KALBAR SATU ID – Dari Resolusi Jihad ke Resolusi Peradaban.
Sejarah mencatat bahwa pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari memimpin fatwa “Resolusi Jihad”, yang mewajibkan umat Islam berjuang mempertahankan kemerdekaan. Dari titik itulah lahir semangat santri untuk mengawal Indonesia, bukan semata dengan pedang dan bambu runcing, tetapi dengan ilmu, doa, dan keikhlasan.
Kini, delapan puluh tahun setelah Proklamasi, tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Mulia” menjadi sangat kontekstual. Mengawal berarti menjaga arah; sedangkan peradaban mulia menandakan orientasi luhur bangsa, bukan hanya makmur secara ekonomi, tetapi juga beradab secara moral dan spiritual.
Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menjelaskan bahwa realitas sosial dibentuk melalui proses konstruksi makna bersama (social construction of reality). Maka, santri dan pesantren bukan sekadar pewaris sejarah, tetapi aktor kultural yang berperan dalam membangun makna baru tentang keindonesiaan.
Mereka tidak boleh hanya menjadi “korban” framing media, tetapi harus menjadi pencipta narasi, sebagaimana para kiai dahulu mencipta narasi jihad kemerdekaan yang menggugah bangsa.
Mengawal Indonesia dalam Era Disrupsi
Jika pada masa kolonial santri menghadapi penjajahan fisik, maka hari ini mereka berhadapan dengan penjajahan digital. Media sosial sering menjadi medan perang persepsi, tempat kebenaran bukan lagi ditentukan oleh fakta, tetapi oleh viralitas persepsi.
Dalam kerangka teori komunikasi kritis Jurgen Habermas, ruang publik (public sphere) harus diisi oleh diskursus rasional dan etis, bukan oleh ujaran kebencian dan manipulasi persepsi.
Maka, peran santri di era digital adalah mengisi ruang publik dengan nilai-nilai ukhuwah, tawassuth, dan hikmah.
Jika ruang itu kosong, maka narasi negatif akan menguasai, dan kemudian menimbulkan fitnah terhadap kiai, pesantren, dan Islam itu sendiri.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan katakanlah kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir.”
(QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Ayat ini menegaskan kemerdekaan berpikir dan berkeyakinan, yang juga menjadi dasar demokrasi dan kebebasan akademik. Santri masa kini harus menjaga kemerdekaan berpikir dengan ilmu, bukan dengan emosi. Dengan demikian, “mengawal Indonesia merdeka” berarti menjaga nalar publik tetap sehat, agar kebebasan tidak berubah menjadi kebiadaban digital.
Dalam teori pembangunan manusia Amartya Sen, kemerdekaan sejati bukan sekadar terbebas dari penindasan, tetapi kemampuan setiap individu untuk mewujudkan potensinya.
Sen menyebutnya sebagai “capability approach”, kemampuan untuk menjalani hidup yang bernilai.
Jika teori ini kita tafsirkan secara kepesantrenan, maka pesantren telah lama menjalankan model pembangunan berbasis capability yakni membangun manusia dengan ilmu dan adab. KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menekankan bahwa ilmu tanpa adab tidak akan membawa manfaat. Artinya, pesantren menumbuhkan manusia yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga halus hatinya.
“Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Mulia” berarti mengokohkan model pembangunan pesantren,
pembangunan yang berawal dari hati, bermuara pada kemanusiaan, dan berorientasi pada kemaslahatan publik (public good).
Pesantren sebagai Lembaga Sosial dalam Perspektif Teori Fungsionalisme
Dalam pandangan Talcott Parsons, masyarakat bertahan karena lembaga-lembaganya berfungsi menjaga keseimbangan sosial. Pesantren adalah lembaga fungsional yang telah berperan selama ratusan tahun menjaga empat pilar sistem sosial yakni pertama, adaptasi, Pesantren mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitas. Kedua, Goal Attainment dimana Pesantren memiliki tujuan jelas yakni mencetak manusia berilmu dan berakhlak. Ketiga adalah Integration yaitu pesantren mempersatukan lapisan masyarakat dari berbagai latar sosial. Keempat, Latency bahwa pesantren melestarikan nilai, budaya, dan spiritualitas bangsa.
Dengan kerangka tersebut, kita memahami bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, melainkan institusi peradaban. Maka, “peradaban mulia” yang dimaksud dalam tema HSN 2025 bukanlah sekadar simbol, melainkan realitas sosial yang dihasilkan dari keseimbangan fungsi itu.
Quo Vadis dan Tantangan Framing Negatif di Media Sosial
Beberapa tahun terakhir, muncul framing negatif terhadap pesantren, yakni mulai dari tudingan tertutup, konservatif, feodal hingga dikaitkan dengan kasus-kasus kekerasan.
Padahal, secara struktural, pesantren adalah lembaga yang sangat terbuka terhadap kontrol sosial dan bahkan negara. Isu ini lebih tepat dibaca sebagai gejala dari apa yang disebut Noam Chomsky sebagai “manufacturing consent” yakni upaya media membentuk opini publik untuk kepentingan tertentu.
Jika santri tidak aktif mengisi ruang digital, dan media sosial, maka citra pesantren akan terus disetir oleh pihak luar. Karena itu, literasi digital menjadi bagian dari jihad baru bagi para santri.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad)
Dalam konteks modern, manfaat itu bisa berupa tulisan, konten edukatif, klarifikasi hoaks, atau dakwah santun di ruang maya. Itulah jihad naratif yang harus dihidupkan oleh santri dan pesantren hari ini.
Arah Baru Gerakan Santri dan Pesantren. Santri masa depan tidak cukup hanya ahli kitab, tetapi juga ahli data, ahli sosial, ahli teknologi.
Peradaban mulia tidak mungkin dibangun tanpa penguasaan ilmu pengetahuan dan kemampuan adaptif terhadap perubahan zaman.
KH. Ahmad Siddiq pernah menegaskan bahwa “Islam tidak menolak modernitas, tetapi menolak sekularisasi nilai.” Artinya, santri harus hadir dalam ruang modernitas dengan membawa nilai, bukan meninggalkannya.
Mengawal dengan Spirit Keagamaan dan Kebangsaan.
Mengawal Indonesia berarti menjaga dua pilar besar yakni agama dan negara. KH. Wahid Hasyim pernah menyebut bahwa “agama dan negara bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, tetapi dua sayap burung yang harus terbang seimbang.”
Dalam kerangka itu, pesantren menjadi tempat pengasuhan nilai kebangsaan yang berakar dari agama. Nilai hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman) bukan jargon, tetapi doktrin sosial yang dihidupkan di pesantren.
Rasulullah SAW pun mengajarkan kecintaan pada tanah kelahirannya. Dalam hadis diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah hijrah dari Mekah beliau menoleh seraya bersabda:
“Demi Allah, engkau adalah negeri Allah yang paling kucintai, sekiranya kaummu tidak mengusirku, aku tidak akan keluar darimu.”
(HR. Tirmidzi)
Itulah semangat santri sejati yakni mencintai tanah air, bukan karena nasionalisme sempit, tetapi karena cinta kepada makhluk Allah yang diberi amanah sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang baik dengan Tuhan Yang Maha Pengampun.
Dari Resolusi Jihad ke Resolusi Akhlak
Jika dulu santri berjihad dengan bambu runcing, kini mereka berjihad dengan pena, kamera, dan gawai. Jika dulu musuhnya penjajah, kini musuhnya hoaks, fitnah, dan dekadensi moral. Jika dulu perjuangannya mempertahankan kemerdekaan, kini perjuangannya menjaga martabat dan akhlak bangsa.
“Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Mulia” bukan sekadar tema seremonial. Ia adalah panggilan spiritual dan intelektual agar santri bangkit menjadi subyek peradaban. Karena peradaban tidak lahir dari senjata, tetapi dari ilmu, iman, dan akhlak.
Santri dan pesantren adalah penggerak perubahan itu. Mereka bukan sekadar pewaris masa lalu, tetapi pengawal masa depan. Dari pesantren, lahir peradaban yang teduh. Dari santri, terbit cahaya ilmu dan akhlak. Dan dari kiai, mengalir doa yang tak pernah padam untuk Indonesia yang merdeka, beradab, dan mulia.
Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH., Dekan FISIP UNIRA Malang dan Wakil Sekretaris PCNU Kab Malang.






