Belanja Daerah Bukan Sekadar Formalitas: Hindari Penimbunan, Wujudkan Manfaat Nyata

Belanja Daerah Bukan Sekadar Formalitas: Hindari Penimbunan, Wujudkan Manfaat Nyata (Foto/Istimewa)

Dalam simfoni pembangunan nasional, belanja daerah adalah nada dasar yang menentukan harmoni kesejahteraan rakyat. Ia bukan sekadar angka dalam lembaran APBD, melainkan denyut nadi yang menghidupkan jalan, jembatan, sekolah, dan harapan. Namun, terlalu sering belanja daerah terjebak dalam formalitas birokrasi, tertidur dalam kas bank, dan berakhir sebagai Silpa—Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran—yang membengkak tanpa makna.

Di balik angka Silpa yang tampak rapi dalam laporan keuangan, tersimpan paradoks yang menyayat: ketika rakyat menanti air bersih, dana justru mengendap; ketika anak-anak belajar di ruang kelas reyot, anggaran pembangunan sekolah tak terserap. Menurut data dari Seputar Birokrasi, Silpa yang tinggi sering kali bukan cerminan efisiensi, melainkan kegagalan belanja.

Bacaan Lainnya

Fenomena ini bukanlah mitos

Di berbagai Pemerintahan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten – Kota Silpa terbentuk dari pelampauan pendapatan dan belanja yang tak terserap karena gagal tender dan keterlambatan pelaksanaan.Pemerintah harus menutup defisit anggaran tahun berikutnya dengan menggunakan dana yang seharusnya sudah memberi manfaat.

Belanja daerah yang lambat bukan hanya soal teknis, tapi juga soal etika publik. Setiap rupiah yang tak dibelanjakan adalah peluang yang hilang untuk memperbaiki nasib masyarakat. Dalam sistem penganggaran berbasis kinerja, anggaran seharusnya mencerminkan output dan outcome yang nyata, bukan sekadar saldo yang kembali ke kas.

Mengapa belanja daerah sering tertunda?

Jawabannya kompleks: perencanaan yang lemah, birokrasi yang berbelit, ketakutan akan audit, hingga minimnya kapasitas SDM di daerah. Namun, alasan-alasan ini tak bisa terus dijadikan tameng. Pemerintah daerah harus berani bertransformasi dari pengelola anggaran menjadi penggerak pembangunan.

Penimbunan dana di kas bank daerah bukan hanya tidak produktif, tapi juga merugikan. Dana yang mengendap tidak menghasilkan multiplier effect bagi ekonomi lokal. Padahal, belanja daerah yang tepat waktu dan tepat sasaran bisa mendorong pertumbuhan UMKM, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Contoh terbaik adalah suatu pemerintahan daerah yang merealisasikan belanja tinggi. Pemerintah Provinsi, Kabupaten – Kota yang aktif melakukan percepatan tender, menyederhanakan proses pengadaan, dan melibatkan masyarakat dalam perencanaan. Hasilnya, pembangunan infrastruktur berjalan lancar dan Silpa dapat ditekan.

Sebaliknya, daerah dengan Silpa besar sering kali menunjukkan stagnasi pembangunan. Jalan rusak tak kunjung diperbaiki, fasilitas kesehatan minim, dan angka kemiskinan tetap tinggi. Ini bukan sekadar statistik, tapi potret nyata dari kegagalan belanja yang berdampak langsung pada kualitas hidup warga.

Belanja daerah harus dimaknai sebagai instrumen keadilan sosial. Ia adalah jembatan antara kebijakan dan kenyataan, antara janji politik dan bukti di lapangan. Niat tulus dan eksekusi yang cermat dalam berbelanja mengubah anggaran menjadi berkah.

Pemerintah pusat pun telah mengingatkan pentingnya percepatan belanja daerah. Pemerintah mendorong daerah untuk tidak menunda belanja, terutama pada triwulan pertama dan kedua, melalui berbagai regulasi dan insentif. Karena belanja yang menumpuk di akhir tahun sering kali tidak efektif dan rawan kesalahan.

Transparansi dan partisipasi publik menjadi kunci

Masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan dan perencanaan anggaran. Media lokal, LSM, dan akademisi dapat menjadi mitra kritis untuk memastikan bahwa belanja daerah benar-benar menjawab kebutuhan nyata.

Digitalisasi juga dapat menjadi solusi. Dengan sistem e-budgeting dan e-planning, proses penganggaran menjadi lebih cepat, akurat, dan akuntabel. Teknologi bukan hanya alat, tapi juga katalisator perubahan budaya birokrasi.

Akhirnya, pemerintah daerah tidak lagi menjadikan belanja daerah sebagai ritual tahunan demi laporan. Ia adalah amanah konstitusional untuk menghadirkan keadilan dan kemakmuran. Dana publik harus bergerak, mengalir, dan memberi dampak. Karena dalam setiap rupiah yang dibelanjakan, ada harapan yang menanti untuk diwujudkan.

Mari kita ubah paradigma: dari belanja sebagai formalitas menjadi belanja sebagai aksi nyata. Dari penimbunan menjadi penggerak. Dari angka menjadi makna. Karena pembangunan sejati lahir dari keberanian untuk membelanjakan anggaran demi rakyat, bukan demi laporan.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan