PKC PMII Kalbar: Kalimantan Barat Darurat Hukum, Lingkungan, dan Kemanusiaan

PKC PMII Kalbar: Kalimantan Barat Darurat Hukum, Lingkungan, dan Kemanusiaan
PKC PMII Kalbar: Kalimantan Barat Darurat Hukum, Lingkungan, dan Kemanusiaan. Foto/istimewa.

KALBAR SATU ID – Ketua Bidang hukum ham dan advokasi kebijakan Public PKC PMII Kalbar, Samsul menyatakan bahwa, Kalimantan Barat hari ini sedang menghadapi krisis multidimensi yang sangat serius. Kondisi ini tidak lagi dapat dipahami sebagai persoalan sektoral atau temporer. Sebaliknya, kita sedang menyaksikan kegagalan sistemik negara dalam menegakkan hukum, menjaga kelestarian lingkungan, dan melindungi hak-hak dasar rakyatnya.

1. PETI: Penambangan Ilegal yang Merusak dan Menghancurkan

Bacaan Lainnya

Maraknya aktivitas PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) di berbagai daerah Kalbar merupakan bentuk pelanggaran hukum yang terang-terangan. Aktivitas ini bukan hanya merusak ekosistem sungai dan hutan, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial dan konflik horizontal antar warga. Meskipun PETI secara hukum dilarang keras melalui Pasal 158 UU Minerba, namun praktiknya dibiarkan atau bahkan dilindungi oleh oknum aparat dan penguasa lokal. Di sinilah letak ironi hukum kita: tajam ke bawah, tumpul ke atas.

2. Illegal Logging: Negara Gagal Menjaga Paru-Paru Kalbar

Illegal logging telah menggerus hutan Kalbar secara masif selama bertahun-tahun. Deforestasi yang terus berlangsung mengancam keanekaragaman hayati, memperparah krisis iklim, dan menghancurkan ruang hidup masyarakat adat. Fakta bahwa banyak dari aktivitas ini didukung oleh izin-izin bermasalah menunjukkan betapa lemahnya tata kelola kehutanan. Penegakan hukum terhadap pelaku utama, termasuk korporasi besar, nyaris tidak terdengar. UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H menjadi tidak berarti jika hanya diberlakukan kepada pelaku kecil.

Baca juga: Penolakan Gereja, PMII Kalbar Angkat Bicara

3. Karhutla: Ekokriminalitas yang Diabaikan

Setiap tahun Kalimantan Barat nyaris tak luput dari bencana karhutla (kebakaran hutan dan lahan). Meski sering disebut sebagai “bencana alam”, sejatinya ini adalah bentuk ekokriminalitas. Pembukaan lahan dengan cara dibakar adalah pelanggaran terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, korporasi besar pelaku pembakaran jarang tersentuh hukum. Sementara rakyat kecil—petani, buruh tani, nelayan—sering kali menjadi kambing hitam.

4. Intoleransi: Ancaman Bagi Kebhinekaan Kalbar

Kalimantan Barat adalah wilayah multikultural. Namun belakangan, kita menyaksikan meningkatnya sikap intoleran di ruang publik. Diskriminasi berbasis agama dan etnis dibiarkan berkembang tanpa penanganan serius. Padahal negara memiliki kewajiban konstitusional, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, untuk menjamin kebebasan beragama dan perlindungan terhadap minoritas. Negara tidak boleh netral terhadap intoleransi—karena netralitas dalam ketidakadilan adalah keberpihakan terhadap penindas.

5. RKUHP: Ancaman Baru bagi Kebebasan Sipil

Alih-alih memperkuat keadilan hukum, RKUHP (kini UU No. 1 Tahun 2023) justru menjadi ancaman serius terhadap kebebasan sipil. Banyak pasal yang bersifat multitafsir, represif, dan membuka peluang kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, akademisi, serta masyarakat adat yang mempertahankan hak hidupnya. Di Kalimantan Barat, hal ini berbahaya karena ruang-ruang kritik terhadap kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial bisa dibungkam atas nama “ketertiban umum”.

Ketua Bidang hukum ham dan advokasi kebijakan Public PKC PMII KAL-BAR, menyatakan bahwa kondisi Kalbar hari ini adalah darurat hukum, darurat lingkungan, dan darurat kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, diam adalah bentuk kejahatan. Negara tidak bisa terus menutup mata dan telinga terhadap jeritan masyarakat Kalimantan Barat.

Kami Menuntut:

1.Penegakan hukum yang berkeadilan, bukan hanya simbolik dan tebang pilih.

2. Tindak tegas korporasi dan aktor yang merusak lingkungan dan melanggar hukum.

3. Evaluasi terhadap implementasi RKUHP, terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan sipil.

4. Pemulihan ruang hidup masyarakat adat dan lokal yang dirampas atas nama investasi.

5. Komitmen nyata negara untuk melawan intoleransi, bukan sekadar narasi kosong.

Saat hukum dibajak oleh kekuasaan, maka rakyatlah yang harus bersuara. Saat bumi Kalimantan dibakar dan digerus tanpa belas kasihan, maka diam adalah bentuk pengkhianatan. Kalbar sedang tidak baik-baik saja, dan kita harus berdiri melawan.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan