KALBAR SATU ID – Dalam al-Qur’an al Karim, Allah SWT menyatakan: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nahl: 18).
Ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa kita tidak akan sanggup menghitung nikmat Allah SWT, mencoba untuk menghitungnya sudah tidak mampu, bahkan IA sudah memaklumkan manusia tidak akan bisa menghitungnya. Sangat banyak nikmat yang kita terima bahkan sejak kita masih dalam kandungan berbagai kandungan sudah diberikan Allah SWT.
Sebut saja nikmat udara, nikmat mata (panca indera berfungsi dengan baik), nikmat bisa melangkahkan kaki dengan bisa mengadakan perjalanan yang jauh, nikmat karena adanya keluarga yang menyenangkan hati, nikmat diterima di pekerjaan saat ini tak terhitung.
Lantas bagaimana sikap kita dalam menyikapi berbagai nikmat yang Allah SWT berikan? Berikut sikap seorang muslim dalam merespon berbagai nikmat Allah SWT.
Pertama. Karena kita tidak mungkin menghitung nikmat Allah maka berdasarkan Qs. Ibrahim/ 7: 14 tugas kita adalah mensyukuri nikmat Allah SWT.
Dinyatakan, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat””.
Siapapun yang bersyukur -berdasarkan ayat ini- maka akan Allah tambah nikmat-Nya namun jika ingkar, Allah juga memaklumkan bahwa siksaan-Nya sangat pedih. Bahasa sederhananya adalah jangan main-main dengan nikmat Allah SWT.
Sikap syukur akan menghasilkan munculnya nikmat-nikmat Allah lainnya. Syukur adalah menampakkan nikmat Allah dan mengakui bahwa Allah-lah yang telah memberikan nikmat bukan lainnya.
Allah SWT sangat senang jika nikmat yang diberikan-Nya digunakan sebagaimana kehendak-Nya.
Syeh Ibnu Athoillah As-Sakandari dalam kitab Al Hikam berkata: “Siapa yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat, maka berarti ia berusaha untuk hilangnya nikmat itu, dan siapa yang bersyukur atas nikmat-nikmat berarti telah mengikat nikmat itu dengan ikatan yang kokoh.”
Kedua, nikmat yang diberikan Allah SWT bisa jadi bukan semata untuk kita nikmati sendiri, ia bisa menjadi perantara untuk tersampaikannya nikmat Allah untuk orang lain melalui tangan kita. Dalam konteks ini, berbahagialah jika kita dijadikan Allah sebagai perantara bagi orang lain untuk tersampaikannya nikmat Allah.
“Siapa yang membantu hajat saudaranya maka Allah akan membantunya dalam hajatnya”. (HR. Bukhari).
Siapa diantara kita yang tidak memiliki hajat? Sejak lahir kita sudah perlu dengan berbagai hal untuk terpenuhinya hajat kita.
Bagaimana suasana hati kita kala hajat kita dibantu untuk diselesaikan oleh orang lain? Senang dan gembira.
Ketika kita mendapati hal demikian mungkin saja di waktu yang lalu kita pernah membantu menyelesaikan hajat saudara kita, Allah SWT Maha Melihat kelakuan hamba-Nya. Balasan Allah SWT akan tiba pada orang yang tepat dan diwaktu yang tepat pula.
Ketiga, wujud syukur hendaknya tidak berhenti pada datangnya nikmat atau materi itu sendiri, tapi bersyukurlah bahwa Allah SWT sebagai Zat Pemberi Nikmat masih memberi nikmat kepada kita.
Jika seseorang bersyukur sebatas karena materi nikmat maka ketahuilah itu pertanda betapa dangkalnya ia memahami nikmat. Contoh sederhananya adalah jika si A diberi uang Rp 5 juta maka rasa syukurnya luar biasa namun kala diberi uang Rp 100 ribu rasa terimakasih biasa-biasa saja.
Perbedaan wujud syukur dengan jumlah uang berbeda menunjukkan bahwa ia masih mensyukuri nikmat itu sebatas materi nikmat itu sendiri. Pemahaman yang bagaimana seharusnya
Seharusnya adalah memahamkan diri bahwa apapun dan berapapun nikmat itu tetap bersyukur bahwa Sang Pemberi Nikmat masih memberi nikmat kepada hamba-Nya. Sikap ini akan memperteguh keyakinan kita bahwa nikmat atau musibah sekalipun adalah berdasarkan ketentuan Allah SWT.
Penulis: Sholihin HZ, Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kalimantan Barat.