Ketika Negara Absen: Pesantren, Aset Bangsa yang Dipaksa Mandiri

Husnul Hakim SY, MH, Dekan FISIP Unira Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.
Husnul Hakim SY, MH, Dekan FISIP Unira Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

KALBAR SATU ID – Tragedi runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, beberapa waktu lalu, menyisakan duka mendalam. Korban luka, trauma, dan kehilangan tentu menjadi luka nyata yang dirasakan oleh keluarga besar pesantren dan masyarakat sekitarnya. Namun di tengah kepiluan itu, publik terlalu cepat menunjuk jari. “Mengapa bangunannya tidak standar?” begitu komentar yang berseliweran di ruang-ruang digital.

Pertanyaan itu sah, tetapi terlalu dangkal. Ia berhenti di permukaan, seolah-olah akar persoalan hanya soal kualitas bangunan. Padahal, di balik bata dan semen yang runtuh itu, ada kisah panjang tentang bagaimana pesantren dipaksa bertahan sendiri, tanpa sokongan nyata dari negara yang kerap memuji mereka sebagai “aset moral bangsa”.

Ketika Bantuan Hanya Jadi Tumpukan Berkas

Mari kita bertanya lebih jujur, di mana negara ketika pesantren harus memutar otak membangun asrama santri dari dana kas seadanya? Di mana perhatian pemerintah ketika proposal bantuan yang mereka kirim hanya menjadi tumpukan berkas di meja birokrasi?

Tak jarang, izin pembangunan dipersulit. Mekanisme bantuan harus melewati verifikasi berlapis yang tidak ramah bagi lembaga seperti pesantren. Akibatnya, para kiai dan pengurus pesantren memilih membangun seadanya, bukan karena abai terhadap standar keselamatan, melainkan karena kebutuhan mendesak. Ketika santri terus bertambah, ruang belajar dan asrama harus segera disediakan. Di tengah keterbatasan, pilihan itu menjadi keniscayaan.

Sungguh ironis, pesantren yang telah berabad-abad menjadi penjaga nilai-nilai moral bangsa justru sering kali berjuang dalam kesunyian. Di saat lembaga pendidikan formal lain menikmati fasilitas megah dari negara, pesantren membangun dari gotong royong jamaah dan bantuan masyarakat.

Namun ketika musibah datang, pesantren pula yang pertama disalahkan. Seolah-olah mereka yang salah karena berani membangun dengan keterbatasan. Padahal, di balik dinding yang retak itu, ada sistem kebijakan publik yang jauh lebih retak, yakni sistem yang gagal menghadirkan keadilan bagi lembaga pendidikan keagamaan yang sesungguhnya menjadi benteng karakter bangsa.

Pesantren: Pilar Moral Bangsa yang Dibiarkan Rapuh

Kemandirian pesantren sering dipuji, bahkan dijadikan simbol ketangguhan umat. Tapi mari kita jujur, kemandirian itu bukan hasil dari keberpihakan negara, melainkan hasil dari keterpaksaan.

Pesantren berdiri di atas nilai perjuangan. Ia tumbuh dari tangan-tangan ikhlas kiai dan santri yang rela hidup sederhana demi mengajarkan agama dan moralitas. Namun romantisme itu sering disalahartikan. Negara seakan-akan beranggapan bahwa karena pesantren bisa mandiri, maka mereka tak perlu dibantu.

Padahal, dalam logika kebijakan publik, lembaga yang berperan penting dalam membangun karakter bangsa semestinya mendapat dukungan prioritas. Pesantren bukan sekadar tempat mengaji, ia adalah institusi sosial yang membentuk watak dan karakter untuk memperkuat moderasi beragama, dan menjadi jangkar ketahanan moral masyarakat.

Sayangnya, pengakuan itu baru berhenti di tataran retorika. Negara hadir hanya saat simbol diperlukan. Saat bencana datang, tangannya terlambat menjangkau, tapi saat pemilu tiba, langkahnya paling cepat menuju pesantren.

Politik dan Pesantren: Cinta Musiman yang Penuh Kepentingan

Fenomena “romantisme politik” terhadap pesantren selalu berulang setiap lima tahun. Para tokoh datang berduyun-duyun, membawa senyum dan janji, memuji pesantren sebagai benteng moral bangsa. Mereka menyalami para kiai, duduk di serambi, dan menyebut pesantren sebagai penopang peradaban.
Kalimat ini sangat indah sekali didengar, namun kosong dalam kenyataan.

Namun kita tahu, kedatangan itu lebih banyak didorong oleh aroma elektoral. Pesantren dijadikan ladang suara, bukan subjek kebijakan. Setelah masa kampanye berlalu, perhatian itu hilang bersama baliho yang diturunkan.

Ironinya, di musim politik, pesantren dianggap mitra strategis. Tapi di musim sepi, mereka kembali menjadi “anak tiri” pembangunan. Padahal, pesantren tak hanya mencetak santri yang taat beribadah, tapi juga kader bangsa yang berintegritas, guru, birokrat, hingga pemimpin masyarakat.

Sikap negara yang hanya datang saat butuh suara, lalu pergi ketika tanggung jawab sosial menuntut hadir, adalah bentuk pengkhianatan moral terhadap sejarah pesantren di Indonesia.

Payung Hukum yang Belum Meneduhkan

Secara yuridis, negara telah mengakui pesantren melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-undang itu menyebut bahwa pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional sekaligus lembaga dakwah dan pemberdayaan masyarakat.

Secara konsep, ini adalah langkah maju. Namun di lapangan, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak pesantren yang bahkan belum merasakan manfaat langsung dari undang-undang tersebut. Bantuan pemerintah yang dijanjikan sering tak kunjung turun, atau tersendat karena syarat administrasi yang rumit.

Regulasi memang ada, tapi birokrasi membuatnya tak efektif. Akibatnya, pesantren tetap mengandalkan gotong royong masyarakat. Padahal jika negara sungguh serius, mereka bisa menghadirkan kebijakan afirmatif, misalnya dana abadi pesantren, skema hibah berbasis prestasi, atau bantuan teknis pembangunan yang berkeadilan.

Undang-undang yang tidak dibarengi keberpihakan anggaran hanyalah “janji hukum” tanpa makna. Ia hadir di atas kertas, tapi absen di lapangan.

Negara Harus Belajar dari Tragedi

Tragedi di Sidoarjo seharusnya menjadi cermin, bukan sekadar berita yang cepat dilupakan. Musibah itu mengingatkan kita bahwa membiarkan pesantren bertahan sendirian sama saja membiarkan bom waktu sosial.

Negara tidak bisa terus bersembunyi di balik dalih administrasi. Ketika nyawa santri melayang karena bangunan tak layak, itu bukan sekadar kelalaian pesantren, tapi juga kegagalan negara dalam memastikan keselamatan warganya.

Tanggung jawab atas keselamatan pendidikan bukan hanya milik sekolah negeri. Santri pun warga negara. Mereka berhak atas fasilitas yang aman, lingkungan yang layak, dan kebijakan yang berpihak.

Sudah saatnya negara meninjau ulang pendekatan terhadap pesantren. Bukan dengan belas kasihan, melainkan dengan kesetaraan. Pesantren tidak butuh dikasihani, mereka hanya butuh diakui secara nyata, bahwa perjuangan mereka layak mendapat dukungan struktural, bukan sekadar apresiasi simbolik.

Kemandirian yang Perlu Diperkuat, Bukan Ditinggalkan

Tidak ada yang salah dengan semangat kemandirian pesantren. Tapi kemandirian bukan berarti dibiarkan sendirian. Negara seharusnya hadir untuk memperkuat, bukan mengabaikan.

Dukungan pemerintah tidak harus menghilangkan karakter mandiri pesantren. Justru dengan fasilitasi yang tepat, pesantren dapat berkembang lebih profesional tanpa kehilangan ruh keikhlasannya.

Negara bisa, misalnya, memfasilitasi pelatihan manajemen pesantren, mendampingi legalitas aset, dan memberi insentif bagi pesantren yang membuka inovasi sosial. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi lembaga keagamaan, tetapi juga pusat pemberdayaan ekonomi dan sosial.

Jika negara benar-benar hadir, maka tragedi seperti di Sidoarjo tidak akan lagi terulang. Santri bisa belajar dengan aman, kiai bisa mengajar tanpa dihantui rasa waswas, dan masyarakat bisa percaya bahwa negara tidak hanya hadir di saat kampanye.

Pesantren dan Masa Depan Bangsa

Tidak bisa disangkal, pesantren adalah benteng terakhir moral bangsa. Di saat dunia dilanda krisis etika, pesantren tetap menjadi ruang di mana kejujuran, kesederhanaan, dan ketulusan masih diajarkan sebagai nilai hidup.

Dalam sejarahnya, pesantren bukan hanya mencetak ulama, tetapi juga pejuang kemerdekaan, pendidik, dan penggerak masyarakat. Para kiai tak hanya berjuang dengan doa, tetapi juga dengan darah dan pengorbanan. Mereka mendirikan lembaga pendidikan bukan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk menyelamatkan akhlak bangsa.

Namun kini, perjuangan itu seolah berjalan tanpa pendampingan negara. Padahal, tanpa pesantren, bangsa ini akan kehilangan akar spiritual dan moralnya. Maka ketika pesantren runtuh, secara fisik maupun sistemik. Sesungguhnya yang runtuh adalah kesadaran kolektif kita sebagai bangsa yang berhutang budi kepada mereka.

Akhirnya, Ini Tentang Keberpihakan

Tragedi di pesantren tidak boleh hanya dibaca sebagai peristiwa teknis. Ia adalah peringatan moral bahwa negara telah terlalu lama absen dalam mengurusi lembaga-lembaga yang justru menopang karakter bangsa.

Ini bukan soal mencari kambing hitam, melainkan soal tanggung jawab bersama. Negara harus hadir dengan empati yang konkret, bukan hanya ucapan belasungkawa. Harus ada perubahan paradigma, dari memuji pesantren di podium menjadi mendukung mereka di lapangan.

Keadilan sosial hanya mungkin terwujud jika negara tidak membedakan antara lembaga pendidikan berbasis agama dan umum. Pesantren tidak butuh dipolitisasi, mereka butuh perlindungan. Tidak butuh janji kampanye, tapi komitmen kebijakan.

Jika negara terus abai, maka setiap tragedi di pesantren bukan lagi takdir, melainkan akibat dari kelalaian struktural yang disengaja. Dan jika itu dibiarkan, yang akan runtuh bukan hanya bangunan pesantren, tetapi juga martabat kebangsaan kita sendiri.

Penulis: Husnul Hakim SY, MH, Dekan FISIP Unira Malang, Pemerhati Kebijakan dan Hukum.

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan