Dana Desa untuk Kopdes Merah Putih: Dilema Hukum dan Keadilan Publik

HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.
HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

KALBAR SATU ID – Penerbitan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan, dan Kelengkapan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih membawa konsekuensi hukum dan keuangan yang tidak ringan. Lebih dari 80.000 koperasi yang telah terbentuk ini akan dibangun infrastruktur fisiknya dengan skema yang entah disadari atau tidak, menempatkan dana desa sebagai jaminan akhir jika terjadi gagal bayar.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menyebutkan bahwa sekitar Rp 40 triliun dari total pagu dana desa per tahun akan dialokasikan untuk mencicil biaya pembangunan Kopdes Merah Putih selama enam tahun ke depan.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah apakah kebijakan ini memiliki landasan hukum yang kuat? Dan lebih penting lagi, apakah adil secara hukum untuk menggunakan dana publik milik seluruh warga desa sebagai jaminan untuk koperasi yang tidak semua warga menjadi anggotanya?

Paradoks Kelembagaan: Koperasi Bukan Milik Pemerintah

Mari kita mulai dari prinsip dasar hukum koperasi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, meskipun telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dan digantikan dengan UU Nomor 17 Tahun 2012 yang juga dibatalkan, sehingga kembali ke UU 1992, menegaskan secara tegas bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Dalam Pasal 3 UU Perkoperasian dijelaskan bahwa koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Kata kunci di sini adalah “anggota.” Koperasi, dalam konstruksi hukum Indonesia, adalah milik anggotanya, bukan milik negara, bukan milik pemerintah desa. Ini berbeda secara fundamental dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang secara eksplisit adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Jika demikian, bagaimana mungkin dana desa, yang merupakan uang publik milik seluruh warga desa tanpa kecuali dijadikan jaminan untuk koperasi yang secara kelembagaan adalah milik anggota koperasi? Ini adalah paradoks hukum yang mendasar. Dalam teori hukum keuangan negara, prinsip public money for public purpose menegaskan bahwa uang negara atau uang publik harus digunakan untuk kepentingan publik secara luas dan merata. Penggunaan dana desa sebagai jaminan untuk entitas privat seperti koperasi, meskipun diklaim untuk kepentingan ekonomi desa, berpotensi melanggar prinsip ini.

Inpres 17/2025 dan PMK 49/2025: Legalitas atau Legitimasi?

Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025 menugaskan berbagai kementerian dan lembaga untuk mempercepat pembangunan fisik Kopdes Merah Putih. Dana untuk pembangunan ini berasal dari berbagai sumber seperti APBN, APBD, Dana Desa, hingga fasilitas pembiayaan dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Pembangunan fisik akan dilaksanakan oleh PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) dengan skema yang melibatkan pemerintah desa sebagai pihak yang memberikan persetujuan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2025 kemudian mengatur mekanisme pinjaman, di mana dana desa dapat digunakan sebagai “intercept” dalam istilah teknis untuk pemotongan otomatis jika Kopdes gagal membayar angsuran. Pasal 11 PMK 49/2025 menyatakan bahwa jika dana pada rekening pembayaran pinjaman tidak mencukupi, bank dapat meminta KPA BUN untuk memotong dana desa maksimal 30 persen dari pagu per desa.

Permendes Nomor 10 Tahun 2025 yang ditandatangani Menteri Desa Yandri Susanto pada 12 Agustus 2025 mengukuhkan skema ini dengan mengatur mekanisme persetujuan dari kepala desa. Persetujuan ini harus melalui Musyawarah Desa Khusus (Musdesus) yang melibatkan BPD, tokoh masyarakat, dan pengurus koperasi.

Namun, ada pertanyaan krusial yang perlu diajukan, apakah legalitas prosedural ini cukup untuk memberikan legitimasi substantif? Dalam teori hukum pemerintahan, ada perbedaan antara legalitas (kepatuhan pada prosedur hukum) dan legitimasi (keadilan dan penerimaan sosial). Kebijakan ini mungkin legal secara formal, tetapi apakah legitimate secara substantif?

Dilema Keadilan: Public Money untuk Private Benefit?

Mari kita lihat dari perspektif keadilan distributif. Dana desa, menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Kata kuncinya adalah “masyarakat”, bukan “anggota koperasi.”

Dalam praktiknya, tidak semua warga desa menjadi anggota Kopdes Merah Putih. Ada warga yang memilih tidak menjadi anggota karena berbagai alasan, tidak tertarik, tidak percaya pada pengelolaan koperasi, atau sudah memiliki usaha sendiri yang berpotensi bersaing dengan koperasi. Bagi warga yang bukan anggota koperasi, kebijakan ini akan terasa sangat tidak adil. Uang mereka, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama seperti infrastruktur jalan, air bersih, atau fasilitas kesehatan, kini dijadikan jaminan untuk koperasi yang mereka tidak ikut menikmati manfaatnya secara langsung.

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, menyatakan bahwa pemerintah pusat telah melanggar otoritas desa dengan penggunaan dana desa sebagai jaminan pinjaman Kopdes. Ia melihat ini sebagai bentuk penghindaran risiko yang berpotensi dialami bank milik negara. Bank tidak mau menanggung risiko gagal bayar, maka yang dikorbankan adalah hak masyarakat desa.

Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam risetnya menghitung risiko gagal bayar pinjaman Kopdes Merah Putih bisa mencapai Rp 85,96 triliun selama enam tahun masa pinjaman. Dengan tingkat risiko gagal bayar 4-5 persen per tahun, jika semua dana Rp 216 triliun (dari SAL dan APBN) disalurkan ke Kopdes, potensi kerugian bisa mencapai Rp 10 triliun. Dan jika ini terjadi, dana desa-lah yang akan memikul beban.

Ketegangan dengan Prinsip Otonomi Desa

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakui dan menghormati otonomi asli desa. Desa berhak mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu wujud otonomi ini adalah kewenangan desa dalam mengelola keuangan desa, termasuk dana desa.

Kebijakan yang mewajibkan desa untuk menjadikan dana desa sebagai jaminan Kopdes Merah Putih, meskipun melalui mekanisme Musdesus (yang dipaksakan), pada dasarnya adalah intervensi yang mengurangi ruang otonomi desa dalam menentukan prioritas pembangunan. Dalam praktik, tekanan dari atas (top-down) sangat kuat. Kepala desa yang tidak mau mengikuti instruksi pusat bisa menghadapi berbagai tekanan administratif dan politik.

Dalam pernyataannya di beberapa media yang kami kutip, ada kekhawatiran dari kepala desa terkait penggunaan dana desa untuk kopdes merah putih, seperti Afrianus Wahono, Kepala Desa Repi di NTT, mengungkapkan kekhawatirannya, “Kalau dana desa digunakan untuk menjamin koperasi yang bermasalah, maka program-program strategis akan terhambat. Kami juga berkaitan dengan Kopdes Merah Putih tidak mau terburu-buru.” Kekhawatiran serupa disampaikan Muhammad Aopidi, Wakil Ketua III Apdesi Kabupaten Serang, yang menyatakan: “Kalau dana desa sendiri ternyata dipakai membayar hutang karena kegagalan koperasi, berarti kita di desa tidak ada dana untuk membangun.”

Ini adalah suara dari lapangan, suara dari para kepala desa yang memahami betul bahwa infrastruktur dasar di desa mereka masih jauh dari memadai. Jalan rusak, akses air bersih terbatas, fasilitas kesehatan minim. Dan kini dana yang seharusnya untuk membangun semua itu harus disisihkan sebagai jaminan koperasi yang belum tentu berhasil.

Pertanyaan untuk Para Ahli: Kemana Mereka?

Yang mengherankan dalam dinamika kebijakan ini adalah kesunyian dari kalangan akademisi dan ahli hukum. Di mana para ahli hukum tata negara yang biasanya vokal mengkritisi kebijakan yang berpotensi melanggar konstitusi? Di mana para ahli hukum keuangan negara yang memahami betul prinsip-prinsip pengelolaan keuangan publik? Di mana para ahli hukum pemerintahan yang seharusnya mengawasi agar otonomi desa tidak dilanggar?

Dalam teori hukum tata negara, peran scholar adalah sebagai public watchdog, pengawas publik yang independen terhadap kebijakan pemerintah. Mereka seharusnya memberikan analisis kritis berbasis pada prinsip-prinsip konstitusional dan rule of law. Namun dalam kasus Kopdes Merah Putih ini, suara kritis dari akademisi sangat minim.

Apakah ini karena kebijakan ini memang sudah sempurna dan tidak ada masalah hukum sama sekali? Atau justru karena tekanan politik yang membuat akademisi enggan berbicara? Atau mungkin karena kompleksitas regulasi yang membuat banyak orang sulit memahami implikasi hukumnya?

Yang jelas, kesunyian ini berbahaya. Dalam negara hukum yang demokratis, check and balance tidak hanya dilakukan oleh lembaga negara formal, tetapi juga oleh civil society dan akademisi. Ketika mereka diam, kebijakan yang berpotensi merugikan rakyat bisa berjalan tanpa perlawanan.

Kepentingan Siapa yang Dilindungi?

Kebijakan Kopdes Merah Putih dengan skema pembiayaan yang melibatkan dana desa sebagai jaminan menimbulkan pertanyaan mendasar tentang siapa yang sebenarnya dilindungi dalam kebijakan ini. Apakah ini benar-benar untuk kepentingan warga desa, atau justru untuk kepentingan bank BUMN yang tidak mau menanggung risiko? Apakah ini benar-benar untuk pemberdayaan ekonomi desa, atau justru untuk mencapai target politik jangka pendek?

Dana desa adalah uang rakyat, uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan seluruh warga desa tanpa diskriminasi. Menggunakannya sebagai jaminan untuk koperasi yang tidak semua warga menjadi anggotanya adalah bentuk ketidakadilan yang mendasar. Lebih dari itu, ini adalah pengingkaran terhadap prinsip otonomi desa dan prinsip public money for public purpose.

Sudah saatnya para ahli hukum tata negara, ahli hukum keuangan negara, dan ahli hukum pemerintahan memberikan suara mereka. Sudah saatnya mereka menjalankan fungsi kontrol sosial dan memberikan pencerahan kepada publik tentang implikasi hukum dari kebijakan ini. Karena jika mereka diam, siapa lagi yang akan membela hak-hak warga desa yang tidak memiliki akses ke forum-forum pengambilan keputusan di tingkat nasional?

Pertanyaan terakhir yang perlu kita renungkan, jika kebijakan ini gagal dan dana desa terkuras untuk membayar utang koperasi, siapa yang akan bertanggung jawab? Apakah Presiden yang mengeluarkan Inpres? Apakah Menteri Keuangan yang mengeluarkan PMK? Apakah Menteri Desa yang mengeluarkan Permendes? Atau justru kepala desa yang terpaksa menyetujui dalam Musdesus di bawah tekanan?

Keadilan menuntut jawaban yang jelas. Rakyat desa berhak tahu kemana uang mereka akan pergi, dan apa yang akan terjadi jika semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Jangan sampai nasib bangunan gerai kopdes merah putih seperti bangunan KUD, ketika ambisinya sama dengan era orde baru.

Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan