Maulid Nabi: Menyulam Cinta, Menyatukan Bangsa

Buhori (Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW Ansor Kalbar)
Buhori (Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW Ansor Kalbar).

KALBAR SATU, OPINI – Saat ini, umat Islam di Indonesia dan di berbagai penjuru dunia tengah memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H, salah satu hari besar yang sarat makna bagi umat Islam.

Peringatan ini seharusnya menjadi momentum yang penuh dengan cinta, kedamaian, serta renungan spiritual atas keteladanan Rasulullah SAW.

Namun, di tengah gegap gempita perayaan tersebut, bangsa Indonesia justru sedang menghadapi ujian berat. Dalam beberapa hari terakhir, gelombang demonstrasi merebak di berbagai kota.

Aksi-aksi yang awalnya bertujuan untuk menyuarakan aspirasi rakyat, kini sering berakhir ricuh dan anarkis. Kericuhan pun terjadi di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, bahkan hingga ke Pontianak.

Fasilitas umum dirusak, gedung parlemen dibakar, dan korban jiwa mulai berjatuhan. Seorang pengemudi ojek online dilaporkan meninggal dunia setelah tertabrak kendaraan aparat.

Bahkan, muncul aksi penjarahan di rumah sejumlah anggota DPR RI, yang beberapa waktu ini dinilai publik kerap melukai hati rakyat melalui pernyataan maupun sikapnya.

Tak ayal, situasi ini menjadi sorotan tajam media asing. Mereka menyoroti kemarahan rakyat terhadap elit politik dan menegaskan adanya luka sosial yang semakin dalam di negeri kita.

Indonesia digambarkan sebagai negara yang sedang “tidak baik-baik saja.”
Demonstrasi yang terjadi merupakan akumulasi dari kekecewaan publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat.

Protes muncul hampir di setiap sektor, namun penyelesaiannya tidak jelas dan sering hanya berupa janji. Di sisi lain, kebijakan baru terus dilahirkan, sehingga semakin memicu ketidakpuasan masyarakat.”

Dalam konteks inilah, momentum Maulid Nabi Muhammad saw. menjadi sangat relevan. Maulid Nabi bukan hanya perayaan seremonial, tetapi juga momentum spiritual untuk merenungkan kembali relevansi risalah Nabi Muhammad SAW dalam konteks kekinian.

Melalui Maulid, kita dapat meneguhkan kembali nilai cinta (maḥabbah) dan kasih sayang yang beliau ajarkan, sekaligus menjadikannya sebagai landasan untuk menyatukan bangsa.

Kini saatnya kita bertanya: bagaimana caranya agar cinta dan kasih sayang yang menjadi inti risalah Nabi benar-benar bisa kita hidupkan kembali?

Bagaimana agar nilai-nilai itu meresap ke dalam kehidupan sosial, sehingga mampu menyembuhkan benang-benang yang tercerai dan menyatukan kembali rasa kebangsaan yang terkoyak?

Cinta sebagai Inti Risalah Nabi Muhammad saw.

Rasulullah SAW hadir ke dunia bukan hanya sebagai pemberi petunjuk spiritual, tapi juga sebagai pembawa kasih untuk seluruh alam: “wa mā arsalnāka illā raḥmatan lil-‘ālamīn”.

Beliau mengajarkan bahwa lebih baik membalas kebencian dengan kebaikan. Hal ini bukan bentuk merendahkan diri, melainkan menunjukkan hati yang lebih besar.

Seperti janji Allah SWT dalam QS. Al-Fussilat ayat 34: “Kebaikan dan kejahatan tidak bisa disamakan. Tolaklah kejahatan dengan kebaikan.”

Rasulullah SAW adalah teladan agung dalam hal pengendalian diri. Beliau tidak pernah menyimpan dendam, meski berulang kali dihina, dicaci, dicemooh, bahkan berkali-kali ada upaya untuk menghabisi nyawanya.

Sifat pemaaf dan kesabaran beliau menjadi bagian dari kemuliaan akhlak yang membuat para penentangnya akhirnya luluh dan berbalik menjadi pengikut setia.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang negarawan, Rasulullah juga menunjukkan sikap yang jauh dari dendam politik. Bahkan terhadap musuh-musuh yang pernah menyakitinya, beliau memilih jalan rekonsiliasi dan kasih sayang.

Ketika Fathu Makkah terjadi, saat para musuh Islam berada di bawah kuasa beliau, dan ada seorang sahabat yang mengatakan:

“hặdzặ yaumu al-malhamah”; (ini adalah hari pembalasan), maka Rasulullah SAW. Justru dengan tegas menegurnya dan mengatakan, “Ini adalah hari di mana Allāh SWT mengagungkan Ka’bah.

Nabi juga berkata kepada kafir Quraiys yang telah menyakitinya; “Idzhabữ fa antum at-thulaqặ`” (Pergilah, kalian bebas). Tidak ada balas dendam, tidak ada penghakiman politik. Yang ada hanyalah tekad untuk menyatukan umat dalam keadilan dan kasih sayang.

Sikap kenegarawanan Nabi inilah yang semestinya menjadi inspirasi kita dan seluruh pejabat negara di Indonesia dalam mengelola kehidupan berbangsa.

Politik mestinya dijalankan bukan untuk melampiaskan amarah atau menumbuhkan dendam, melainkan untuk menghadirkan kemaslahatan bersama.

Menyulam Cinta dalam Kehidupan Kebangsaan
Bayangkan jika kita membangun kembali kohesi sosial berdasar cinta sosial (maḥabbah ijtimā‘iyyah): bukan untuk siapa yang menang, tetapi bagaimana bangsa ini tetap utuh, berlandaskan nilai penghormatan dan solidaritas.

Spirit Maulid beresonansi dalam persaudaraan antar-masyarakat, sama seperti bagaimana Nabi mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, membentuk tatanan multikultural melalui Piagam Madinah, sebuah model inklusif yang sejalan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945.

Cinta tanah air bukan sekadar koor retorik, melainkan bukti nyata lewat tindakan: memperjuangkan keadilan, merawat martabat kemanusiaan, dan menjaga persatuan di tengah yang berbeda pandangan politik.

Perayaan Maulid nabi sejatinya tidak hanya mengaktifkan spiritualitas, tapi merajut kembali ikatan, membangun kepercayaan bersama.

Dalam pandangan Sosiolog Émile Durkheim, masyarakat hanya bisa bertahan jika memiliki kohesi sosial; yakni kekuatan yang merekatkan individu-individu agar merasa menjadi bagian dari satu kesatuan.

Tanpa kohesi, masyarakat akan rapuh dan mudah terpecah. Dalam kontkes ini, ritual kolektif seperti peringatan Maulid Nabi, saya kira akan menjadi bagian cara untuk memperkuat kohesi sosial.

Dalam konteks kenegaraan, keadilan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara tampak jelas dalam kepemimpinannya di Madinah.

Beliau tidak hanya menjadi pemimpin umat Islam, tetapi juga penjamin keadilan bagi seluruh warga negara tanpa pandang bulu.

Melalui Piagam Madinah, Rasulullah membangun sebuah masyarakat inklusif yang di dalamnya hidup berdampingan berbagai suku, agama, dan ras.

Prinsip keadilan ditegakkan bukan berdasarkan kedekatan, kelompok, atau status sosial, melainkan atas dasar kebenaran dan kemaslahatan bersama.

Rasulullah menghargai hak setiap orang, mengedepankan musyawarah, serta memastikan bahwa hukum berlaku setara bagi semua.

Nilai-nilai inilah yang sepatutnya menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia hari ini. Di tengah dinamika sosial dan politik, kita membutuhkan tegaknya keadilan hukum yang tidak tebang pilih.

Prinsip equality before the law —bahwa setiap warga negara sama di hadapan hukum— harus diwujudkan bukan sekadar jargon, melainkan realitas yang dirasakan rakyat.

Hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan politik, tidak boleh diukur dari relawan mana seseorang berasal, siapa yang ia dukung, atau kelompok mana yang berada di belakangnya.

Indonesia hanya bisa berdiri kokoh jika keadilan ditegakkan untuk semua. Dan momentum Maulid Nabi mengingatkan kita bahwa keadilan sejati adalah pilar utama untuk menyatukan bangsa yang majemuk ini, sebagaimana Rasulullah berhasil menyatukan masyarakat Madinah dengan prinsip keadilan dan kesetaraan.

Maulid sebagai Energi Persatuan dan Menyatukan dengan Cinta

Di tengah lonjakan demonstrasi, retaknya solidaritas, dan luka sosial, Maulid Nabi menawarkan energi pemersatu: menyulam cinta, bukan sekadar untuk mengisi ruang kosong, tetapi untuk menjahit lagi benang kebangsaan yang sobek oleh kebencian.

Cinta bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan moral yang mampu mengatasi luka, menyalakan kembali semangat inklusif dan toleran.

Last but not least, Maulid Nabi bukan sekadar perayaan sejarah, melainkan momentum strategis untuk kembali menenun nilai kasih sayang ke dalam struktur bangsa.

Ketika cinta dilanjutkan sebagai prinsip sosial dan kenegaraan, bangsa ini bisa kembali bersatu, kokoh dalam keberagaman, dan lebih luhur menghadapi tantangan zaman.

Penulis: Buhori (Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW Ansor Kalbar).

Ikuti GOOGLE NEWS atau Join Channel TELEGRAM

Pos terkait

Tinggalkan Balasan