Antara Adab dan Feodalisme: Menimbang Ulang Tradisi Santri Terhadap Kiai

HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang,
HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang. Foto/istimewa.

KALBAR SATU ID – Apakah mencium tangan kiai, menunduk saat berpapasan, atau berjalan pelan di depan guru merupakan bentuk feodalisme?

Pertanyaan seperti ini kerap muncul di ruang publik, terutama di era media sosial ketika segala hal mudah dihakimi tanpa konteks.

Sebagian orang menilai bahwa tradisi santri seperti sowan, salim tempel, dan berjalan menunduk di hadapan kiai adalah simbol ketundukan yang tidak sesuai dengan semangat kesetaraan modern. Namun bagi kalangan pesantren, apa yang tampak sebagai “ketundukan” justru merupakan ekspresi cinta kasih dan penghormatan kepada guru, orang yang menjadi perantara ilmu dan cahaya pengetahuan.

Adab sebagai Jalan Ilmu

Dalam tradisi keilmuan Islam dan pesantren, penghormatan terhadap guru bukan sekadar bentuk sopan santun, tetapi merupakan fondasi spiritual.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Barang siapa mengajarkan satu huruf saja kepadaku, maka aku menjadi hambanya.”

Pernyataan ini tentu bukan dalam arti harfiah sebagai perbudakan, tetapi ungkapan kerendahan hati di hadapan ilmu dan orang yang mengajarkannya.

Imam Al-Ghazali menegaskan, ilmu tidak akan bermanfaat tanpa adab kepada guru. Maka tidak heran bila di pesantren, santri bukan hanya belajar kitab, tapi juga belajar tata krama, bagaimana duduk, berbicara, dan bersikap sopan di hadapan gurunya. Semua itu bagian dari pendidikan moral yang lebih tinggi nilainya daripada sekadar kecerdasan intelektual.

Tradisi ini juga dihidupkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan modern Indonesia. Ia menyebut guru sebagai “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.
Dalam konsep ini, relasi antara guru dan murid tidak dibangun atas kekuasaan, melainkan atas nilai-nilai keteladanan dan kasih sayang.

Konteks Budaya Jawa dan Tradisi Nusantara

Sikap hormat kepada guru, sesepuh, atau orang tua sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara.
Dalam tradisi Jawa, praktik sungkem atau cium dengkul kepada sesuhunan merupakan wujud penyerahan batin, bukan simbol penindasan. Bahkan dalam masyarakat Bali, umat Hindu mencium tangan pendeta, di Jepang, murid membungkuk hormat kepada sensei dan di Gereja Katolik, umat mencium cincin uskup.
Semua itu dimaknai sebagai penghormatan spiritual, bukan feodalisme.

Mengapa ketika seorang santri mencium tangan kiainya, orang yang telah mengajarinya membaca Al-Fatihah dan membimbingnya dalam moralitas, hal itu justru dianggap feodal?

Di sini tampak bahwa sebagian kelompok membaca tradisi pesantren dengan kacamata yang keliru. Mereka menggunakan perspektif Barat yang liberal dengan menilai setiap hubungan vertikal sebagai potensi dominasi. Padahal, dalam konteks pesantren, yang lahir bukanlah dominasi, melainkan tawadhu’, kerendahan hati sebagai jalan menuju keberkahan ilmu.

Relasi Kuasa atau Relasi Kasih?

Jika kita pinjam analisis Michel Foucault, memang benar bahwa setiap relasi sosial mengandung unsur kuasa. Namun Foucault juga mengatakan bahwa kuasa tidak selalu bersifat represif; ia bisa bersifat produktif. Dalam konteks pendidikan, kuasa guru dapat menjadi energi yang membentuk karakter, kedisiplinan, dan arah hidup murid.

Relasi kiai dan santri di pesantren adalah contoh “kuasa produktif” itu. Guru memiliki otoritas moral, bukan kekuasaan material. Ia dihormati bukan karena kekayaannya, tapi karena ilmunya. Sementara santri tunduk bukan karena takut, tapi karena cinta kasih.

Hubungan ini lebih dekat dengan relasi antara orang tua dan anak. Dalam bahasa pesantren, kiai adalah “murabbi”, pembimbing rohani yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik hati. Maka tradisi seperti menunduk, mencium tangan, atau berjalan pelan di hadapan kiai adalah simbol kesadaran spiritual bahwa ada yang lebih tinggi dalam ilmu dan kebijaksanaan.

Siapa yang Memersoalkan Tradisi Itu?

Di banyak media, terutama media sosial, yang paling keras mempersoalkan tradisi penghormatan kepada kiai sebagai bentuk feodalisme adalah kelompok yang lahir dari semangat sekular-liberal atau mereka yang tidak akrab dengan kultur pesantren serta Mereka yang memang terafiliasi dengan kelompok wahabisme yang memang selalu mempersoalkan tradisi, utamanya tradisi Jawa yang kita hormati selama ini. Mereka selalu menganggap bid’ah dan mengharamkan setiap tradisi yang dipraktekkan oleh masyarakat Nusantara terutama masyarakat Jawa. Mereka membaca semua hubungan sosial dengan kacamata politik kuda dan berdalih dengan pemurnian ajaran Islam yang hanya semata-mata mereka pelajari dari buku terjemahan. Sehingga seolah setiap bentuk penghormatan pasti menyembunyikan hierarki kekuasaan dan bentuk bid’ah yang merusak agama.

Padahal, penghormatan santri kepada kiai tidak pernah melahirkan sistem sosial yang menindas. Tidak ada konsep “darah biru” di pesantren. Seorang santri bisa menjadi kiai, bahkan bisa menjadi guru bagi gurunya. Tradisi itu terbuka dan dinamis.
Jika dalam kerajaan feodal kekuasaan diwariskan secara turun-temurun, maka dalam pesantren yang diwariskan adalah ilmu dan adab.

Karenanya, menyamakan tradisi pesantren dengan feodalisme adalah kekeliruan analisis yang lahir dari kebodohan dan ketidaktahuan terhadap kultur keilmuan Islam Nusantara.

Pesantren dan Pencerahan

Pesantren adalah ruang pencerahan, bukan tempat keterbelakangan. Di sana ilmu tidak hanya dipelajari, tetapi juga dimuliakan. Santri tidak sekadar mencari pengetahuan, tapi juga mencari keberkahan.

Kiai bukan simbol kekuasaan, melainkan mercusuar moral bangsa.
Ia menjadi penjaga nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan ketulusan dalam kehidupan masyarakat.
Sementara santri adalah pejuang ilmu yang memuliakan guru sebagai bagian dari perjuangan spiritualnya.

Dalam dunia yang serba cepat dan pragmatis seperti hari ini, nilai-nilai adab itu sering dianggap kuno. Namun justru di situlah pesantren mempertahankan jati dirinya. Di saat dunia modern menyanjung kebebasan individual, pesantren mengajarkan bahwa kebebasan sejati lahir dari kedisiplinan moral.

Adab, Bukan Feodalisme

Feodalisme adalah sistem sosial-ekonomi yang menindas, di mana rakyat kecil harus tunduk kepada penguasa tanpa ruang partisipasi.
Namun tradisi pesantren justru sebaliknya, ia membentuk manusia merdeka melalui ilmu dan budi pekerti.
Santri diajarkan untuk berpikir kritis, tetapi dengan hati yang tunduk pada nilai-nilai kebenaran.

Maka mencium tangan kiai bukan bentuk penyerahan diri kepada manusia, melainkan bentuk penghormatan kepada ilmu yang melekat dalam diri manusia itu.
Menunduk di hadapan kiai bukan tanda kelemahan, tetapi tanda kesadaran bahwa di atas setiap yang tahu dan berilmu, selalu ada yang lebih tahu dan lebih berilmu dimana ia sebagai sumber ilmu dan keberkahan.

Sudah saatnya kita berhenti melihat tradisi pesantren dengan kacamata kuda dan curiga.
Adab santri terhadap kiai bukan sisa feodalisme, tapi warisan luhur bangsa ini dalam menghormati ilmu dan guru.
Tradisi itu bukan beban masa lalu, melainkan penanda peradaban.

Santri bukan budak, tapi pejuang ilmu.
Kiai bukan simbol feodalisme, tapi mercusuar moral bangsa.
Dan pesantren bukan tempat keterbelakangan, tapi pusat pencerahan, tempat di mana ilmu, adab, dan nurani bangsa ini tetap dijaga dengan penuh hormat.

Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Wakil Sekretaris PCNU Kabupaten Malang, dan Alumni Santri PPRU II Putukrejo Gondanglegi Malang.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan