Cara Indonesia Mempertahankan Kepemimpinan Yang Efektif
Penulis : Muhammad Darwin (Sekretaris DPD GPM Kalbar)
KALBAR SATU – Konstitusi Indonesia tentang masa jabatan Presiden dan Wapres RI diatur dalam pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Karenanya wacana Jokowi tiga periode harus dikubur mati kecuali dilakukan amandemen terhadap pasal 7 UUD 45 tersebut yang memang dalam sejarah pernah mengalami beberapa kali perubahan.
Prinsipnya undang-undang dan peraturan-pertauran negara itu dibuat untuk kemaslahatan negara dan bangsa, karenanya jika memang dirasa perlu, maka merubahnya bukanlah sesuatu yang terlarang.
Variabel-variabel lingkungan selalu mengalami perubahan secara dinamis. Baik secara evolutif (lambat) atau revolutif perubahan yang terjadi wajib direspon secara proporsional. Karenanya peraturan-peraturan termasuk undang-undang dalam berbagai tingkatan bisa saja menjadi usang atau tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perubahan yang ada. Atas dasar ini kita mendapat satu alasan filosofis untuk mendorong amandemen.
Anggap saja kita memiliki pengetahuan yang paling benar dan sampai pada kesimpulan pasti bahwa amandemen pasal 7 UUD 45 adalah langkah terbaik untuk saat ini terkait mempertahankan kepemimpinan bangsa yang efektif, maka prediksi hambatan terbesar adalah prasangka berlatar kecurigaan motif politik dari beberapa pihak yang memang punya garis poitik dan agenda strategi pembangunan yang berbeda sejak awal dengan pendukung rezim yang berkuasa saat ini. Bisa saja para penentang amandemen merasa pertimbangan mereka sudah objektif.
Baca Juga: Banjir Uang Dari GOOGLE Dengan 5 Aplikasi Penghasil Uang Terbaru 2021
Bagaimanapun amandemen adalah produk politik, karenanya ekses dari suatu peristiwa politik memiliki dampak domino yang perlu diperhitungkan secara matang dan terukur. Terkait wacana amandemen pasal 7 UUD 45, isu mengembalikan sistem diktatorial di Indonesia pasti akan muncul ke permukaan dan dapat menimbulkan ketidakstabilan situasi politik tanah air, apalagi jika pihak asing yang memiliki kepentingan ikut bermain mengkapitalisasi isu ini ke arah yang kontra produktif. Ketidakstabilan politik sangat mungkin mempengaruhi variabel-variabel lain seperti ekonomi dan keamanan.
Akhirnya secara pragmatis kemudian kita harus dapat menjawab seberapa besar manfaat amandemen tersebut dibandingkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh bangsa ini.
Dari deskripsi singkat di atas maka kebutuhan solusi jalan tengah yang lebih elegan yang dianggap lebih akomodatif terhadap rasa keadilan semua pihak harus diupayakan. Kita tidak ingin kehilangan momentum dan akselerasi kemajuan pembangunan disemua bidang dengan berakhirnya gaya kepemimpinan “Jokowi” yang katakanlah dari perspektif kita sangat efektif. Namun jika kita memaksakan wacana “Jokowi Tiga Periode” maka besarnya dampak negatif akibat benturan politik relatif sulit untuk diukur. Walaupun seandainya amandemen pasal 7 UUD 45 itu terjadi tidak serta merta pula mendudukan Jokowi dalam periode ketiga kekuasaanya, karena dia tetap harus melalui proses demokratis Pilpres yang bahkan mungkin lebih sengit dari sebelumnya.
Baca Juga: SURVEI SMRC: Hanya 58 hingga 61 Persen Warga yang Percaya dengan Lembaga-Lembaga Penegak Hukum
Jadi bagaimana Indonesia dapat mempertahankan kepemimpinan bangsa yang efektif tanpa harus repot-repot melakukan amandemen pasal 7 UUD 45 yang sangat sensistif secara politis ? Jawabannya adalah Indonesia harus berhasil memilih presiden baru yang bersedia melanjutkan program kerja pembangunan yang telah dirancang oleh Jokowi.
Tentu saja tidak ada seorang pribadipun yang serupa 100% dengan Jokowi dari semua sisi, baik positif maupun negatifnya. Namun benang merahnya adalah karakter yang wajib dimiliki adalah “Cepat Belajar, Cepat Mengambil Keputusan, Tegas, Berorientasi Tehnologi dan Membangun Sistem” – “Kerja Cerdas dan Keras secara Konsisten” – “Pemimpin Adil, Egaliter, Responsif Proporsional, Rasional bukan Reaktif Emosional” – “Anti Radikalisme dan Menjaga Toleransi, Keberagaman dan HAM”.
Dari beberapa pertimbangan seperti di ataslah kiranya kita harus membangun diskusi agar lebih terarah, agar kaum Nasionalis, baik Marhaenis atau selainnya memang memiliki calon Presiden yang tersepakati lewat diskursus yang sehat dan objektif. Semoga kekuatan kita tidak tercerai berai dalam kubu-kubu kepentingan yang terlalu pragmatis dan minim idealisme.