Ketika Niat Mendidik Berujung Jerat Hukum: Dilema Guru Masa Kini

Bayu, M.Pd, Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS).
Bayu, M.Pd, Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS).

KALBAR SATU ID – Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di Indonesia sering diguncang oleh kasus guru yang dilaporkan ke pihak berwajib karena dianggap melakukan kekerasan terhadap siswa. Salah satu contoh yang sering mencuat adalah ketika seorang guru menampar siswa yang kedapatan merokok di sekolah.

Tindakan spontan yang dilandasi niat untuk mendidik itu justru berujung pada pelaporan hukum. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: masihkah guru punya ruang untuk menegakkan disiplin tanpa takut kriminalisasi?

Guru sejatinya bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik dan pembentuk karakter. Dalam tugasnya, guru tidak hanya bertanggung jawab pada aspek kognitif, tetapi juga moral dan sosial siswa. Namun, di tengah perkembangan zaman dan regulasi perlindungan anak, posisi guru kini berada di persimpangan yang rumit. Setiap bentuk teguran keras atau sanksi disiplin berpotensi disalahartikan sebagai kekerasan fisik atau psikis, padahal niatnya adalah pembinaan.

Perubahan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan juga berpengaruh besar. Dahulu, guru dianggap sebagai sosok yang sangat dihormati dan tak boleh dibantah. Kini, sebagian orang tua lebih cepat bereaksi emosional ketika anaknya ditegur atau diberi hukuman di sekolah. Alih-alih membangun komunikasi dan mencari solusi bersama, tidak sedikit yang langsung menempuh jalur hukum. Akibatnya, relasi antara guru dan orang tua menjadi renggang, dan siswa pun kehilangan rasa segan terhadap pendidik.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memang memberi payung hukum penting agar anak terhindar dari kekerasan. Namun, penerapannya di dunia pendidikan perlu kebijaksanaan dan pemahaman konteks. Tidak semua tindakan tegas dari guru bisa dikategorikan sebagai kekerasan. Ketika niat mendidik disamakan dengan tindak kekerasan, maka wibawa guru menjadi taruhannya. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengikis semangat para pendidik untuk menegakkan disiplin.

Guru yang takut disalahkan akhirnya memilih bersikap pasif. Banyak yang enggan menegur siswa karena khawatir dipersoalkan. Kondisi ini tentu berbahaya bagi dunia pendidikan. Sekolah bisa kehilangan fungsi pembentukan karakter jika guru hanya menjadi pengajar pasif yang tak berani menindak pelanggaran. Di sisi lain, siswa justru kehilangan figur otoritatif yang bisa menuntun mereka memahami batas perilaku yang benar dan salah.

Namun, guru pun perlu beradaptasi dengan perubahan zaman. Tindakan fisik seperti tamparan, cubitan, atau bentakan tidak lagi dapat dibenarkan dalam konteks pendidikan modern. Pembinaan harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan komunikatif. Konseling, diskusi, dan kerja sama dengan orang tua merupakan langkah yang lebih efektif dan sesuai dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang kini dikedepankan.

Kasus guru yang terjerat hukum seharusnya menjadi cermin, bukan momok. Dunia pendidikan perlu mengevaluasi sistem pembinaan dan membuat pedoman yang jelas tentang batas antara tindakan mendidik dan kekerasan. Pemerintah dan lembaga pendidikan juga wajib melindungi guru yang bertindak dalam koridor profesionalitas. Perlindungan hukum bagi guru harus seimbang dengan perlindungan anak agar keduanya tidak saling meniadakan.

Selain itu, peran orang tua sangat penting. Mereka perlu memahami bahwa sekolah adalah tempat pendidikan karakter, bukan hanya tempat belajar pelajaran akademik. Ketika anak melanggar aturan, bentuk teguran atau sanksi wajar harus diterima sebagai bagian dari proses belajar tanggung jawab. Kolaborasi antara guru dan orang tua menjadi kunci agar pembinaan tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Di tengah kemajuan zaman, profesi guru semakin penuh tekanan. Mereka dituntut menjadi pendidik yang bijak, sabar, profesional, dan berintegritas tinggi. Namun di sisi lain, guru juga manusia yang bisa khilaf dan memiliki emosi. Maka, perlu sistem pendukung yang kuat, seperti pelatihan manajemen emosi dan perlindungan hukum profesi, agar guru tidak terus menjadi korban dari niat baik yang disalahartikan.

Akhirnya, dilema antara niat mendidik dan jerat hukum menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya soal pengetahuan, tetapi juga nilai, empati, dan keadilan. Masyarakat perlu memandang guru sebagai mitra dalam membangun generasi, bukan lawan dalam mencari kesalahan. Sebab jika guru terus dibungkam oleh ketakutan, maka pendidikan kehilangan ruhnya, dan masa depan anak-anak kita menjadi taruhannya.

Penulis: Bayu, M.Pd, Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS).

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan