Saat Penjarahan Jadi Bahasa Politik: Membaca Amuk Massa dalam Perspektif Psikologi dan Politik

Saat Penjarahan Jadi Bahasa Politik: Membaca Amuk Massa dalam Perspektif Psikologi dan Politik
Foto/istimewa.

KALBAR SATU ID – Dalam sejarah peradaban, amuk massa kerap menjadi fenomena sosial yang mengganggu stabilitas, tetapi sekaligus menyingkap dinamika psikologi dan politik masyarakat. Fenomena penjarahan yang biasanya menyertai aksi massa sering dianggap sebagai tindakan kriminal murni. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, penjarahan mengandung pesan sosial, psikologis, bahkan politik yang tidak dapat diabaikan.

Peristiwa penjarahan rumah pejabat dua hari lalu oleh warga, perlu kita telaah lagi, bahwa penjarahan itu bukan sekadar sebagai tindak kriminal, melainkan sebagai bentuk ritual sosial dan protes politik terhadap ketidakadilan struktural dan kesenjangan sosial.

De-individuasi dan Psikologi Massa

Psikologi sosial menjelaskan bahwa dalam situasi normal, individu cenderung menahan diri untuk tidak melanggar hukum meski menghadapi tekanan hidup. Namun, ketika amuk massa pecah, kendali psikologis itu lenyap. Dalam kerumunan, identitas pribadi larut menjadi identitas kolektif. Fenomena ini dikenal sebagai de-individuasi, di mana rasa takut terhadap hukuman berkurang karena tanggung jawab tersebar di antara banyak orang.

Dalam kondisi tersebut, seseorang merasa bebas melakukan tindakan yang biasanya ia hindari, termasuk penjarahan. Tindakan ini tidak hanya soal memenuhi kebutuhan dasar, melainkan juga ekspresi psikologis atas luka sosial akibat kesenjangan. Dengan demikian, penjarahan dapat dimaknai sebagai saluran emosi kolektif yang selama ini ditekan oleh kemiskinan dan ketakutan.

Amarah Sosial dan Simbol Kemewahan

Teori psikologi kolektif menegaskan bahwa massa cenderung mengekspresikan kemarahan pada objek konkret yang terlihat, bukan pada struktur kekuasaan yang abstrak. Simbol kemewahan seperti istana, rumah mewah, pusat perbelanjaan elit, kolam renang pribadi, atau mobil mewah menjadi sasaran karena dianggap representasi nyata dari kesenjangan sosial.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kesenjangan bukan hanya menyangkut perut kosong, tetapi juga luka psikologis akibat penghinaan simbolik. Simbol kemewahan elit menjadi panggung balas dendam sosial yang menegaskan jarak antara “mereka yang berkuasa” dan “kami yang ditindas.”

Perspektif Teori Konflik

Dari perspektif teori konflik, penjarahan dapat dibaca sebagai bentuk protes radikal terhadap struktur sosial yang timpang. Ketika sistem hukum dan politik dianggap gagal menjamin keadilan, masyarakat memilih mengambil alih dengan caranya sendiri. Penjarahan menjadi ekspresi penolakan terhadap legitimasi hukum negara yang dipandang hanya melindungi minoritas berkuasa.

Dalam konteks ini, penjarahan bukan sekadar kejahatan, melainkan pernyataan politik, sebuah pesan keras bahwa sistem telah gagal memenuhi hak-hak dasar rakyat. Dengan merebut simbol kemewahan, massa menegaskan klaim atas sumber daya yang selama ini dirampas.

Perspektif Budaya: Penjarahan sebagai Simbol Pembalikan Hierarki

Selain aspek psikologis dan konflik struktural, penjarahan juga dapat dipahami dalam perspektif budaya. Ruang-ruang eksklusif yang biasanya hanya dapat diakses oleh elit, tiba-tiba dikuasai oleh massa. Peristiwa ini mengandung makna simbolik, bahwa runtuhnya batas sosial antara yang berkuasa dan yang dipinggirkan, meski hanya sesaat.

Penjarahan, dalam konteks ini, dapat dipandang sebagai ritual pembalikan hierarki, sebuah panggung simbolik di mana rakyat membalikkan posisi kekuasaan untuk menegaskan eksistensi dan harga diri mereka.

Melihat fenomena penjarahan hanya dari kacamata hukum sempit akan menutup mata terhadap dimensi psikologis, sosiologis, dan politis yang melatarbelakanginya. Penjarahan lahir dari frustrasi panjang akibat ketidakadilan struktural, kesenjangan sosial, dan penghinaan simbolik.

Dengan demikian, penjarahan adalah fenomena multidimensional, ia adalah tindak kriminal sekaligus ritual sosial, tindakan spontan sekaligus pesan politik. Bagi negara, memahami makna di balik penjarahan lebih penting daripada sekadar mengutuknya. Sebab pada akhirnya, penjarahan adalah tanda bahaya, ketika keadilan gagal ditegakkan dari atas, rakyat akan menuntut dan mengambilnya dari bawah.

Penulis: HUSNUL HAKIM SY, MH (Dekan FISIP UNIRA Malang), Pemerhati kebijakan dan hukum

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait