Filosofi Sunthree: Tiga Pondasi Santri yang Menerangi

Penulis: Dr. Miskari, L.C.,M.Hi, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.
Penulis: Dr. Miskari, L.C.,M.Hi, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.

KALBAR SATU ID – Pada tanggal setiap tanggal 22 Oktober kita akan melaksanakan Hari Santri Nasional (HSN). Apa sebenarnya dan siapa sebenarnya santri itu? Istilah santri selama ini dikenal sebagai sebutan bagi mereka yang menuntut ilmu agama di pesantren.

Hal ini sesuai makna dasar santri yang diambil dari bahsa Sangsakerta, santri Adalah orang mahir dalam ilmu agama. Akan tetapi, mari kita coba mencocokilogi definisi santri. Mari kita bawa santri ke barat, dengan sebutan ‘SunThree’.

Jika dilihat dari perspektif simbolik, kata santri ‘sunthree’ ini terbentuk dari dua kata jika dimaknai secara filosofis yaitu gabungan dari kata “sun” (matahari) dan “three” (tiga). Dari sinilah muncul makna baru yang sarat nilai, filosofis, dan agamis. Seorang santri adalah pribadi yang mampu bersinar seperti matahari setelah menguasai tiga pondasi utama dalam ajaran agama, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Pondasi pertama, Iman, yang secara bahasa, kata iman berasal dari akar kata ʾamina yang berarti “percaya”, “tenang”, atau “aman”.

Dalam terminologi teologis, para ulama mendefinisikan iman sebagai “taṣdiq bi al-qalb, wa iqrar bi al-lisan, wa ‘amal bi al-arkan”, membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diikuti dengan perbuatan oleh seluruh anggota tubuh. Orang yang beriman akan membuatnya dirinya dan orang lain tenang dan aman. Jika mengaku beriman tapi masih membuat orang lain tidak aman dan nyaman, maka imannya masih belum sempurna dan paripurna.

Pondasi kedua, Islam. Kata Islam berasal dari akar kata salima yang berarti “damai”, “selamat”, dan “berserah diri”. Jika diambil dari kata ‘aslama’ maka artinya menyelamatkan. Dalam konteks keagamaan, Islam berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah untuk memperoleh keselamatan.

Al-Raghib al-Aṣfahani menjelaskan bahwa Islam merupakan “ketundukan yang membawa kepada keselamatan” al-inqiyadzu aldzi yu’addzi ila al-salamah. Dengan demikian, seorang muslim bukan hanya selamat secara pribadi, tetapi juga membawa keselamatan bagi lingkungannya.

Dimensi normatif: prinsip keselamatan (salamah) yang harus tercermin dalam tutur kata, tindakan, dan perilaku sosial. Islam menegaskan pentingnya sifat menyelamatkan, sebagaimana sabda Nabi :

“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”

Hadis ini mengandung bahwa nilai universal keislaman seseorang diukur dari sejauh mana ia menjadi sumber keselamatan bagi dirinya dan keselamatan bagi orang lain, bukan ancaman bagi sesama. Islam bukan hanya identitas, tetapi orientasi etis yang menumbuhkan perdamaian.

Islam menyelamatkan dirinya dan orang lain.
Sedangkan pondasi ketiga, Ihsan, secara bahasa, ihsan berasal dari akar kata hasuna yang berarti “baik”, “indah”, atau “bagus”. Dalam terminologi spiritual, ihsan berarti melakukan perbuatan baik dengan kesungguhan dan kesadaran akan pengawasan Allah (muraqabah).

Ihsan menekankan kualitas dan intensi (ikhlaṣ) dalam setiap tindakan. Bukan sekadar benar secara hukum, tetapi juga indah secara moral. Ihsan melahirkan perilaku yang baik, santun, dan lembut dalam perbuatan maupun ucapan. Dalam konteks komunikasi modern, hal ini meliputi kesantunan berbahasa dan etika bermedia. Seorang yang berihsan tidak menyebar kebencian, fitnah, atau hoaks, melainkan menjadi teladan dalam menyampaikan berita yang benar dan bermanfaat.

“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan.”
Ayat ini menegaskan bahwa ihsan adalah fondasi moral masyarakat Islami yang melampaui keadilan formal menuju kebaikan dan keindahan dalam tindakan sosial.

Ketiga pondasi agama ini membentuk hierarki spiritual dan moral yang saling berkaitan. Tanpa iman, Islam hanya menjadi ritual kosong. Tanpa Islam, iman hanya menjadi keyakinan tanpa bukti. Tanpa ihsan, keduanya kehilangan keindahan dan makna moral dari dismensi kenikmatan spritual. Oleh karena itu, ketiganya harus diinternalisasi secara menyeluruh dalam pembentukan karakter muslim, khususnya bagi para santri sebagai pewaris nilai-nilai keislaman.

Dalam konteks pendidikan dunia pesantren, santri diharapkan tidak hanya memahami aspek dogmatis, tetapi juga meneladani nilai-nilai ihsān dalam tutur kata dan perilaku sosial, sehingga menjadi pribadi yang “bersinar” seperti matahari sebagaimana simbol filosofis “Sunthree” yang cahayanya lahir dari kekuatan iman, Islam, dan ihsan.

Konsep iman, Islam, dan ihsan merupakan tiga pilar utama ajaran agama yang membentuk struktur keagamaan seorang muslim secara menyeluruh. Ketiganya bukan sekadar tiga istilah yang terpisah, melainkan saling melengkapi dan berjenjang; iman sebagai landasan batin, Islam sebagai manifestasi lahiriah, dan ihsan sebagai puncak kesempurnaan spiritual dan moral.

Karena santri adalah matahari maka harus menerangi dunia dengan tiga pilar tadi, iman, islam, dan ihsan tanpa pilih kasih, seorang santri juga diharapkan menjadi sumber pencerahan bagi Masyarakat, menyebarkan ilmu, akhlak, menebarkan ilmu pengetahuan, dan menciptakan kedamaian.

Tiga pondasi agama yang ia pelajari bukan hanya sekadar teori, tetapi menjadi energi spiritual yang membuatnya bercahaya dari dalam. Iman meneguhkan keyakinan santri, Islam membimbing amal santri, dan ihsan memurnikan niat serta akhlak seorang santri.

Dengan demikian, makna “Sunthree” bukan sekadar permainan kata, bukan ‘cocokilogi’, melainkan filosofi mendalam tentang jati diri santri. Ia adalah matahari peradaban yang cahayanya lahir dari perpaduan tiga kekuatan tadi, iman yang terukur, Islam yang terstruktur, dan ihsan yang luhur.

Penulis: Dr. Miskari, L.C.,M.Hi, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan