Kritik Keras PMKRI Sungai Raya terhadap Transmigrasi: “Kami Tolak Kebijakan yang Buta Realitas”

Kritik Keras PMKRI Sungai Raya terhadap Transmigrasi: "Kami Tolak Kebijakan yang Buta Realitas"
Kritik Keras PMKRI Sungai Raya terhadap Transmigrasi: "Kami Tolak Kebijakan yang Buta Realitas". Foto/istimewa.

KALBAR SATU ID – Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Sungai Raya menyatakan penolakan terhadap rencana pemerintah pusat untuk mengaktifkan kembali program transmigrasi ke Kalimantan Barat.

PMKRI menilai kebijakan ini tidak berpijak pada kondisi daerah dan berisiko menimbulkan ketimpangan sosial, tekanan ekonomi, dan kerusakan lingkungan.

Bacaan Lainnya

“Kami tidak menolak manusia, tapi menolak kebijakan yang buta terhadap kenyataan. Kalimantan bukan ruang kosong, tapi rumah kami yang belum selesai dibenahi,” ujar Viamney Wini, Ketua Presidium PMKRI Sungai Raya, dalam keterangannya, Kamis (10/07/25).

Baca juga: PA GMNI Pontianak Launching Pojok Pemikiran Bung Karno di Perpustakaan Daerah Provinsi Kalbar

Data BPS Kalbar 2025 mencatat bahwa dari 2.157 desa dan kelurahan, sekitar 42% belum memiliki fasilitas kesehatan dasar. Di beberapa wilayah, seperti Kubu Raya dan Kapuas Hulu, warga masih bergantung pada air hujan dan sungai untuk kebutuhan minum.

Dalam hal pendidikan, hanya 1.666 desa memiliki SD, dan lebih sedikit lagi yang memiliki SMP atau SMA. Akses jalan dan sanitasi dasar pun masih terbatas di banyak daerah.

PMKRI juga menyoroti sektor ketenagakerjaan. Salah satunya PT WHW Ketapang yang mempekerjakan sekitar 3.500 orang, dengan kurang lebih 3.200 tenaga kerja Indonesia. Namun, sebagian posisi masih diisi oleh tenaga kerja dari luar Kalimantan, sehingga PMKRI mendorong prioritas pelatihan dan promosi jabatan bagi warga lokal Kalbar.

Kondisi ekologis Kalbar juga mengkhawatirkan. Hingga Mei 2025, provinsi ini menjadi daerah dengan jumlah titik panas terbanyak secara nasional, dengan sekitar 400 hektare lahan terbakar, termasuk 100 hektare di kawasan gambut yang sangat rentan. Alih fungsi hutan untuk sawit dan tambang terus terjadi. Dalam situasi ini, penambahan penduduk tanpa mitigasi hanya akan mempercepat kerusakan.

PMKRI juga menilai pembangunan yang tidak sensitif terhadap budaya lokal dapat mempercepat hilangnya identitas masyarakat. Bahasa daerah dan tradisi adat mulai terpinggirkan di sejumlah wilayah.

“Pembangunan seharusnya tidak menambah ketimpangan, memperparah kerusakan, atau mengesampingkan rakyat lokal. Kalimantan bukan tanah kosong, ia adalah rumah yang punya sejarah, masyarakat, dan hak untuk berkembang secara adil,” tegas pengurus PMKRI.

PMKRI menyerukan evaluasi menyeluruh atas kebijakan transmigrasi dan meminta pemerintah melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan pembangunan.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait