Pendahuluan; Paradigma dan Teori Perubahan Sosial
KALBARSATU.ID — Perubahan sosial merupakan tema klasik dalam perbincangan kaum scholar-activist sejak lama hingga kini. Isu ini seolah masih dalam tataran “yang-dibayangkan”, sebagaimana Benedict Anderson menyebut komunitas dalam nation-state sebagai imagined communities.
Diskursus perubahan sosial itu lantas melahirkan berbagai teori pendukung dari masing-masing kutub paradigma. Teori perubahan sosial, menurut Mansour Fakih, adalah teori tentang cara suatu masyarakat berubah serta dinamika dan proses sekitar perubahan tersebut. Dalam ‘Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi’, Fakih memberikan analisis tentang teori perubahan sosial yang diwarnai oleh dua aliran teori sosial yang berbeda kutub; teori modernisasi atau sosial regulasi yang berakar pada paradigma sosial positivisme dan teori sosial kritik atau ilmu sosial emansipatoris. (Fakih, 2003)
Teori sosial regulasi bertitik tekan pada stabilitas, pertumbuhan, pembangunan, obyektivisme, bebas nilai, dan menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan. Sementara teori sosial kritik menyoroti penyadaran kritis masyarakat terhadap ketimpangan sistem dan struktur sosial, perubahan sosial yang tidak bebas nilai, serta menolak obyektivisme.
Kedua teori besar yang berseberangan secara diametral itu ditopang oleh beberapa paradigma sosiologi. Burnell dan Morgan memetakan paradigma sosiologi dengan paradigma humanis radikal, strukturalis radikal, interpretatif, dan fungsionalis.
Pertama, paradigma humanis radikal yang berminat mengembangkan sosiologi perubahan sosial dengan berpijak pada kesadaran manusia (subjektivis). Kesadaran manusia, dalam pandangan dasar paradigma ini, telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis diluar dirinya yang menciptakan alienasi – pemisahan antara dirinya dengan kesadarannya yang murni atau membuatnya dalam kesadaran palsu – sehingga menghalangi tercapainya pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itulah agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia.
Kedua, Paradigma strukturalis radikal yang dipengaruhi oleh pemikiran Old Marx, menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan yang terjadi karena ketimpangan hubungan struktural dalam realitas sosial. Sehingga penganut paradigma ini menginginkan terjadinya perubahan sosial secara radikal dari sudut pandang objektivisme.
Ketiga, paradigma interpretatif yang menganut sosiologi keteraturan dengan menekankan pada subjektivisme dalam analisis sosialnya. Kenyataan sosial, dalam pandangan paradigma yang sangat dipengaruhi Immanuel Kant ini muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang (subjektivis). Sehingga perubahan sosial dilakukan dengan terlebih dahulu mencari sifat paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang terlibat dalam perubahan sosial.
Keempat, paradigma struktural fungsional atau fungsionalisme – juga berakar pada sosiologi keteraturan – yang berorientasi melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan (pragmatis) untuk memecahkan permasalahan-permasalahan praktis. Sebagaimana disampaikan Fakih, paradigma ini berkaitan erat dengan teori pembangunan seperti human capital theory dan modernisasi. Menurut para penganutnya, masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan dan melengkapi. Setiap bagian didalamnya berfungsi demi menjaga stabilitas dan perkembangan masyarakat. Relasi yang terjadi dari tiap bagian akan menyebabkan ketika satu bagian masyarakat berubah akan berpengaruh terhadap perubahan bagian lain untuk mencapai equilibrium. Oleh karenanya, konflik dalam paradigma fungsional harus dihindari karena dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan equilibrium. Paradigma yang dilandasi objektivisme ini berupaya melakukan rekayasa sosial dengan menekankan pada harmoni, stabilitas, dan keteraturan.
Jalan Alternatif Perubahan Sosial:
Integralisme Menjawab Tantangan Dunia-Baru
Dari sejumlah paradigma yang dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial dipahami sebagai upaya memperbaiki relasi sosial yang ada di masyarakat – terlepas pilihan paradigma, teori, dan metode yang hendak digunakan. Perbaikan relasi sosial itu diharapkan akan melahirkan hubungan sosial baru yang berkeadilan – Fakih mengistilahkan ini sebagai transformasi sosial, yakni sebuah jalan alternatif perubahan sosial yang berporos pada masyarakat di tingkat tapak. Dalam Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, ia menyatakan bahwa transformasi sosial merupakan penciptaan hubungan ekonomi, politik, kultural dan lingkungan yang secara mendasar baru dan lebih baik (Fakih, 1996).
“Nothing endures but change,” demikian ujar Herakleitos menjustifikasi keniscayaan perubahan dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Alam yang sangat dinamis meniscayakan adaptasi yang cepat pula. Demikian pula halnya perubahan sosial; alih-alih konsisten dengan satu metodologi, malah berdampak pada stagnasi gerakan dan tidak terealisasinya cita-cita perubahan sosial yang diharapkan.
Ilmu sosial modern – yang berbasiskan empirisme, telah memisahkan etika dari kajian mereka. Dampaknya adalah krisis etika (aksiologis) yang berimplikasi pada krisis ekologis akibat pemanfaatan sumberdaya ilmu dalam eksploitasi alam yang minor nilai. Demi mendapatkan keuntungan besar dari sektor sumberdaya alam, misalnya, rezim kapitalis dengan jejaring korporasinya tak segan membabat rata hutan dalam konsesi mereka. Tindakan itu dilakukan dengan sadar tanpa memikirkan relasi manusia dengan sumber-sumber penghidupan yang berasal dari hutan, juga relasi antara manusia dengan flora dan fauna yang hidup didalam ekosistem itu.
Fritjof Capra, seorang saintis-positivis, harus menoleh ke belahan dunia lain untuk mengkaji hikmah Timur. Capra menyaksikan rongrongan skeptisisme dan relativisme materialis di era kiwari justru mengkaramkan peradaban manusia modern. Senada dengan Capra, Arnold Toynbee menjadikan mental-spiritualitas atau agama sebagai lapisan inti peradaban umat manusia dalam karyanya A Study of History. Bahkan sains dan teknologi ditempatkan oleh Toynbee sebagai lapisan terluar peradaban.
Fenomena integralisme mensyaratkan adanya perumusan kembali gagasan perubahan sosial yang kontekstual dengan hambatan dan tantangan kontemporer. Ketika dunia-baru mengalami transformasi besar dengan integrasi ilmu, maka rekonstruksi gerakan sosial berbasis metode yang integralistik menjadi kebutuhan yang tak terelakkan untuk memecahkan stagnasi.
Naluri manusia, secara pasti, menuju pada satu titik pertemuan untuk memastikan keberlanjutan alam agar bisa dinikmati oleh generasi mendatang. Konvergensi teori-teori perubahan sosial lantas jadi fenomena ikutan. Idiom-idiom kolaborasi, sinergi dan integrasi yang kini lazim didengar merupakan indikasi gerakan baru itu.
Tentang Gerakan Sosial Baru
Integralisme memotori lahirnya sebuah gerakan yang lintas geografis, struktur yang lebih terbuka, desentralisasi, serta bebas sekat sektoral. Gerakan itu dinamai sebagai gerakan sosial baru atau new social movement. Kompleksitas paradigma, teori, metodologi, serta permasalahan yang dihadapi sudah melintasi dimensi yang dipahami sebelumnya.
Permasalahan ekosistem gambut, sebagai contoh, tak mungkin dilepaskan dari regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah, investasi berbasis hutan dan lahan, heterogentias manusia yang hidup diatasnya, pengetahuan masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut, faktor sejarah yang menghiasi setiap lapisannya, juga perkembangan teknologi yang kini begitu massif.
Gerakan sosial, menurut Anthony Giddens, merupakan upaya kolektif demi menggapai terwujudnya kepentingan bersama, mencapai tujuan bersama dengan cara tindakan kolektif (collective action) dan memposisikan diri sebagai gerakan yang berada di luar pemerintahan. Oleh Rajendra Singh, gerakan sosial dikategorikan menjadi gerakan sosial klasik, neo-klasik, dan kontemporer atau baru (Singh, 2010).
Kajian mengenai gerakan sosial baru muncul ke permukaan setelah gerakan skala besar atas isu-isu mendasar yang meliputi aspek humanis, kultural, dan nonmaterialistik. Sehingga, gerakan sosial baru bersifat lebih universal, dengan model yang tidak terjebak pada diskursus ideologi. Dalam Gerakan Sosial: Teori dan Praktik, Abdul Wahib Situmorang memaparkan bahwa gerakan ini memiliki ciri utama sebagai berikut: pertama, menempatkan aksi gerakan sosial menjadi suatu aksi kolektif yang memiliki nilai positif dan rasional; kedua, mengoreksi serta mengkontekstualisasikan teori-teori gerakan sosial pada era sebelumnya; ketiga, kajian gerakan sosial kian beraneka ragam karena semakin banyaknya praktik gerakan dan studi gerakan sosial di luar wilayah Amerika dan Eropa; keempat, gerakan sosial baru mampu mengidentifikasi faktor yang memfasilitasi berkembangnya gerakan, kekuatan atau kelemahan dan keberhasilan atau ketidakberhasilan dari suatu gerakan sosial (Situmorang, 2007).
Sederhananya, gerakan sosial baru menjelma menjadi upaya kolektif untuk memperjuangkan isu-isu universal. Misalnya Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, kemiskinan, masyarakat adat, lingkungan hidup dan perubahan iklim, serta antikorupsi dan atau inisiatif global open government partnership (OGP). Gerakan sosial baru telah melampaui kutub-kutub paradigma yang ada, tidak hanya teori bahkan lintas mazhab agama. Dalam Islam misalnya, perhatian terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pendidikan sudah sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan Khalifah penerusnya. Bahkan Syaidina Ali RA lewat ungkapan terkenalnya pernah mengatakan bahwa; ‘jika kemiskinan dan kebodohan itu berwujud seorang manusia, maka akulah orang pertama yang akan membunuhnya’.
Gerakan Itu Adalah Desa Peduli Gambut
Menyitir Rhenald Kasali dalam pengantar bukunya bertajuk Tomorrow is Today, yang mengatakan bahwa kita hidup pada era baru – disebut dengan disruption era, yang mengharuskan kita tidak hanya berhenti pada sustaining innovation, melainkan melakukan disruptive innovation. Inovasi ini tidak hanya mengubah bentuk, ukuran, dan desain. Namun inovasi menyeluruh yang mengubah metode, cara kerja, bahkan produk yang tidak lagi relevan (Kasali, 2018).
Demikian halnya dengan Desa Peduli Gambut (DPG) yang diluncurkan oleh Kedeputian Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut RI di tujuh provinsi target restorasi gambut. DPG – yang dirancang sebagai kerangka penyelaras program dan kegiatan di desa-desa gambut serta menjadi alat ukur bersama untuk menetapkan kontribusi program pada capaian kemajuan desa – merupakan cara BRG melakukan adaptasi terhadap disrupsi yang menghendaki pendekatan multi-teori dan dimensi.
Konvergensi berbagai paradigma dan teori sosial yang dipaparkan di atas diharapkan menghasilkan tesis baru yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungannya, sebagaimana upaya BRG menerapkan strategi restorasi gambut dengan rewetting, revegetasi, dan revitalisasi berbasis komunitas desa di tingkat tapak. Melalui BRG, pemerintah menyiapkan instrumen legal bagi masyarakat di tingkat tapak untuk berkontribusi terhadap pelestarian ekosistem gambut di Indonesia. Ditunjang dengan pendekatan pembangunan desa berbasis lansekap ekosistem gambut, BRG berupaya menjahit dan merekatkan kerjasama desa-desa yang berada dalam Kawasan Perdesaan Gambut.
Program restorasi gambut melalui DPG merupakan konvergensi paradigma humanis radikal & struktural fungsional; berpijak pada kesadaran subjektivisme masyarakat desa dan objektivisme rekayasa sosial untuk mewujudkan harmoni dan equality. Tujuh kegiatan utama DPG bisa menjadi indikator implementasi tesis baru ini, yakni 1), Pendampingan Desa dan Komunitas; 2) Pemetaan sosial, ekonomi dan spasial; 3) Integrasi restorasi gambut dalam dokumen perencanaan desa (RPJMDes, RKPDes, APBDes); 4) Penguatan institusi dan regulasi lokal (Perdes, Perkades, SK Kades, Pokmas, MPA, Poktan); 5) Pemberdayaan ekonomi (pelatihan, bantuan ekonomi produktif, penguatan BUMDes, produk unggulan); 6) Penguatan inovasi lokal dan teknologi tepat guna (sekolah lapang petani gambut, seniman pangan, dan kerajinan); dan 7) Resolusi konflik dan pemantauan restorasi gambut.
Imagined communities, kembali mengutip Anderson, menggambarkan keterlibatan setiap elemen dalam masyarakat – mulai dari pemerintah pusat hingga desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta komunitas desa bersama para fasilitator – dalam menjaga kelestarian ekosistem gambut. Dengan demikian, Desa Peduli Gambut adalah sebuah ‘rumah perubahan’ yang didalamnya berinteraksi berbagai elemen masyarakat. Aparatur pemerintah desa, petani gambut, kelompok perempuan, penyuluh agama, guru sekolah, pemuda dan pelajar, berkolaborasi dan bersinergi dalam gerakan sosial baru melalui kemasan program DPG.
Kegiatan DPG menghasilkan beberapa capaian, diantaranya profil desa yang disahkan dan menjadi dokumen resmi pemerintah desa. Profil desa selain berisi informasi sosial-ekonomi, juga termasuk peta administrasi, tata guna dan penguasaan lahan. Dokumen ini dapat membantu pemerintah desa sebagai rujukan data untuk menyusun perencanaan desa. Selain itu Perdes dan SK Kades terkait agenda restorasi gambut. Desa-desa yang beririsan dengan kawasan hutan juga difasilitasi usulan perhutanan sosial. Adanya ribuan kader sekolah lapang telah dilatih dan mempraktekkan metode pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB) di demplot desanya. Guru-guru SD dari desa gambut dilatih metode pengajaran mengenal ekosistem gambut sejak dini. Begitu juga para juru dakwah di desa dilibatkan sebagai Da’i gambut. BRG bersama MUI membuat panduan dakwah restorasi gambut. Simpul-simpul masyarakat, aparatur desa dan pemuda dilatih menjadi paralegal. BRG bekerjasama dengan BPHN-KemenkumHAM RI menyusun kurikulum pelatihannya. Ibu-ibu kelompok dilatih mengemas berbagai produk pangan dan kerajinan, hingga dikenalkan dengan platform pemasaran digital secara online. Fasilitator desa memfasilitasi pembentukan MPA atau Satgas Karhutla, penguatan kelompok tani, pendampingan demplot, BUMDes, produk unggulan, serta mengawal proses musyawarah desa dalam penyusunan RKPDes untuk mengintegrasikan agenda restorasi gambut dalam kebijakan perencanaan desa. Berbagai capaian dari kegiatan DPG tersebut secara faktual juga berkontribusi pada target Kementerian Desa PDTT untuk meningkatkan status Indeks Desa Membangun (IDM). Bahkan saat Menteri Desa PDTT baru-baru ini melaunching SDGs Desa dengan menjadikan Desa sebagi ujung tombak pencapaian indikator SDGs global, program DPG diyakini akan menyumbang capaian beberapa indikator SDGs Desa tersebut.
Dengan demikian, tentu tidak berlebihan untuk menyebut bahwa Desa Peduli Gambut sebagai arus baru perubahan sosial di Indonesia.
Penutup: Cinta dan Daya Ungkit Perubahan
Daya ungkit perubahan sosial melalui program DPG mensyaratkan adanya keselarasan gerak antara desain program, dukungan sumberdaya, profesionalime aparatur dan militansi fasilitator desa sebagai ujung tombak pelaksana program ditingkat tapak. Anak-anak muda ini merepresentasikan ‘negara hadir’ di desa melalui program DPG. Mereka menemukan dunianya saat berinteraksi dengan masyarakat dilapangan. Bahkan ada sebagian dari mereka yang betah tinggal di desa dan menjadi bagian dari masyarakat desa. Hampir seluruh kegiatan yang formal maupun sosial kebudayaan, mereka tidak pernah absen. Itulah ‘roh’ pengorganisasian masyarakat yang mereka implementasikan dengan berbagai pendekatan dan inovasi. Tidak sedikit dari mereka yang membuat ‘kejutan yang membanggakan’ dengan capaian diluar dari target output yang telah ditetapkan. Mereka bekerja melampaui dari yang telah dimandatkan, atau ‘ultra-mandatory’. Kreatifitas dan inovasi para pendamping lapangan ini bukan tanpa sebab. Program DPG memang memberikan ruang yang leluasa bagi mereka untuk mengeksplorasi bakat, minat dan kapasitasnya. Disisi lain, sistem pendukung yang disiapkan BRG melalui pelaksana program DPG saling memperkuat itu. Begitu juga para pimpinan, pengambil keputusan, pelaksana kegiatan hingga tingkat daerah berangkat dari semangat yang sama. Ada kesatuan atau collectivity action dalam lingkup keluarga besar pelaksana program DPG dari atas hingga bawah.
Kesadaran kolektif yang melahirkan kesatuan gerak langkah initentu muncul bukan tanpa alasan. Ada nilai besar yang merekatkan setiap unsur itu, yakni cinta. Cinta yang menempatkan kita dalam posisi untuk mampu menunjukkan empati dalam upaya pelestarian gambut, melahirkan tanggungjawab yang altruistik – tidak hanya kepada sesama manusia, juga terhadap alam. Sebuah altruisme prophetic yang dititipkan Tuhan kepada manusia dalam menjalani tugasnya sebagai khalifah filardhi: menebar kasih pada sesama. “Dalam kasih sayang dan berkah, jadilah seperti matahari,” kata Maulana Rumi.
Penulis: Hermawansyah
(Dinamisator BRG Kalbar)