KALBAR SATU ID – Kalau Prabowo sudah buat keputusan, siapa berani menentangnya? Soeharto tokoh yang banyak ditolak, ia putusan jadi Pahlawan Nasional. Berani? Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Pagi ini, dari Istana Negara, sejarah seperti terbangun dari tidur panjangnya. Presiden Prabowo Subianto, dengan nada yang tenang dan tegas, mengumumkan sepuluh nama penerima gelar Pahlawan Nasional tahun 2025.
Di antara nama-nama besar itu, Abdurrahman Wahid, Marsinah, Sarwo Edhie Wibowo, Idham Chalid, Frans Seda, Andi Depu, KH Ahmad Sanusi, Raden Ayu Lasminingsih, dan TGH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Terselip satu nama yang membuat banyak dada berhenti sejenak, Jenderal Besar Soeharto. Nama yang selama puluhan tahun hanya disebut dengan bisik, kini diucapkan lantang di istana yang dulu ia kuasai selama tiga dekade. Sejarah seperti menertawakan dirinya sendiri, sebab baru di zaman Prabowo, seorang mantan menantu, Soeharto diangkat menjadi pahlawan nasional, sesuatu yang tak berani dilakukan oleh Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, ataupun Jokowi.
Soeharto adalah sosok yang aneh sekaligus agung. Dari Kemusuk, desa kecil di Yogyakarta, ia mendaki tangga kekuasaan hingga menjadi presiden paling lama memerintah dalam sejarah republik ini. Ia membangun jalan dan jembatan, mengubah sawah menjadi ladang harapan, dan menjadikan istilah “pembangunan” sebagai mantra yang menggema di setiap pidato kenegaraan. Tahun 1984, Indonesia dinyatakan oleh FAO sebagai negara yang berhasil mencapai swasembada beras. Dunia memberi penghargaan kepada Soeharto, dan rakyat menunduk hormat di tengah hamparan padi yang menguning. Di bawahnya, lahir ribuan sekolah, rumah sakit, dan kantor desa melalui program Inpres. Dari jalan-jalan desa hingga gedung pencakar langit, semua berdiri dalam satu slogan yang memabukkan, stabilitas dan pembangunan.
Tak hanya sawah dan jalan, Soeharto juga membangun mimpi bangsa di langit. Ia menunjuk BJ Habibie untuk mewujudkan kemandirian teknologi melalui lahirnya Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Dari tangan anak bangsa, meluncurlah N250 Gatotkaca, pesawat turboprop modern yang menjadi kebanggaan Asia. Dunia menatap kagum. Indonesia yang dulu hanya membeli pesawat, kini bisa membuat sendiri. Lalu muncul gagasan mobil nasional Timor, hasil kerja sama dengan Korea Selatan. Walau kemudian digugat di WTO karena tuduhan proteksi dan nepotisme, ide itu menandai keberanian bangsa ini untuk punya identitas industri sendiri. Dari sinilah muncul semangat kemandirian yang kelak menginspirasi proyek-proyek mobil listrik di masa kini. Di luar negeri, Soeharto menjadi salah satu penggagas utama berdirinya ASEAN pada 1967. Dari Bangkok, ia menandatangani perjanjian yang menyatukan lima negara, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura menjadi blok politik dan ekonomi yang stabil di tengah badai Perang Dingin. Dunia memandang Indonesia sebagai jangkar Asia Tenggara. Dalam diplomasi global, Soeharto aktif menjembatani Barat dan Timur, menjadi suara bagi dunia Islam dalam Gerakan Non-Blok, ikut membantu perdamaian Kamboja, mendukung perjuangan Bosnia, dan memainkan peran penting dalam meredam konflik di Filipina Selatan.
Namun, di balik keberhasilan itu, tersimpan sisi gelap yang tak bisa dihapus begitu saja. Sekitar 12.000 orang dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik pasca peristiwa G30S 1965. Mereka dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI, dan mayoritas tidak pernah diadili secara hukum.
Pada awal 1980-an, muncul fenomena yang disebut rakyat sebagai “Petrus” penembakan misterius terhadap para preman dan orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan. Mayat-mayat ditemukan tergeletak di gang, di bawah jembatan, di pinggir kali. Tangannya terikat, dadanya berlubang peluru. Negara tidak pernah benar-benar menjelaskan, tapi semua orang tahu siapa pelakunya. Ketika ditanya wartawan asing, Soeharto menjawab dingin, “Kalau mereka tidak mau tobat, ya dibersihkan.” Petrus menjadi pesan kekuasaan yang menakutkan, bahwa negara bisa menjadi Tuhan yang menentukan siapa yang layak hidup dan siapa yang harus mati. Di tahun-tahun itu, ketertiban dijaga dengan darah, dan rasa aman dibeli dengan ketakutan.
Di masa yang sama, banyak ulama dan aktivis Islam dibungkam. Rezim Orde Baru memandang Islam dengan curiga politik. Tokoh-tokoh seperti Haji Ismail Pranoto (Hispran) dan kelompok Komando Jihad ditangkap, dituduh hendak mendirikan negara Islam. Mohammad Natsir dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) diawasi ketat, ceramah-ceramah mereka dibatasi, bahkan pengajian yang terlalu vokal sering dibubarkan. Pancasila dijadikan ideologi tunggal, dan semua ormas Islam diwajibkan tunduk padanya. Di mata penguasa, agama boleh ada, asal tidak bersuara terlalu keras. Pada tahun 1984, tragedi Tanjung Priok meletus, ratusan warga tewas dalam bentrokan berdarah antara massa Islam dan aparat. Lima tahun kemudian, 1989, tragedi Talangsari di Lampung menambah luka, puluhan jamaah pengajian terbunuh, ratusan hilang, banyak yang disiksa. Di kampus-kampus, aktivis Islam ditangkap karena dianggap subversif. Terakhir, tuduhan pelanggaran HAM berat, KKN yang menyulut aksi reformasi mahasiswa. Di zaman beliau, semua yang terlalu kritis dipenjara, semua yang terlalu keras berdoa dibungkam.
Baru menjelang akhir kekuasaan, ketika angin politik mulai berubah, Soeharto mendekat pada umat Islam. Ia membentuk ICMI, dipimpin BJ Habibie, sebagai jembatan baru antara Islam dan negara. Tapi banyak yang menilai, itu bukan pertobatan ideologis, melainkan strategi untuk memperpanjang napas kekuasaan.
Kini, ketika Prabowo menandatangani keputusan yang menjadikan Soeharto pahlawan, bangsa ini seperti menatap cermin dengan dua wajah. Satu wajah penuh cahaya pembangunan, pesawat terbang, sawah yang makmur, dan stabilitas yang panjang. Wajah satunya lagi penuh bayangan, Petrus, Tanjung Priok, Talangsari, penjara, dan ketakutan.
Ada yang meneteskan air mata bangga, ada yang menggigit bibir getir. Sebagian menganggap ini bentuk rekonsiliasi nasional, bahwa jasa harus dihormati walau dosa belum diadili. Sebagian lain melihatnya sebagai bentuk pelupaan kolektif, cara halus bangsa ini menghapus luka dengan bingkai penghormatan.
Soeharto kini resmi menjadi Pahlawan Nasional, tapi sejarah tahu, tidak semua pahlawan datang dengan wajah bersih. Ia membangun negeri ini dengan tangan besi, dan menegakkan ketertiban dengan bayonet yang disembunyikan di balik senyum. Ia mendirikan masjid besar, tapi juga memenjarakan ulama yang berseru terlalu keras. Ia mengajar rakyat untuk menanam padi, tapi lupa menanam kejujuran. Ia mencintai rakyatnya, tapi menakut-nakuti mereka agar tetap setia. Seperti kata pepatah tua, cahaya paling terang selalu menciptakan bayangan paling gelap.
Mungkin inilah takdir sejarah kita, tak bisa membenci sepenuhnya, tapi juga tak sanggup memaafkan sepenuhnya. Soeharto telah tiada, tapi perdebatan tentangnya hidup lebih lama dari rezim mana pun. Pagi ini, ketika namanya diucapkan di Istana Negara sebagai pahlawan, mungkin alam pun terdiam sebentar, menimbang, apakah bangsa ini benar-benar sudah berdamai dengan masa lalunya, atau hanya sedang mengemas luka menjadi piagam penghargaan.
Penulis: Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar.






