bagi Pak Rahim, pelaksanaan program ini menjadi titik awal yang membangkitkan optimisme baru. Dukungan ilmu, pendampingan, dan kerja sama dianggap sebagai kunci yang akan membawa perubahan nyata dibandingkan cara tradisional yang selama ini dijalankan.
Sebagai informasi, tiga petambak penerima bantuan bibit udang vaname ini adalah Pak Junaidi, Pak Hatta, dan Pak A. Rahim. Mereka kini menjadi pionir dalam pelaksanaan program pengelolaan tambak berkelanjutan di Desa Dabong, yang diharapkan dapat memperkuat ekonomi masyarakat sekaligus menjaga kelestarian mangrove.