KALBAR SATU ID, YOGYAKARTA – Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030 adalah target besar dan menjadi komitmen pemerintah untuk mencapainya demi mengatasi perubahan iklim. Kerja sama multipihak mutlak dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut.
Dalam Konferensi Nasional EFT III yang digelar secara daring melalui Kanal Youtube Beritabaruco pada Selasa (15/11/2022) yang diselenggarakan oleh TAF dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Lingkungan Hidup berhasil mendiskusikan berbagai hal terkait FOLU Net Sink 2030.
Dari diskusi pada hari kedua (15/11/2022), mereka mendapatkan beberapa catatan dan rekomendasi sebagai kesimpulan dari konferensi.
Deputi Direktur FITRA Riau memaparkan, dalam kaitannya dengan petani sawit dan kelompok petani, satu hal yang harus diperhatikan adalah perlunya penguatan penggunaan Dana Bagi Hasil dan Dana Reboisasi (DBH DR) dan pengarusutamaan kebijakan DBH sawit.
“Mainstreaming kebijakan DBH sawit ini adalah yang berbasis kinerja sawit rakyat berkelanjutan. Ini soal peningkatan kapasitas petani sawit dan kelompok petani yang nanti bisa ditopang oleh dana dari pemanfaatan DBH Sawit,” jelas Tarmidzi.
Selain itu, pendanaan lingkungan hidup dari perdagangan karbon yang dalam hal ini dibutuhkan pendampingan yang serius agar dana hasilnya bisa diserap oleh masyarakat, bukan perorangan.
“Dalam pasar karbon ini, yang penting diperhatikan misalnya bagaimana itu bisa digunakan dalam PS dan mendapatkan pendampingan,” katanya.
Lebih jauh, Fernan Crespo dari Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mencatat beberapa hal terkait tiga tema yang dibahas.
Pada tema pertama, Pelembagaan EFT dan Pembiayaan Inovatif Lingkungan Hidup, ada lima (5) poin yang tidak boleh dilupakan, yakni perlunya pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Daerah (BPDLHD); Dana Abadi Desa (DAD) sebagai peluang besar sumber pendanaan inovatif lingkungan hidup; pembiayaan campuran perusahaan; pembiayaan EFT dari sumber lainnya; dan pelembagaan EFT.
Isu BPDLHD berhubungan dengan kesiapan daerah dalam menyiapkan skema Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), membangun kepercayaan masyarakat, dan skema pendanaan yang fleksibel.
“pada dasarnya soal kepercayaan dan sistem pengelolaan keuangan yang fleksibel adalah tantangan yang daerah harus siap melampaunya,” jelas Fernan.
Adapun pembiayaan campuran dari perusahaan merujuk pada Corporate Social Responsibility (CSR) yang berpotensi besar menjadi sumber lain.
“Selain ini, Pemerintah Daerah sebenarnya bisa juga untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan multinasional, seperti Green Climate Fund (GCF),” tegasnya.
Selanjutnya pada tema kedua, Evaluasi Pendanaan DBH DR dan Sawit Rakyat Berkelanjutan, Fernan memetakan tiga (3) hal: perlunya pemanfaatan DBH DR, pendanaan Sawit Berkelanjutan, dan DBH Sawit berbasis kinerja.
DBH DR mendesak untuk dioptimalkan, ungkap Fernan, sebab potensi sisa DBH DR provinsi mencapai Rp 1,74 triliun dan DBH DR Kab/Kota Rp 2,5 triliun.
“Ini dana yang besar ya, sehingga harus dimanfaatkan diupayakan pemanfaatannya, belum lagi kita tahu bahwa pengelolaan DBH DR selama ini belum transparan dan di waktu bersamaan sudah ada praktik baik penggunaan DBH DR untuk PS, yakni di Sumbar,” paparnya.
Untuk tema terakhir, Potensi Community Carbon Market Pascakebijakan Nilai Ekonomi Karbon, Fernan menarik tiga (3) poin kesimpulan, antara lain: perlunya penguatan Pemerintah Daerah (Pemda) dan pemangku kebijakan, besarnya potensi karbon biru, dan prioritas Perhutanan Sosial dan Program Kampung Iklim (ProKlim).
Konferensi yang digelar selama dua hari ini (14-15 November 2022) adalah hasil kerja sama antara TAF, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budget Center (IBC), Seknas FITRA, FITRA Provinsi Riau, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK), JARI Indonesia Borneo Barat, Pilar Nusantara, Yayasan Sikola Mombine, dan JEMARI Sakato.
Beberapa narasumber hadir di dalamnya, meliputi Ronald Rofiandri (PSHK), Diah Mardhotillah (PATTIRO), Tirza Pandelaki (Manager Program dan Kemitraan SPKS), Elizabeth Kusrini (Direktur IBC), dan Ria Mariamah (NBS Senior Sourcing Manager Asia South Pole).